Jam belum lagi menunjukkan pukul delapan, tapi Angeline sudah pontang-panting menyediakan permintaan Nathan yang dikirimkan lewat pesan singkat pada pukul tujuh lewat lima puluh menit. Tidak tanggung-tanggung, segelas kopi luwak panas dari coffee shop yang berjarak lima ratus meter dari kantor. "Mas ... Hahh ... Ko—kopi luwaknya ... Satu!" Angeline terengah-engah karena berlari sepanjang jalan. Si barista nyaris tertawa melihat wajah wanita muda yang kusut itu, tapi dengan profesional dia segera meracik pesanan Angeline. "Duduk dulu, Mbak. Tidak lama kok," kata si barista berwajah blasteran Timur Tengah itu. Angeline terbungkuk berkacak pinggang. Bibirnya bergerak-gerak mengomel, "Sialan ... Pagi-pagi sudah menyiksa orang ... Dasar bos gila." Beberapa menit kemudian Angeline tiba di lantai empat puluh gedung Wayne Group. Masih terengah dia segera menghambur ke dalam ruangan Nathan dan meletakkan kopi pesanannya. "Kopinya, Pak." Nathan menahan senyum mel
Untung Cindy sempat memperingati Angeline tentang meeting ini, jadi dirinya tidak heran melihat dua pimpinan perusahaan ini saling menjatuhkan di depan semua orang. Angeline tidak terlalu mempedulikan Nathan karena dia tahu bosnya itu tebal muka dan tidak punya belas kasihan. Diam-diam Angeline mengamati Sony Wilmar, CEO dari perusahaan yang bergerak di bidang percetakan. Lelaki itu terlihat seumuran Nathan. Wajahnya tampan dan memiliki fitur lembut yang menyenangkan untuk dilihat. "Sudah! Lakukan saja semaumu! Setidaknya kau tidak pernah terlambat membayar!" Sony menepuk meja dengan kesal. "Tentu saja. Jika service yang kau berikan tidak menurun secara kualitas, tentu akan kuapresiasi." Nathan tersenyum. Wajahnya memancarkan kemenangan. "Apresiasi? Kalau begitu tambahkan nominal fee!" Sony mulai lagi. "Tidak. Kesepakatan yang sudah tercapai tidak akan bisa berubah," ketus Nathan. Sony melirik Angeline tepat saat wanita itu sedang memandang ke arahnya. Kare
"Jangan harap aku mau lagi diajak meeting keluar naik motor. Huh! Keterlaluan!" Sejak tiba di kantor Angeline terus mengomel akibat kelakuan Nathan yang menciumnya tanpa ijin. "Seharusnya kupukul dengan kursi! Menyebalkan sekali! Semakin dibicarakan semakin emosi!" Angeline berjalan mondar-mandir di ruangannya. "Apa aku resign saja ya?" gumam wanita yang sedang emosi itu. Sementara di ruangan Presiden Direktur, Nathan tengah memperhatikan gerak-gerik asisten pribadinya. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar, perpaduan antara senang dan bergairah karena berhasil mencium bibir merah muda yang menggemaskan. Karena Angeline sudah terlanjur emosi terpaksa Nathan kembali ke kantor, kalau tidak dia sudah merencanakan membawa wanita muda itu pergi makan malam romantis di tepi laut. Terkadang ada baiknya mengalah demi kemenangan. "Cindy, aku mau resign," keluh Angeline. "Loh, kenapa? Ada sesuatu terjadi dalam meeting?" Cindy menatap heran. Angeline tidak tahu bag
Nathan memandangi wanita yang berdiri di hadapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wanita itu memakai jaket longgar dan celana jeans yang membuat lekuk tubuhnya tertutup sempurna. Rambut panjangnya diikat ekor kuda longgar. "Pakaian apa itu? Kita pergi meninjau perusahaan, bukan piknik," cetus Nathan. "Meninjau kan? Bukan meeting?" balas Angeline. "Setidaknya pakailah kemeja dan celana bahan, sesuatu yang lebih pantas dibanding jeans." "Oke, saya ganti pakaian sebentar. Tunggu." Sebelum sempat dicegah Angeline pun naik kembali ke lantai sembilan belas. Nathan tersenyum simpul. Tampaknya asisten pribadinya lupa kalau dia masih memegang kartu akses penghuni apartemen. Dengan santai Nathan melenggang masuk ke lift dan naik ke lantai sembilan belas. "Apa kubiarkan saja dia menunggu lama di bawah ya. Siapa tahu batal pergi." Bukannya berganti pakaian Angeline malah berjalan mondar-mandir di kamar. "Kita tidak akan batal pergi." Angeline tersentak
"Angel? Aku bertanya padamu, siapa yang tadi menelepon?" tanya Nathan dengan sabar. "Sony Wilmar." Angeline memutuskan untuk berkata jujur. Dia tahu tidak ada gunanya berbohong kepada bos paranoid yang memasang kamera tersembunyi di mana saja. Bahkan jangan-jangan ada satu kamera juga di dalam mobil ini. "Bagus. Dia benar-benar ingin mencari masalah." Nathan mendengkus kesal. "Tapi, kami belum janjian. Lagipula saya kan pergi bersama Anda?" Wanita itu mengernyit, sebal karena Nathan seolah harus tahu segalanya. Nathan menoleh menatap asisten pribadinya, "Tetap saja rasanya mengganggu karena dia tiba-tiba muncul di sini. Apa yang kamu katakan padanya?" "Saya bilang mungkin bos mau ikut. Dia tidak keberatan sih." Angeline mengangkat bahu. "Begitu?" "Bukan. Begini." Nathan mengabaikan ketidaksopanan Angeline dan berucap, "Tebakanku orang itu sudah menunggumu di lobby. Dia tidak akan membiarkanmu pergi bersamaku." "Apa?" Angeline mengernyit. Ternya
"Pak, bisa tidak makan dengan normal? Saya tidak nyaman diperhatikan seperti itu," sergah Angeline. "Tidak bisa," sahut Nathan asal. "Saya pindah meja deh." Angeline benar-benar mengangkat piringnya dan berdiri. "Stop. Mau ke mana?" "Cari meja lain." "Aku ikut." Nathan berdiri. Angeline merengut, kemudian kembali duduk. Malas sekali meladeni drama king ini di tengah restoran yang ramai. Dia melanjutkan makan sambil menunduk dalam-dalam, tidak lupa mengata-ngatai Nathan dalam hati. "Setelah makan siang kita masih perlu melanjutkan meeting. Kamu bantu aku memperhatikan Primus baik-baik," kata Nathan yang matanya tidak berhenti mengamati wanita di hadapannya. "Memperhatikan dia? Kenapa?" Angeline mengangkat wajah. "Lakukan saja seperti yang kusuruh." "Tanpa alasan? Tidak mau." "Angel, sadar tidak dalam satu hari ini kamu sudah berapa kali membantah bosmu?" Nathan menahan senyum. "Saya akan membantah kalau ada sesuatu yang saya rasa tida
Begitu tiba di tempat tujuan yang dimaksud Nathan mau tidak mau Angeline ternganga. Bagaimana tidak? Mereka sedang berdiri di tepi ice rink yang luas. Sejauh mata memandang adalah hamparan es putih. Beberapa orang terlihat asyik meluncur di atas es. "Angel! Sini, cari ukuran sepatu yang cocok!" seru Nathan yang sedari tadi berbicara dengan beberapa orang di counter peminjaman sepatu ice skating. Seperti dihipnotis Angeline mematuhi Nathan. Lelaki itu sudah memegang sepasang sepatu di tangan. "Kamu pernah ice skating?" tanya Nathan. "Belum." Angeline membuntuti lelaki itu duduk di dekat pagar pembatas membawa sepasang sepatu sesuai ukuran kakinya. "Roller blade?" Angeline menggeleng dan merasa seperti manusia pra sejarah. "Tidak sulit kok. Hanya saja permukaan es lebih licin," ujar Nathan. "Ini seperti pakai sepatu biasa, kan?" Angeline memakai kaos kaki dan sepatu. Nathan mengamati, "Ikat talinya yang kencang, kalau tidak kakimu bisa lecet."
"Kalau butuh teman ngobrol telepon aku, oke?" kata Nathan sebelum mereka berdua berpisah di depan kamar hotel masing-masing. Dia sengaja booking kamar berseberangan agar dapat lebih mudah memantau pergerakan Angeline. Tidak bicara, Angeline hanya mengacungkan jempol dan menghilang di balik pintu. Sebenarnya dia tergoda untuk mengacungkan jari tengah juga, tapi sepertinya resiko yang harus ditanggung terlalu besar. Dia tidak mau berkelahi di malam hari. Cukup sudah perjalanan panjang hari ini. Keinginan yang paling mendesak sekarang adalah mandi dan tidur. Angeline melempar kantong belanjaan ke tempat tidur. Kamarnya cukup luas untuk ditempati seorang diri, tapi dia tidak mempermasalahkan. Sementara itu Nathan masih berdiri di lorong. Yakin Angeline tidak akan muncul lagi dia mengeluarkan handphone dan menelepon. "Awasi Yoga Bimantara," perintah Nathan pada seseorang. "Baik, Pak," jawab seseorang di ujung sana. "Jika ada usaha untuk menghubungi Angeline, lap