Sore hari Nathan membuka pintu ruang istirahat. Tampak asisten pribadinya tergolek pulas di tempat tidur. Nathan tersenyum geli melihat Angeline yang tidur dengan mulut sedikit terbuka. Rambut panjangnya tergerai di atas sprei seperti kain sutra hitam, terlihat lembut dan menggoda untuk dibelai. Nathan tidak mampu menahan godaan untuk membelai rambut Angeline. Dia menunduk supaya dapat melihat wajah Angeline lebih jelas.
Mata Angeline terbuka. Untuk sesaat dia bingung melihat ada seorang lelaki di hadapannya. Sedetik kemudian barulah Angeline bereaksi. Nathan yang lengah terdorong jatuh ke lantai. Meskipun terkejut namun tangan Nathan masih sempat menangkap pergelangan kaki Angeline yang melompati dirinya. Wanita itu pun terjerembap. "Angel, Angel, kenapa perilakumu tidak selembut namamu?" Nathan berdiri. "Siapa suruh mengurung orang," gerutu Angeline yang turut berdiri membenahi pakaiannya. "Sudah jam pulang. Kecuali kamu mau menginap di sini." Nathan tersenyum nakal. "Mimpi! Ya sudah. Tidak ada pekerjaan lagi, kan? Saya pulang," ketus Angeline. "Tunggu." Nathan memang tahu cara merusak kegembiraan orang lain. Dia hampir tertawa melihat wajah Angeline yang begitu keruh. "Ada apa lagi, Pak?" Angeline menekankan satu suku kata terakhir sebagai ejekan. "Sepertinya kamu bisa jadi sparring partner yang baik. Kamu bawa baju ganti, kan? Ikut saya ke gym," kata Nathan tanpa basa-basi. "Apa? Tidak bisa!" "Kamu saya bayar lembur," sambung Nathan. Angeline mengernyit. Setelah terkurung seharian dia tidak ingin melihat wajah Nathan. "Angel, ini perintah langsung dari bos. Kamu mau menolak?" ancam Nathan. Angeline mendengkus. Dia masih teringat betapa sulitnya berjuang melawan lelaki ini di lift, juga di ruangannya. Entah apa yang akan terjadi jika mereka berdua benar-benar sparring? "Well? Waktuku tidak banyak," desah Nathan. "Saya berhak menolak." "Oh ya? Kalau begitu kita lakukan di sini. Mungkin kita akan berakhir di atas meja seperti—" "Baik! Baik! Saya ikut!" potong Angeline panik. Siapa yang mau jadi wanita yang terbaring di atas meja? Memangnya dia wanita apaan? Nathan menyeringai penuh kemenangan. Dia memang selalu memperoleh kemenangan dalam negosiasi. Akhirnya bos dan asisten pribadinya meninggalkan gedung Wayne Group menuju ke gym yang disebutkan Nathan. Saking muaknya Angeline benar-benar memperhatikan jalan supaya dapat pulang sendiri dalam situasi terdesak. Nathan melajukan motor dengan kecepatan tinggi untuk menakuti wanita di boncengan. Sayangnya dia tidak tahu kalau Angeline memiliki mental sekuat baja. Motor berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat. Angeline meluncur turun dan mengembalikan helm. Dia mendongak melihat sebuah logo besar bertuliskan BS, dan tagline di bawah yang berbunyi 'Give Your Best Shot!'. Angeline pun menyimpulkan kalau BS adalah singkatan dari Best Shot. "Come on," ajak Nathan. "Selamat datang, Bos," sapa seorang lelaki bertubuh kekar berpakaian olahraga. Nathan hanya menjawab dengan gumaman. Dia terus berjalan ke lantai dua. Angeline membuntuti ketat. Matanya menilai sekeliling. Gym ini tidak berbeda dengan gym tempatnya berlatih, hanya mungkin fasilitasnya lebih mewah. "Kamu tahu apa singkatan BS?" tanya Nathan. "Apa?" "Bull Shit." Nathan menyeringai. "Hah? Mana ada orang yang memberi nama jelek untuk tempat usahanya?" "Ada." Nathan memimpin jalan menuju loker, "Simpan barangmu di sini. Ganti pakaian dan temui saya di tengah." Angeline mengangguk. Dia menyimpan tasnya di salah satu loker kemudian berganti pakaian di kamar mandi. Sempat celingak-celinguk Angeline menemukan sosok Nathan di sebuah ruang terpisah yang sengaja dikosongkan. Lelaki itu juga sudah berganti pakaian dengan celana training panjang dan kaos tanpa lengan yang memamerkan otot dan tatonya. "Ayo. Kamu siap?" Nathan memandangi lekuk tubuh Angeline yang terlihat jelas dalam balutan pakaian olahraga, legging hitam semata kaki dan kaos tanpa lengan. Rambut panjang yang digelung tinggi membuat lehernya terlihat menggoda. Keseluruhan penampilan Angeline bertolak belakang dengan penampilannya di kantor. Seketika Angeline menyesal dengan pilihan pakaiannya. Sebenarnya dia berpakaian seperti ini untuk Yoga, bukan untuk lelaki lain. "Warming up sebentar," tukas Angeline. "Oke." Nathan berdiri mengamati. "Tidak jadi deh." Angeline merasa risih ditonton seperti itu. Tatapan Nathan seperti hendak menelanjanginya. Mereka berdua memakai sarung tangan dan bersiap untuk sparring. Beberapa karyawan gym mencuri-curi pandang. Kapan lagi bisa melihat bos mereka sparring dengan wanita cantik? Tidak ada wasit, tidak ada aba-aba. Nathan menunggu Angeline untuk melakukan serangan pertama. Wanita itu segera melangkah maju sambil menyarangkan tendangan ke arah perut. Nathan menghindar tapi segera menerima serangan siku ke wajah. Dia menangkis tepat waktu. Angeline tidak memberi kesempatan bernafas, serangan berikutnya menyusul, tendangan berputar dari belakang. Semua orang tegang menonton sparring bertempo cepat itu. Beberapa menit yang full impact berlalu. Nathan menyadari tenaga mereka tidak sebanding, maka dia banyak mengalah. Kalau saja rekan sparringnya adalah salah satu intruktur gym, orang itu pasti sudah KO. Maka semua orang memandang kagum pada Angeline yang dapat membuat Nathan menahan diri. "Cukup!" Nathan melihat nafas Angeline mulai terengah. Angeline pun berhenti. Kedua tangannya diletakkan di pinggang yang ramping, membuat Nathan ingin menggantikan tangan itu dengan tangannya. "Seranganmu bagus," puji Nathan tulus. Semua orang ternganga mendengar Nathan mengeluarkan kata pujian. Kejadian langka! "Thanks. Lain kali tidak boleh mengalah. Saya mau mengukur level," ujar Angeline. "Kamu yakin? Sekarang saja sudah kewalahan, bagaimana kalau saya tidak mengalah?" Nathan tertawa. "Sombong," ketus Angeline. Kembali semua orang ternganga mendengar Angeline mengatai Nathan. Selama ini belum ada orang yang mengatai bos mereka tanpa mengalami cedera, lelaki maupun wanita. "Bukan aku yang sombong, tapi kamu yang terlalu lemah, Sayang," goda Nathan. Dia merubah penggunaan kata ganti menjadi lebih akrab. Angeline melotot, "Apa? Jangan panggil saya seperti itu! Saya bukan pacarmu!" Semua orang langsung membuat kesimpulan kalau bos besar mereka menyukai wanita ini. Kalau tidak mana mau Nathan memanggilnya seperti itu di depan umum? Dengan nada menggoda pula? "Mungkin. Siapa tahu besok akan berubah." Nathan mengangkat bahu. "Jangan sembarangan! Saya sudah punya pacar!" Wajah Angeline memucat karena marah. Tidak ingin berdebat lebih jauh, Angeline meninggalkan Nathan menuju kamar mandi. Nathan tersenyum geli. Fix! Bos besar ingin merebut wanita ini dari pacarnya! Semua orang saling pandang dan tertawa tanpa suara. "Heh, puas menonton??" bentak Nathan. Sekelompok orang yang menonton pun bubar dalam waktu satu detik. Nathan berjalan santai ke kamar mandi. Dia melepas pakaian yang basah oleh keringat dan berdiri lama-lama di bawah pancuran air hangat. Pikirannya dipenuhi sosok Angeline. Wanita berwajah manis yang tampak cantik kalau sedang marah. Nathan memaki pelan saat bagian tubuhnya berdiri tegak dengan penuh semangat. "Angel, Angie ... Apa panggilan yang cocok untukmu?" desah Nathan. Selesai mandi dan berpakaian Nathan mencari Angeline di lantai satu. Dia resah saat wanita itu tidak terlihat di mana pun. Seorang karyawan gym menghampiri dan memberitahu kalau Angeline sudah pergi. "Sial!" Nathan memukul benda terdekat. Karyawan gym itu segera menghilang dari pandangan sebelum dijadikan samsak hidup. "Hari ini kamu bisa melarikan diri, Angel ... Tidak akan ada kedua kalinya ...," desis Nathan. Saat itu Angeline baru saja turun dari ojek dan sedang berjalan masuk ke apartemen. Tahu-tahu dia bersin dua kali berturut-turut. "Ah, sial ... Gara-gara kena angin malam," gerutu Angeline. Tangannya menggosok hidung. Mendadak handphone berdering. Angeline terbelalak melihat nama peneleponnya, 'Crazy Boss'. Dia berpikir panjang kali lebar apakah harus menerima panggilan ini. Teringat pada kontrak kerja Angeline menekan tombol untuk menjawab. "Ya?" kata Angeline hati-hati seolah berjalan di ladang ranjau. "Kenapa tidak tunggu aku?" tanya Nathan dengan sedikit merajuk. "Sorry, Pak. Sudah kemalaman dan saya ingin istirahat lebih cepat," sahut Angeline. "Bukankah kamu sudah cukup tidur tadi siang?" Angeline kehilangan kata-kata. "Besok kamu ikut aku meeting keluar kota. Bawa perlengkapan dan pakaian, kita akan pergi selama dua malam," kata Nathan. "Apa? Mendadak sekali? Tidak bisa, besok saya sudah ada janji dengan teman." Angeline ternganga. "Dengan pacar? Batalkan. Pekerjaanmu lebih penting." Usai berkata demikian Nathan memutus percakapan. "Tapi ... Halo? Halo?" Angeline menatap handphone dengan gemas, "Ah, brengsek! Lihat aja besok! Gue nggak bakal datang!" Nathan mematikan handphone dengan puas. Lihat saja besok bagaimana wanita bernama Angeline ini dapat melarikan diri. Mendadak Nathan menangkap dan menelikung orang yang menepuk bahunya. Semangat yang terpendam membuat gerak refleks Nathan lebih cepat. "Hei! Ini aku, Bodoh!" seru seorang lelaki muda berambut cokelat. "Stupid! Jangan mendekat diam-diam! Kau yang bodoh!" Nathan memaki panjang lebar melihat sahabatnya, Alardo Wilson, si playboy kelas kakap yang sudah membuat wanita sekampus patah hati. "Setan apa yang merasukimu, hah? Mau mematahkan tanganku?" Alardo menendang Nathan. "Berisik kau," gerutu Nathan yang menghindar dengan mulus. "Hahaha sepertinya benar kata mereka, bos besar sedang mengejar wanita!" Alardo tertawa mengejek. Nathan meninggalkan Alardo begitu saja. "Hei! Wanita seperti apa yang kau kejar? Katanya mau merebut dari pacarnya? Memangnya dia mau dengan lelaki yang punya reputasi buruk sepertimu?" Alardo membuntuti tanpa berhenti bicara. "Diam! Atau kusumpal mulutmu dengan pasir!" bentak Nathan. "Cih, lagakmu. Aku bisa cek CCTV untuk melihat wanita idaman Nathaniel Wayne." Alardo pun berbelok menuju kantor di pojok belakang gym. Belum lagi Alardo mencapai tempat yang dituju, Nathan sudah mencekiknya dari belakang.Pagi-pagi sekali Angeline terbangun karena pintu unit apartemennya digedor keras-keras. Langit di luar masih temaram. Angeline terheran-heran, apakah ada kebakaran? Sambil menggaruk rambut yang kusut Angeline membukakan pintu. Segera saja dua petugas keamanan melongok ke dalam. Angeline melotot melihat sosok Nathan menyeruak masuk. "Pagi, Mbak, tidak ada masalah? Kami dapat laporan kalau ada penghuni yang pingsan karena menghirup gas bocor," kata seorang petugas keamanan. Angeline menarik nafas dalam-dalam, tapi sebelum dia mampu melontarkan makian Nathan sudah memeluk erat-erat. "Syukurlah kamu tidak apa-apa. Lain kali kalau aku telepon segera diangkat. Membuat cemas saja!" Nathan berakting sempurna. "Kamu—" Nathan menekan bagian belakang kepala Angeline hingga wajahnya menempel di dada, dengan demikian wanita itu tidak dapat bersuara. "Terima kasih, Pak, sudah merepotkan. Pacar saya tidak apa-apa." Nathan mengusir dengan halus. "Mmmpphhh!" Angeline be
Setelah seharian mengurung diri di kamar, sore hari Angeline berangkat ke gym bersama Yoga. Lelaki itu menjemput dengan motornya di depan apartemen. Angeline menghampiri Yoga seperti gadis remaja yang sedang berpacaran. "Hai, langsung jalan?" Yoga memberikan helm kepada Angeline. "Ayo." Angeline memakai helm dan memanjat naik ke boncengan. Tangannya berpegangan pada pinggang Yoga. "Pegangan yang mesra dong?" goda Yoga. "Ini udah," sahut Angeline. "Begini dong, Sayang." Yoga menarik tangan Angeline ke dadanya. "Aku nggak nyaman, Ga. Begini aja ya?" Angeline menarik tangannya kembali ke posisi semula. "Oke deh." Ada nada kecewa dalam suara Yoga. Motor pun melaju pergi. Tanpa seorang pun memperhatikan, sebuah mobil hitam yang parkir di seberang jalan mengikuti motor Yoga. Lelaki yang duduk di bangku belakang terlihat tidak senang. Nathan mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya berbunyi. "Apa bagusnya lelaki itu ... Jelas-jelas aku lebih bai
Pada hari Sabtu sore terlihat keramaian di sebuah hotel bintang lima. Lelaki dan wanita berpakaian formal berkumpul di sebuah hall besar. Nathaniel Wayne selaku Presiden Direktur Wayne Group mengadakan gathering dengan perusahaan XYZ yang baru saja diambil alih, semacam acara perpisahan dengan bos lama dan perkenalan dengan bos baru. Angeline tampak cantik memakai atasan blouse turtle neck hitam dan celana berwarna senada. Warna hitam menonjolkan bahunya yang seputih pualam. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai lurus. Sebuah wrist wallet hitam melingkar di pergelangan tangan kiri. Nathan yang berhasil membujuk Angeline tetap berdekatan tidak dapat melepas pandangan dari tubuhnya. "Sudah melihat sugar daddy-mu?" goda Nathan. Angeline melotot keki, "Bukan sugar daddy! Pak Bondan sudah seperti ayah angkat bagi saya!" Nathan terkekeh, "Whatever. Jangan menangis kalau melihat kenyataan." Angeline membuang muka. Dia kesal setengah mati karena harus tetap duduk di seb
Malam sudah menuju subuh, tapi Angeline belum juga dapat mengistirahatkan pikirannya yang kacau. Apa lagi penyebabnya kalau bukan Nathan. Keterpurukan emosinya diperburuk dengan dua ciuman lelaki itu. Untung Nathan tidak berbuat lebih jauh dan mau mengantarnya pulang. Hati Angeline didominasi rasa bersalah karena berciuman dengan lelaki lain yang bukan pacarnya. Dia merasa telah mengkhianati Yoga. Berkali-kali Angeline ingin mengirim pesan singkat pada kekasihnya, tapi dibatalkan tengah jalan. Akhirnya dia hanya duduk terpekur merenungi nasib. "Sebenarnya bukan salahku ... Kan dia yang memaksa mencium ... Aku tidak membalas ciuman itu ...," lirih Angeline dalam usaha menetralisir perasaan bersalah. Angeline meninju bantal dengan gemas karena teringat akan betapa lembutnya bibir Nathan. Wajahnya merah padam. "Dasar brengsek! Bos brengsek! Huuhhh ... Reseh!" maki Angeline sambil memukuli bantalnya yang tidak bersalah. Ketika akhirnya matahari keluar dari peraduan
"Mana dia?" tanya Nathan pada Cindy. "Belum datang, Pak," jawab sang sekretaris sesopan mungkin. "Hmm ... Batalkan semua meeting. Saya keluar kantor," titah Nathan. "Baik, Pak." Cindy mengawasi Nathan masuk ke ruangan untuk mengambil tas dan langsung pergi tanpa basa-basi. Tanpa diberitahu pun Cindy tahu bosnya pergi mencari Angeline. Motor sport yang dikendarai Nathan melaju menembus lalu lintas dengan kecepatan tinggi. Dia ingin tiba secepat mungkin di apartemen Angeline karena kemungkinan besar wanita itu sedang bermuram durja dan butuh a shoulder to cry on. Nathan akan menjadi tempat bersandar baginya seperti seorang ksatria berkuda putih. Sementara di unit apartemen lantai sembilan belas, Angeline masih bergelung di dalam selimut. Tidak ada keinginan sedikit pun untuk bergerak, apalagi sekedar mengirimkan pesan singkat pada Nathan atau Cindy kalau hari ini dia tidak ingin masuk kerja. Peristiwa semalam membuat dirinya terguncang. Sejak diantar pula
Jam belum lagi menunjukkan pukul delapan, tapi Angeline sudah pontang-panting menyediakan permintaan Nathan yang dikirimkan lewat pesan singkat pada pukul tujuh lewat lima puluh menit. Tidak tanggung-tanggung, segelas kopi luwak panas dari coffee shop yang berjarak lima ratus meter dari kantor. "Mas ... Hahh ... Ko—kopi luwaknya ... Satu!" Angeline terengah-engah karena berlari sepanjang jalan. Si barista nyaris tertawa melihat wajah wanita muda yang kusut itu, tapi dengan profesional dia segera meracik pesanan Angeline. "Duduk dulu, Mbak. Tidak lama kok," kata si barista berwajah blasteran Timur Tengah itu. Angeline terbungkuk berkacak pinggang. Bibirnya bergerak-gerak mengomel, "Sialan ... Pagi-pagi sudah menyiksa orang ... Dasar bos gila." Beberapa menit kemudian Angeline tiba di lantai empat puluh gedung Wayne Group. Masih terengah dia segera menghambur ke dalam ruangan Nathan dan meletakkan kopi pesanannya. "Kopinya, Pak." Nathan menahan senyum mel
Untung Cindy sempat memperingati Angeline tentang meeting ini, jadi dirinya tidak heran melihat dua pimpinan perusahaan ini saling menjatuhkan di depan semua orang. Angeline tidak terlalu mempedulikan Nathan karena dia tahu bosnya itu tebal muka dan tidak punya belas kasihan. Diam-diam Angeline mengamati Sony Wilmar, CEO dari perusahaan yang bergerak di bidang percetakan. Lelaki itu terlihat seumuran Nathan. Wajahnya tampan dan memiliki fitur lembut yang menyenangkan untuk dilihat. "Sudah! Lakukan saja semaumu! Setidaknya kau tidak pernah terlambat membayar!" Sony menepuk meja dengan kesal. "Tentu saja. Jika service yang kau berikan tidak menurun secara kualitas, tentu akan kuapresiasi." Nathan tersenyum. Wajahnya memancarkan kemenangan. "Apresiasi? Kalau begitu tambahkan nominal fee!" Sony mulai lagi. "Tidak. Kesepakatan yang sudah tercapai tidak akan bisa berubah," ketus Nathan. Sony melirik Angeline tepat saat wanita itu sedang memandang ke arahnya. Kare
"Jangan harap aku mau lagi diajak meeting keluar naik motor. Huh! Keterlaluan!" Sejak tiba di kantor Angeline terus mengomel akibat kelakuan Nathan yang menciumnya tanpa ijin. "Seharusnya kupukul dengan kursi! Menyebalkan sekali! Semakin dibicarakan semakin emosi!" Angeline berjalan mondar-mandir di ruangannya. "Apa aku resign saja ya?" gumam wanita yang sedang emosi itu. Sementara di ruangan Presiden Direktur, Nathan tengah memperhatikan gerak-gerik asisten pribadinya. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar, perpaduan antara senang dan bergairah karena berhasil mencium bibir merah muda yang menggemaskan. Karena Angeline sudah terlanjur emosi terpaksa Nathan kembali ke kantor, kalau tidak dia sudah merencanakan membawa wanita muda itu pergi makan malam romantis di tepi laut. Terkadang ada baiknya mengalah demi kemenangan. "Cindy, aku mau resign," keluh Angeline. "Loh, kenapa? Ada sesuatu terjadi dalam meeting?" Cindy menatap heran. Angeline tidak tahu bag