Setelah seharian mengurung diri di kamar, sore hari Angeline berangkat ke gym bersama Yoga. Lelaki itu menjemput dengan motornya di depan apartemen. Angeline menghampiri Yoga seperti gadis remaja yang sedang berpacaran.
"Hai, langsung jalan?" Yoga memberikan helm kepada Angeline. "Ayo." Angeline memakai helm dan memanjat naik ke boncengan. Tangannya berpegangan pada pinggang Yoga. "Pegangan yang mesra dong?" goda Yoga. "Ini udah," sahut Angeline. "Begini dong, Sayang." Yoga menarik tangan Angeline ke dadanya. "Aku nggak nyaman, Ga. Begini aja ya?" Angeline menarik tangannya kembali ke posisi semula. "Oke deh." Ada nada kecewa dalam suara Yoga. Motor pun melaju pergi. Tanpa seorang pun memperhatikan, sebuah mobil hitam yang parkir di seberang jalan mengikuti motor Yoga. Lelaki yang duduk di bangku belakang terlihat tidak senang. Nathan mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya berbunyi. "Apa bagusnya lelaki itu ... Jelas-jelas aku lebih baik darinya ...," desis Nathan. Rupanya saat menonton adegan sepasang kekasih di atas motor, hati Nathan merasa terganggu. Ingin rasanya dia membubarkan aksi sok mesra yang dipamerkan dan menyeret Angeline ke dalam mobil. "Tahu nggak sih? Bosku ternyata reseh banget. Aku nggak bakal ke sana lagi," cetus Angeline sambil memakai sarung tangan. "Oh ya? Kamu bukannya baru tiga hari di sana?" Yoga mengangkat alis. "Iya sih. Tapi aku beneran nggak tahan deh. Bosnya persis preman." Angeline merengut. "Persis apa?" Angeline terlompat kaget mendengar suara berat yang mengganggunya tiga hari belakangan. Dia berbalik dan siap menghadapi yang terburuk. "Ulangi lagi kata-katamu," ucap Nathan. "Kamu kenal dia?" Yoga bertanya pada Angeline. "Aku bos yang persis preman," jawab Nathan tanpa jeda. Yoga terpana. Lelaki di hadapan mereka memang tampak berbahaya, tapi penampilannya yang memakai stelan jas mahal tidak mirip gaya seorang preman. "Mau apa?" ketus Angeline. "Bicara," sahut Nathan. "Silakan, bicara saja." Angeline menyilangkan tangan di depan tubuh. "Tidak di sini. Ikut aku." Nathan berbalik kemudian berhenti karena melihat Angeline tidak mengikutinya. Melihat Nathan menoleh, Angeline melengos. "Angel," panggil Nathan. Kegeramannya mulai memuncak. Harga dirinya tersentuh oleh gestur penolakan yang terjadi di muka umum. "Hei, kamu bukan bosku lagi. Kalau mau bicara di sini saja," omel Angeline. "Surat pengunduran dirimu belum sampai di mejaku. Aku masih bosmu." Nathan menatap tajam. "Sorry, apa urusanmu?" timpal Yoga. "Urusan pekerjaan. Pacar jangan ikut campur," ujar Nathan tanpa menatap lawan bicaranya. Angeline khawatir kedua lelaki ini akan berkelahi. Dari pengalaman berhadapan dengan Nathan, Angeline merasa lelaki itu lebih kuat dari Yoga. Dia tidak ingin pacarnya cedera. "Sudahlah, nggak apa-apa. Aku cuma ngobrol sebentar." Angeline memegang lengan Yoga. "Kamu yakin? Kelihatannya nggak baik," tukas Yoga. "Iya. Kami memang harus membicarakan sesuatu." Angeline tersenyum untuk meyakinkan pacarnya. Yoga ragu sejenak, "Jadi kamu langsung pulang atau bagaimana?" "Aku langsung pulang deh. Nanti kutelepon. Oke?" Angeline melepas sarung tangan dan menyimpan kembali di rak. Melihat situasi sudah kondusif Nathan berjalan keluar. Angeline mengambil tas di loker dan keluar mencari Nathan. Dilihatnya lelaki itu bersandar di mobil. "Masuk." Nathan senang melihat Angeline tidak berganti pakaian. Lekuk tubuh wanita yang berlatih beladiri memang berbeda dari wanita lain. "Tidak. Saya meminimalisir resiko penculikan." Angeline kembali pada tutur kata formal. "Kamu pikir aku penjahat?" Nathan tersenyum. "Kamu bukan penjahat, tapi bajingan," sahut Angeline dingin. Nathan tertawa, "See? Cuma kamu wanita yang berani mengataiku bajingan. Bagaimana aku tidak tertarik padamu?" Angeline kesal karena ejekannya tidak dianggap. "Ayo, masuklah. Di dalam mobil lebih hangat. Aku tidak mau kamu masuk angin." Nathan membukakan pintu belakang. "No, thanks. Saya lebih suka kedinginan di sini," tolak Angeline. "Baiklah, kalau kamu tidak keberatan aku membicarakan tentang keintiman kita tadi pa—" Angeline berteriak marah, "Berhenti bicara seperti itu! Kita tidak berbuat apa-apa!" "Oh ya? Lalu kenapa aku merasa kamu menikmati saat aku berada di antara kakimu?" Nathan mencondongkan tubuh ke arah Angeline. "Sial, kamu tidak akan berhenti, kan?" Angeline menoleh sekeliling untuk melihat adakah orang yang mendengar pembicaraan mereka. "Silakan." Nathan kembali mempersilakan Angeline masuk ke mobil. Teror mental Nathan berhasil membuat Angeline patuh. Setelah Angeline masuk ke mobil, lelaki itu masuk dari sisi berlawanan dan menaikkan kaca hitam pembatas kursi sopir dengan penumpang. Mobil pun melaju santai. "Baik. Sekarang kita bicara," kata Nathan. "Harus pakai central lock ya? Tidak bisa yang manual saja?" Angeline melontarkan tatapan menuduh. "Betul. Untuk mencegah sembarang orang masuk, atau keluar." Angeline mendengkus sebal. "Sekarang bicara tentang kamu sebagai asisten pribadiku. Apa persyaratanmu supaya mau kembali bekerja?" Nathan menyilangkan kaki dengan anggun. "Syarat? Kamu tidak akan bisa memenuhinya." "Try me," tantang Nathan. "Pertama, bosnya bukan kamu. Kedua, saya tidak mau melihatmu di kantor." Nathan meringis, "Syarat itu untuk mengusirku? Dari perusahaan milikku sendiri?" "Ya. Dengan kata lain saya tetap tidak mau bekerja untukmu," sahut Angeline. Nathan ingin menerjang wanita di hadapannya, menciumi dan melucuti pakaiannya, kemudian bercinta dengannya sampai wanita ini memohon-mohon untuk berhenti. Ya, sebesar itu keinginan terpendam Nathan sampai-sampai dirinya rela merendahkan diri. "Bagaimana kalau kontrakmu kurevisi?" tanya Nathan. Maria mengejapkan mata, "Jelaskan secara spesifik." "Nominal penalti akan kukurangi." Angeline mengernyit, "Tiadakan." "Tidak bisa. Penalti harus tetap ada, kalau tidak konttak itu tidak akan ada artinya," jelas Nathan. "Saya paham. Tapi itu syarat utama bagi saya kembali bekerja." Angeline nyaris tersenyum. "Pernah terpikir menjadi marketing?" Nathan tersenyum. "Tidak pernah." Hening sesaat. "Baiklah. Khusus untukmu tidak ada penalti." Nathan mengalah. Seulas senyum terkembang di bibir Angeline, membuatnya tampak bagaikan malaikat. "Bagaimana? Bosmu sudah sangat berbaik hati. Temanilah dia makan malam," bujuk Nathan. "Saya rasa itu tidak termasuk dalam jobdesc saya," tukas Angeline. "Kamu tidak tahu seperti apa jobdesc asisten pribadi yang sesungguhnya, Angel. Kamu akan menjadi orang yang terdekat denganku, bahkan lebih dekat dari pengawal pribadiku." Lagi-lagi keheningan menyelimuti kedua orang di dalam mobil. "Oke. Kutemani makan malam." Angeline pun luluh. Setengah mati Nathan menahan diri agar tidak bersorak merayakan kemenangan. Langkah pertama berhasil dilalui dengan baik, selanjutnya tinggal melakukan pendekatan dengan lembut seperti kata Alardo. Mobil berhenti di sebuah restoran mewah. Mereka berdua turun dan segera disambut oleh manager restoran. "Selamat datang, Pak Nathan," sapa si manager sambil membungkuk hormat. Angeline melirik curiga, "Ini salah satu restoranmu?" "If you say so, Angel." Nathan berjalan masuk ke restoran. "Eh, tunggu sebentar. Pakaian saya tidak cocok—" "Tidak ada juri yang menilai, kan?" potong Nathan. Manager mengantarkan mereka berdua ke kamar VIP di lantai tiga. Restoran ini hanya memiliki satu kamar VIP yang tidak seorang pun bisa memakainya kecuali orang-orang khusus atau pejabat. Nathan dan Angeline duduk di satu-satunya meja di ruangan yang cukup besar tersebut. "Kamar kecil di mana?" Angeline bertanya pada si manager. "Ada di sebelah kiri lift, Nona." Manager memberitahukan dengan senyuman semanis madu. "Mau apa?" tanya Nathan. "Ganti baju. Saya tidak nyaman dengan pakaian ini di luar gym." Angeline membawa tasnya ke kamar kecil. Nathan menggerutu dalam hati. Tidak lama kemudian Angeline kembali dengan pakaian yang lebih tertutup. Nathan masih merasa Angeline terlihat manis dengan kaos pink dan jeans, hanya sayang saja lekuk tubuhnya sudah tersembunyi. Satu persatu waitress membawa makanan dan menata rapi di meja bulat. Angeline menatap makanan berkelas di hadapan mereka sambil berpikir semoga sanggup menghabiskan semuanya. "Selamat makan, Tuan dan Nona," kata salah seorang waitress dengan mata tidak lepas menatap Nathan. Angeline mencibir dalam hati. Satu lagi calon korban lelaki maniak. "So, sudah berapa lama kamu pacaran dengan orang itu?" Nathan memulai percakapan. "Saya berhak tidak menjawab." Angeline mencomot sepotong udang goreng mayonaise dengan sumpit. "Hei, semahal apa sih informasimu?" goda Nathan. "Itu kehidupan pribadi saya, dan saya berhak untuk tidak membaginya dengan Anda," sahut Angeline cuek. Nathan menggigit sepotong daging dengan gemas. Dia membayangkan sedang menggigit bagian tubuh Angeline yang lembut. Segera saja celananya terasa sesak. Nathan memaki-maki dalam hati. "Oke. Aku mengerti. Sudah berapa lama kamu berlatih beladiri?" lanjut Nathan. "Belum lama," jawab Angeline tanpa menyebutkan jangka waktu secara spesifik. "Sering berkelahi?" Angeline melirik Nathan, "Tidak juga." "Dari gerakanmu aku bisa menebak kalau kamu sering berhadapan dengan lawan yang kuat. Gerakanmu bagus." Nathan tersenyum. Sebagai respon Angeline tersenyum manis. "Kamu cantik kalau tersenyum. Sering-seringlah tersenyum, Angel." Nathan sedikit heran mendengar dirinya sendiri menggoda wanita. Biasanya yang terjadi adalah sebaliknya, wanita yang menggoda dirinya dan dia tinggal membawa mereka ke tempat tidur. Angeline terdiam sesaat sebelum berkata, "Saya sudah punya pacar." "Aku tahu." Nathan tersenyum lebar yang artinya adalah: aku akan merebutmu dari tangan pacarmu yang payah itu. "Apa?" "Tidak ada apa-apa." Rupanya tanpa sadar Nathan menyuarakan isi pikirannya tadi dalam bisikan lirih. Angeline menatap curiga. Sekarang dia semakin yakin kalau bos barunya ini sedikit gila. "Kenapa kamu tidak menyukaiku? Ada hubungannya dengan perusahaan tempatmu bekerja sebelumnya?" tanya Nathan. "Mungkin." "Oh? Kamu begitu setia terhadap bos lamamu?" ejek Nathan. "Tidak juga. Buktinya saya mau bekerja di bawah perusahaan yang mengambil alih secara paksa tanpa memberi kesempatan melawan," cetus Angeline. "Aku melakukan apa yang dilakukan semua orang, Angel. Yang kuat memakan yang lemah, yang besar menelan yang kecil. Aku yakin bos lamamu juga melakukan hal yang sama," tutur Nathan. Angeline tidak menanggapi. Dia menusuk-nusuk potongan daging di mangkuk dengan sumpit. "Jangan mencampuradukkan pekerjaan dan perasaan atau kamu akan menghabiskan energi untuk hal yang sia-sia. Kamu mempedulikan orang, tapi apakah orang mempedulikanmu? Bisa jadi mereka malah sudah bersiap-siap tertawa jika kamu jatuh," lanjut Nathan. "Dia sudah seperti ayah bagi kami," ujar Angeline. "Maksudmu sugar daddy?" tanya Nathan. Angeline melotot, "Astaga! Otakmu kotor sekali! Maksudku ayah sungguhan, ayah angkat!" Nathan tertawa, "Aku tidak percaya. Lelaki mana yang tidak memiliki maksud terselubung saat melihat wanita cantik?" "Sulit bicara dengan orang yang berpikiran kotor," gerutu Angeline. Dia malas berdebat. "Aku tahu wajah asli lelaki tua itu, Angel. Kalau kamu mau aku bisa menunjukkannya padamu." Nathan tersenyum licik.Pada hari Sabtu sore terlihat keramaian di sebuah hotel bintang lima. Lelaki dan wanita berpakaian formal berkumpul di sebuah hall besar. Nathaniel Wayne selaku Presiden Direktur Wayne Group mengadakan gathering dengan perusahaan XYZ yang baru saja diambil alih, semacam acara perpisahan dengan bos lama dan perkenalan dengan bos baru. Angeline tampak cantik memakai atasan blouse turtle neck hitam dan celana berwarna senada. Warna hitam menonjolkan bahunya yang seputih pualam. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai lurus. Sebuah wrist wallet hitam melingkar di pergelangan tangan kiri. Nathan yang berhasil membujuk Angeline tetap berdekatan tidak dapat melepas pandangan dari tubuhnya. "Sudah melihat sugar daddy-mu?" goda Nathan. Angeline melotot keki, "Bukan sugar daddy! Pak Bondan sudah seperti ayah angkat bagi saya!" Nathan terkekeh, "Whatever. Jangan menangis kalau melihat kenyataan." Angeline membuang muka. Dia kesal setengah mati karena harus tetap duduk di seb
Malam sudah menuju subuh, tapi Angeline belum juga dapat mengistirahatkan pikirannya yang kacau. Apa lagi penyebabnya kalau bukan Nathan. Keterpurukan emosinya diperburuk dengan dua ciuman lelaki itu. Untung Nathan tidak berbuat lebih jauh dan mau mengantarnya pulang. Hati Angeline didominasi rasa bersalah karena berciuman dengan lelaki lain yang bukan pacarnya. Dia merasa telah mengkhianati Yoga. Berkali-kali Angeline ingin mengirim pesan singkat pada kekasihnya, tapi dibatalkan tengah jalan. Akhirnya dia hanya duduk terpekur merenungi nasib. "Sebenarnya bukan salahku ... Kan dia yang memaksa mencium ... Aku tidak membalas ciuman itu ...," lirih Angeline dalam usaha menetralisir perasaan bersalah. Angeline meninju bantal dengan gemas karena teringat akan betapa lembutnya bibir Nathan. Wajahnya merah padam. "Dasar brengsek! Bos brengsek! Huuhhh ... Reseh!" maki Angeline sambil memukuli bantalnya yang tidak bersalah. Ketika akhirnya matahari keluar dari peraduan
"Mana dia?" tanya Nathan pada Cindy. "Belum datang, Pak," jawab sang sekretaris sesopan mungkin. "Hmm ... Batalkan semua meeting. Saya keluar kantor," titah Nathan. "Baik, Pak." Cindy mengawasi Nathan masuk ke ruangan untuk mengambil tas dan langsung pergi tanpa basa-basi. Tanpa diberitahu pun Cindy tahu bosnya pergi mencari Angeline. Motor sport yang dikendarai Nathan melaju menembus lalu lintas dengan kecepatan tinggi. Dia ingin tiba secepat mungkin di apartemen Angeline karena kemungkinan besar wanita itu sedang bermuram durja dan butuh a shoulder to cry on. Nathan akan menjadi tempat bersandar baginya seperti seorang ksatria berkuda putih. Sementara di unit apartemen lantai sembilan belas, Angeline masih bergelung di dalam selimut. Tidak ada keinginan sedikit pun untuk bergerak, apalagi sekedar mengirimkan pesan singkat pada Nathan atau Cindy kalau hari ini dia tidak ingin masuk kerja. Peristiwa semalam membuat dirinya terguncang. Sejak diantar pula
Jam belum lagi menunjukkan pukul delapan, tapi Angeline sudah pontang-panting menyediakan permintaan Nathan yang dikirimkan lewat pesan singkat pada pukul tujuh lewat lima puluh menit. Tidak tanggung-tanggung, segelas kopi luwak panas dari coffee shop yang berjarak lima ratus meter dari kantor. "Mas ... Hahh ... Ko—kopi luwaknya ... Satu!" Angeline terengah-engah karena berlari sepanjang jalan. Si barista nyaris tertawa melihat wajah wanita muda yang kusut itu, tapi dengan profesional dia segera meracik pesanan Angeline. "Duduk dulu, Mbak. Tidak lama kok," kata si barista berwajah blasteran Timur Tengah itu. Angeline terbungkuk berkacak pinggang. Bibirnya bergerak-gerak mengomel, "Sialan ... Pagi-pagi sudah menyiksa orang ... Dasar bos gila." Beberapa menit kemudian Angeline tiba di lantai empat puluh gedung Wayne Group. Masih terengah dia segera menghambur ke dalam ruangan Nathan dan meletakkan kopi pesanannya. "Kopinya, Pak." Nathan menahan senyum mel
Untung Cindy sempat memperingati Angeline tentang meeting ini, jadi dirinya tidak heran melihat dua pimpinan perusahaan ini saling menjatuhkan di depan semua orang. Angeline tidak terlalu mempedulikan Nathan karena dia tahu bosnya itu tebal muka dan tidak punya belas kasihan. Diam-diam Angeline mengamati Sony Wilmar, CEO dari perusahaan yang bergerak di bidang percetakan. Lelaki itu terlihat seumuran Nathan. Wajahnya tampan dan memiliki fitur lembut yang menyenangkan untuk dilihat. "Sudah! Lakukan saja semaumu! Setidaknya kau tidak pernah terlambat membayar!" Sony menepuk meja dengan kesal. "Tentu saja. Jika service yang kau berikan tidak menurun secara kualitas, tentu akan kuapresiasi." Nathan tersenyum. Wajahnya memancarkan kemenangan. "Apresiasi? Kalau begitu tambahkan nominal fee!" Sony mulai lagi. "Tidak. Kesepakatan yang sudah tercapai tidak akan bisa berubah," ketus Nathan. Sony melirik Angeline tepat saat wanita itu sedang memandang ke arahnya. Kare
"Jangan harap aku mau lagi diajak meeting keluar naik motor. Huh! Keterlaluan!" Sejak tiba di kantor Angeline terus mengomel akibat kelakuan Nathan yang menciumnya tanpa ijin. "Seharusnya kupukul dengan kursi! Menyebalkan sekali! Semakin dibicarakan semakin emosi!" Angeline berjalan mondar-mandir di ruangannya. "Apa aku resign saja ya?" gumam wanita yang sedang emosi itu. Sementara di ruangan Presiden Direktur, Nathan tengah memperhatikan gerak-gerik asisten pribadinya. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar, perpaduan antara senang dan bergairah karena berhasil mencium bibir merah muda yang menggemaskan. Karena Angeline sudah terlanjur emosi terpaksa Nathan kembali ke kantor, kalau tidak dia sudah merencanakan membawa wanita muda itu pergi makan malam romantis di tepi laut. Terkadang ada baiknya mengalah demi kemenangan. "Cindy, aku mau resign," keluh Angeline. "Loh, kenapa? Ada sesuatu terjadi dalam meeting?" Cindy menatap heran. Angeline tidak tahu bag
Nathan memandangi wanita yang berdiri di hadapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wanita itu memakai jaket longgar dan celana jeans yang membuat lekuk tubuhnya tertutup sempurna. Rambut panjangnya diikat ekor kuda longgar. "Pakaian apa itu? Kita pergi meninjau perusahaan, bukan piknik," cetus Nathan. "Meninjau kan? Bukan meeting?" balas Angeline. "Setidaknya pakailah kemeja dan celana bahan, sesuatu yang lebih pantas dibanding jeans." "Oke, saya ganti pakaian sebentar. Tunggu." Sebelum sempat dicegah Angeline pun naik kembali ke lantai sembilan belas. Nathan tersenyum simpul. Tampaknya asisten pribadinya lupa kalau dia masih memegang kartu akses penghuni apartemen. Dengan santai Nathan melenggang masuk ke lift dan naik ke lantai sembilan belas. "Apa kubiarkan saja dia menunggu lama di bawah ya. Siapa tahu batal pergi." Bukannya berganti pakaian Angeline malah berjalan mondar-mandir di kamar. "Kita tidak akan batal pergi." Angeline tersentak
"Angel? Aku bertanya padamu, siapa yang tadi menelepon?" tanya Nathan dengan sabar. "Sony Wilmar." Angeline memutuskan untuk berkata jujur. Dia tahu tidak ada gunanya berbohong kepada bos paranoid yang memasang kamera tersembunyi di mana saja. Bahkan jangan-jangan ada satu kamera juga di dalam mobil ini. "Bagus. Dia benar-benar ingin mencari masalah." Nathan mendengkus kesal. "Tapi, kami belum janjian. Lagipula saya kan pergi bersama Anda?" Wanita itu mengernyit, sebal karena Nathan seolah harus tahu segalanya. Nathan menoleh menatap asisten pribadinya, "Tetap saja rasanya mengganggu karena dia tiba-tiba muncul di sini. Apa yang kamu katakan padanya?" "Saya bilang mungkin bos mau ikut. Dia tidak keberatan sih." Angeline mengangkat bahu. "Begitu?" "Bukan. Begini." Nathan mengabaikan ketidaksopanan Angeline dan berucap, "Tebakanku orang itu sudah menunggumu di lobby. Dia tidak akan membiarkanmu pergi bersamaku." "Apa?" Angeline mengernyit. Ternya