"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Penyejuk ruangan menyala, namun suasana tetap terasa panas di dalam ruangan Presiden Direktur. Seorang wanita dengan pakaian minim tampak tengkurap di atas meja, di belakangnya berdiri seorang lelaki tinggi kekar berpakaian rapi. Suara-suara tidak pantas keluar dari bibir merah si wanita. "Betul. Suruh dia membuat surat pernyataan bahwa tidak akan menuntut ganti rugi atas semua proses penyitaan." Lelaki itu, Nathaniel, tidak berhenti berbicara di telepon meskipun tengah melakukan aktivitas yang menguras tenaga. Terdengar suara ketukan. Pintu terbuka dan terdengar suara seseorang menarik nafas tajam. Nathan menoleh sekilas dan melihat sekretarisnya bersama seorang wanita muda berwajah manis. Wanita itulah yang mengeluarkan suara terkejut. "Maaf Pak, kami akan kembali nanti," kata Cindy, si sekretaris. Segera kedua wanita itu menghilang di balik pintu. Nathan menyelesaikan urusannya dan melepaskan diri dari wanita yang berada di atas meja. Tangannya mengetikkan sesua
Selama empat tahun bekerja belum pernah Angeline sesibuk ini. Ada saja yang diperintahkan Nathan kepadanya, mulai dari mengambil dokumen di departemen lain hingga mengambilkan stelan jas di tempat laundry. Angeline tidak akan heran jika suatu hari nanti Nathan akan menyuruhnya mengepel lantai. Yah, ternyata jobdesc sekretaris dan asisten pribadi memang berbeda. "Angel, kamu pegang ini." Nathan memberikan sebuah kartu tebal berwarna hitam. Angeline mengambil dan mengamatinya. Tidak banyak keterangan yang tertulis di kartu, hanya tertera nomor lantai dan nama gedung. "Untuk apa ini, Pak?" tanya Angeline. "Sebagai asisten pribadi sewaktu-waktu saya akan meminta kamu naik ke penthouse. Lift dan pintu hanya dapat dibuka dengan kartu ini." Nathan bicara tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya. "Oke. Masih ada yang lain?" Angeline menggenggam kartu itu. "Tidak ada. Kamu boleh kembali." Angeline pun keluar dari ruangan Presiden Direktur. Untuk meredakan
Keesokan pagi di gedung Wayne Group ... Sesuai kebiasaannya sebagai seorang sekretaris Angeline datang lebih pagi dan mempersiapkan mental untuk menghadapi hari. Tidak disangka Nathan tiba bersamaan dengan dirinya. Mereka berdua pun masuk di lift yang sama, lift khusus bagi sang Presdir. "Selamat pagi, Pak," sapa Angeline seformal mungkin. "Hmm ...." Mendadak Nathan menekan tombol menghentikan lift di tengah jalan. Dia berbalik menghadap Angeline dengan wajah tanpa ekspresi. Jantung Angeline berdebar keras, dia tidak yakin dapat menjatuhkan seorang lelaki tinggi besar seperti Nathan dalam ruang tertutup yang kecil. Tanpa berbicara Nathan mendekat. Spontan Angeline mundur sampai punggungnya menyentuh dinding lift. Nathan tidak berhenti. Tangannya hendak menjangkau wanita yang terpojok itu. "Mau apa, Pak?" Angeline menepis tangan Nathan. "Semalam saya melihatmu bersama lelaki. Pacarmu?" Nathan semakin mendekat. Perbedaan tinggi badan membuat Angeline
Sore hari Nathan membuka pintu ruang istirahat. Tampak asisten pribadinya tergolek pulas di tempat tidur. Nathan tersenyum geli melihat Angeline yang tidur dengan mulut sedikit terbuka. Rambut panjangnya tergerai di atas sprei seperti kain sutra hitam, terlihat lembut dan menggoda untuk dibelai. Nathan tidak mampu menahan godaan untuk membelai rambut Angeline. Dia menunduk supaya dapat melihat wajah Angeline lebih jelas. Mata Angeline terbuka. Untuk sesaat dia bingung melihat ada seorang lelaki di hadapannya. Sedetik kemudian barulah Angeline bereaksi. Nathan yang lengah terdorong jatuh ke lantai. Meskipun terkejut namun tangan Nathan masih sempat menangkap pergelangan kaki Angeline yang melompati dirinya. Wanita itu pun terjerembap. "Angel, Angel, kenapa perilakumu tidak selembut namamu?" Nathan berdiri. "Siapa suruh mengurung orang," gerutu Angeline yang turut berdiri membenahi pakaiannya. "Sudah jam pulang. Kecuali kamu mau menginap di sini." Nathan tersenyum na
Pagi-pagi sekali Angeline terbangun karena pintu unit apartemennya digedor keras-keras. Langit di luar masih temaram. Angeline terheran-heran, apakah ada kebakaran? Sambil menggaruk rambut yang kusut Angeline membukakan pintu. Segera saja dua petugas keamanan melongok ke dalam. Angeline melotot melihat sosok Nathan menyeruak masuk. "Pagi, Mbak, tidak ada masalah? Kami dapat laporan kalau ada penghuni yang pingsan karena menghirup gas bocor," kata seorang petugas keamanan. Angeline menarik nafas dalam-dalam, tapi sebelum dia mampu melontarkan makian Nathan sudah memeluk erat-erat. "Syukurlah kamu tidak apa-apa. Lain kali kalau aku telepon segera diangkat. Membuat cemas saja!" Nathan berakting sempurna. "Kamu—" Nathan menekan bagian belakang kepala Angeline hingga wajahnya menempel di dada, dengan demikian wanita itu tidak dapat bersuara. "Terima kasih, Pak, sudah merepotkan. Pacar saya tidak apa-apa." Nathan mengusir dengan halus. "Mmmpphhh!" Angeline be