"Pak, bisa tidak makan dengan normal? Saya tidak nyaman diperhatikan seperti itu," sergah Angeline. "Tidak bisa," sahut Nathan asal. "Saya pindah meja deh." Angeline benar-benar mengangkat piringnya dan berdiri. "Stop. Mau ke mana?" "Cari meja lain." "Aku ikut." Nathan berdiri. Angeline merengut, kemudian kembali duduk. Malas sekali meladeni drama king ini di tengah restoran yang ramai. Dia melanjutkan makan sambil menunduk dalam-dalam, tidak lupa mengata-ngatai Nathan dalam hati. "Setelah makan siang kita masih perlu melanjutkan meeting. Kamu bantu aku memperhatikan Primus baik-baik," kata Nathan yang matanya tidak berhenti mengamati wanita di hadapannya. "Memperhatikan dia? Kenapa?" Angeline mengangkat wajah. "Lakukan saja seperti yang kusuruh." "Tanpa alasan? Tidak mau." "Angel, sadar tidak dalam satu hari ini kamu sudah berapa kali membantah bosmu?" Nathan menahan senyum. "Saya akan membantah kalau ada sesuatu yang saya rasa tida
Begitu tiba di tempat tujuan yang dimaksud Nathan mau tidak mau Angeline ternganga. Bagaimana tidak? Mereka sedang berdiri di tepi ice rink yang luas. Sejauh mata memandang adalah hamparan es putih. Beberapa orang terlihat asyik meluncur di atas es. "Angel! Sini, cari ukuran sepatu yang cocok!" seru Nathan yang sedari tadi berbicara dengan beberapa orang di counter peminjaman sepatu ice skating. Seperti dihipnotis Angeline mematuhi Nathan. Lelaki itu sudah memegang sepasang sepatu di tangan. "Kamu pernah ice skating?" tanya Nathan. "Belum." Angeline membuntuti lelaki itu duduk di dekat pagar pembatas membawa sepasang sepatu sesuai ukuran kakinya. "Roller blade?" Angeline menggeleng dan merasa seperti manusia pra sejarah. "Tidak sulit kok. Hanya saja permukaan es lebih licin," ujar Nathan. "Ini seperti pakai sepatu biasa, kan?" Angeline memakai kaos kaki dan sepatu. Nathan mengamati, "Ikat talinya yang kencang, kalau tidak kakimu bisa lecet."
"Kalau butuh teman ngobrol telepon aku, oke?" kata Nathan sebelum mereka berdua berpisah di depan kamar hotel masing-masing. Dia sengaja booking kamar berseberangan agar dapat lebih mudah memantau pergerakan Angeline. Tidak bicara, Angeline hanya mengacungkan jempol dan menghilang di balik pintu. Sebenarnya dia tergoda untuk mengacungkan jari tengah juga, tapi sepertinya resiko yang harus ditanggung terlalu besar. Dia tidak mau berkelahi di malam hari. Cukup sudah perjalanan panjang hari ini. Keinginan yang paling mendesak sekarang adalah mandi dan tidur. Angeline melempar kantong belanjaan ke tempat tidur. Kamarnya cukup luas untuk ditempati seorang diri, tapi dia tidak mempermasalahkan. Sementara itu Nathan masih berdiri di lorong. Yakin Angeline tidak akan muncul lagi dia mengeluarkan handphone dan menelepon. "Awasi Yoga Bimantara," perintah Nathan pada seseorang. "Baik, Pak," jawab seseorang di ujung sana. "Jika ada usaha untuk menghubungi Angeline, lap
Langit biru di luar jendela begitu indah, begitu jernih tanpa ada awan sedikit pun. Siluet seorang wanita tampak merenggangkan tubuh dalam balutan kaos santai dan legging selutut. Rambut panjang Angeline diikat ekor kuda supaya tidak menghalangi pergerakan. Memakai sepatu kets berwarna putih dan dia pun siap berlari pagi. Angeline tidak tahu apakah Nathan serius dengan kata-katanya kemarin soal akan menjemput pagi-pagi, tapi dia tidak berminat untuk mencari tahu. Ada atau tidak ada teman, dia akan tetap menjalani rutinitas. Dering handphone mengganggu kedamaian pagi. Angeline mengeluarkan benda pipih itu dari saku legging dan mengerucutkan bibir. "Speak of the devil," gerutunya. Sebelum menerima panggilan tersebut Angeline mengatur nafas supaya tidak terpancing emosi atas apa pun yang akan dibicarakan Nathan. "Pagi, Pak," sapa Angeline seformal mungkin untuk mengingatkan lelaki itu akan posisi mereka. "Pak? Ini bukan hari kerja!" Terdengar Nathan berseru un
"Oi, kenapa memanggilku kemari? Kau tidak tahu aku sedang merencanakan kencan untuk nanti malam?" omel Alardo. Suara keras terdengar setiap kali tinju Nathan memukul samsak. Raut wajahnya serius menunjukkan masih ada beban emosi yang belum terlampiaskan. Melihat sahabatnya tiba dia berhenti menyiksa samsak. "Sparring denganku." Nathan berkata dingin. "Sial. Kenapa selalu mencariku di saat emosi? Temui aku kalau kau sudah tenang!" Alardo seolah dapat melihat nasib buruk terpampang di depan mata. "Banyak bicara," ketus Nathan. "Argh, nasib buruk menanti. Di mana pacarmu?" Setengah hati Alardo melepas jaket dan memakai sarung tangan. Nathan menatap sengit. Alardo pun tahu dia salah bicara. Tampaknya lelaki ini memiliki masalah dengan seorang wanita. Hal ini baru pertama kalinya terjadi karena biasanya wanita-lah yang memiliki masalah dengan Nathan. Satu jam yang menegangkan berlalu. Sepanjang waktu itu Alardo merasa seperti seorang matador yang berhadapan
"Kenapa aku lagi?? Sparring saja dengan pacarmu itu! Sial kau! Jangan pukul wajah!" Alardo berseru protes sambil terus berusaha berkelit dari serangan Nathan. "Berhenti bicara!" Semua orang menonton sparring antara Nathan dan Alardo yang terlihat tidak seimbang. Jelas-jelas Nathan sedang emosi, tapi tidak ada yang tahu apa penyebabnya kecuali si rekan sparring yang malang. "Nathan! Aku berhenti jadi temanmu!" Alardo menunduk menghindari pukulan menyamping, tapi tubuhnya terlempar oleh tendangan. "Bangun!" seru Nathan. Alardo pura-pura pingsan. Beberapa waktu kemudian di club malam tempat para eksekutif muda banyak menghabiskan waktu dan menggoda wanita, tampak Nathan dan Alardo duduk di meja mereka. "Sepertinya kau mendapat karma, Nate. Siapa suruh terlalu banyak bermain wanita," ejek Alardo sambil memperhatikan seorang wanita muda berambut cokelat di bar. Nathan menatap sengit, "Kata orang yang setiap hari kemari untuk membawa pulang wanita." A
Saat ini Nathan menyesal mengijinkan Angeline untuk tidak masuk kerja karena tidak ada yang bisa diganggu saat dia bosan. Pekerjaannya sebagai seorang Presiden Direktur tidaklah sedikit, tapi pikirannya terampas oleh seorang wanita. Bukan hal yang menyenangkan. "Pak, jangan lupa semua laporan dari masing-masing departemen yang perlu ditandatangani. Juga meeting pukul dua dengan Pak Gatot dari penyelenggara seminar di Bali." Cindy mengingatkan saat membawa setumpuk map ke ruangan Nathan. "Hmm ...." Nathan hanya bergumam. Setelah meletakkan map-map itu di tepi meja Cindy pun berbalik dan melangkah pergi. "Senin depan kamu ikut ke Bali. Ajak suamimu," ucap Nathan. Cindy berbalik lagi, "Ya Pak, tapi bukankah Angeline ikut?" "Kamu ikut supaya dia merasa nyaman. Selepas seminar kalian berdua boleh kemana saja. Anggaplah cuti singkat," lanjut Nathan. "Memangnya berapa hari rencana Anda di Bali?" tanya Cindy. "Tiga hari cukup?" Cindy tertegun. Tampaknya
"Pergilah sana. Katanya mau meeting jam dua? Ini sudah jam setengah dua," cetus Angeline. "Nanti," kata Nathan keras kepala. Angeline pun menghempaskan diri di sofa. Sulitnya membujuk Bos yang keras kepala, persis seperti menarik kerbau yang enggan berjalan. Dengan sebal wanita itu mengamati Nathan. "Kenapa? Aku tidak boleh di sini?" tanya Nathan. "Bukannya tidak boleh, tapi sudah terlalu lama." "Angel, aku baru menolongmu dari lelaki brengsek itu loh? Biarkan aku santai sejenak," gerutu Nathan yang mulai gerah karena diusir pergi. "Ya sudah. Terserah deh." Angeline melengos. Nathan tersenyum tipis karena berhasil memperoleh keinginannya. Dia memandangi Angeline yang duduk berselonjor tanpa keanggunan sama sekali. Heran juga, rasa sukanya terhadap wanita ini bisa bertahan cukup lama. Biasanya satu atau dua hari dia akan bosan. "Ikutlah ke kantor," ucap Nathan tanpa banyak berpikir. "Tidak mau." "Angel." "Tidak mau. Aku sedang menikmati h