"Oi, kenapa memanggilku kemari? Kau tidak tahu aku sedang merencanakan kencan untuk nanti malam?" omel Alardo. Suara keras terdengar setiap kali tinju Nathan memukul samsak. Raut wajahnya serius menunjukkan masih ada beban emosi yang belum terlampiaskan. Melihat sahabatnya tiba dia berhenti menyiksa samsak. "Sparring denganku." Nathan berkata dingin. "Sial. Kenapa selalu mencariku di saat emosi? Temui aku kalau kau sudah tenang!" Alardo seolah dapat melihat nasib buruk terpampang di depan mata. "Banyak bicara," ketus Nathan. "Argh, nasib buruk menanti. Di mana pacarmu?" Setengah hati Alardo melepas jaket dan memakai sarung tangan. Nathan menatap sengit. Alardo pun tahu dia salah bicara. Tampaknya lelaki ini memiliki masalah dengan seorang wanita. Hal ini baru pertama kalinya terjadi karena biasanya wanita-lah yang memiliki masalah dengan Nathan. Satu jam yang menegangkan berlalu. Sepanjang waktu itu Alardo merasa seperti seorang matador yang berhadapan
"Kenapa aku lagi?? Sparring saja dengan pacarmu itu! Sial kau! Jangan pukul wajah!" Alardo berseru protes sambil terus berusaha berkelit dari serangan Nathan. "Berhenti bicara!" Semua orang menonton sparring antara Nathan dan Alardo yang terlihat tidak seimbang. Jelas-jelas Nathan sedang emosi, tapi tidak ada yang tahu apa penyebabnya kecuali si rekan sparring yang malang. "Nathan! Aku berhenti jadi temanmu!" Alardo menunduk menghindari pukulan menyamping, tapi tubuhnya terlempar oleh tendangan. "Bangun!" seru Nathan. Alardo pura-pura pingsan. Beberapa waktu kemudian di club malam tempat para eksekutif muda banyak menghabiskan waktu dan menggoda wanita, tampak Nathan dan Alardo duduk di meja mereka. "Sepertinya kau mendapat karma, Nate. Siapa suruh terlalu banyak bermain wanita," ejek Alardo sambil memperhatikan seorang wanita muda berambut cokelat di bar. Nathan menatap sengit, "Kata orang yang setiap hari kemari untuk membawa pulang wanita." A
Saat ini Nathan menyesal mengijinkan Angeline untuk tidak masuk kerja karena tidak ada yang bisa diganggu saat dia bosan. Pekerjaannya sebagai seorang Presiden Direktur tidaklah sedikit, tapi pikirannya terampas oleh seorang wanita. Bukan hal yang menyenangkan. "Pak, jangan lupa semua laporan dari masing-masing departemen yang perlu ditandatangani. Juga meeting pukul dua dengan Pak Gatot dari penyelenggara seminar di Bali." Cindy mengingatkan saat membawa setumpuk map ke ruangan Nathan. "Hmm ...." Nathan hanya bergumam. Setelah meletakkan map-map itu di tepi meja Cindy pun berbalik dan melangkah pergi. "Senin depan kamu ikut ke Bali. Ajak suamimu," ucap Nathan. Cindy berbalik lagi, "Ya Pak, tapi bukankah Angeline ikut?" "Kamu ikut supaya dia merasa nyaman. Selepas seminar kalian berdua boleh kemana saja. Anggaplah cuti singkat," lanjut Nathan. "Memangnya berapa hari rencana Anda di Bali?" tanya Cindy. "Tiga hari cukup?" Cindy tertegun. Tampaknya
"Pergilah sana. Katanya mau meeting jam dua? Ini sudah jam setengah dua," cetus Angeline. "Nanti," kata Nathan keras kepala. Angeline pun menghempaskan diri di sofa. Sulitnya membujuk Bos yang keras kepala, persis seperti menarik kerbau yang enggan berjalan. Dengan sebal wanita itu mengamati Nathan. "Kenapa? Aku tidak boleh di sini?" tanya Nathan. "Bukannya tidak boleh, tapi sudah terlalu lama." "Angel, aku baru menolongmu dari lelaki brengsek itu loh? Biarkan aku santai sejenak," gerutu Nathan yang mulai gerah karena diusir pergi. "Ya sudah. Terserah deh." Angeline melengos. Nathan tersenyum tipis karena berhasil memperoleh keinginannya. Dia memandangi Angeline yang duduk berselonjor tanpa keanggunan sama sekali. Heran juga, rasa sukanya terhadap wanita ini bisa bertahan cukup lama. Biasanya satu atau dua hari dia akan bosan. "Ikutlah ke kantor," ucap Nathan tanpa banyak berpikir. "Tidak mau." "Angel." "Tidak mau. Aku sedang menikmati h
Tidak tahu harus berkomentar apa Angeline berlagak sibuk mencuci sesuatu di wastafel. Dia telah menyatakan alasan-alasan yang mencegah tercipta hubungan khusus di antara mereka, dan sebagai wanita dia tidak ingin menjadi pihak pertama yang mengingkari. Setidaknya sampai Nathan berhasil membuktikan dirinya berubah menjadi lebih baik. Atau tidak juga. Angeline menepuk dahi. Pikiran macam apa yang terlintas barusan? Jadi sebenarnya dia menginginkannya atau tidak? Tidak mau, tapi ada sedikit berharap? "Angel? Kepalamu sakit?" Nathan memperhatikan perilaku yang sedikit aneh tersebut. "Ya ... Mungkin," gumam Angeline. "Mungkin kamu terlalu lelah? Sini kubantu." Nathan berdiri. "Tidak usah. Sudah selesai kok." Angeline cepat-cepat mengeringkan tangan sebelum ketahuan dirinya cuma bermain air di wastafel. Sedikit keki Nathan kembali duduk. "Kamu nyaman jadi asisten pribadiku?" tanya Nathan. Si wanita menatap heran, "Pekerjaan tidak selalu nyaman, tapi a
Mendung menggelayut di pelupuk mata Nathan. Pembicaraan semalam masih terngiang di telinga, khususnya bagian di mana Angeline mengejeknya takut tersaingi oleh Alardo. Akibatnya sejak terbangun di pagi ini dia berdiri memandangi cermin. Rambut kusut dan tubuh bagian atas terpampang bebas membuatnya terlihat seperti badboy sejati, apalagi ditambah tato yang menghiasi lengan kiri sampai dada. "Bagian mana yang membuatku merasa tersaingi? Jelas-jelas banyak wanita yang menginginkan ini!" gerutu Nathan. Menit demi menit berlalu dan Nathan tahu jika dia tidak turun ke kantor, asisten pribadinya akan naik mengingatkan waktu. Dengan helaan nafas panjang lelaki itu melangkah ke kamar mandi. Pikirnya, mungkin siraman air dingin bisa meredam kekesalan. "Angeline ... Baru dua minggu lebih kamu sudah membuatku tidak tenang," keluh Nathan. Sosok wanita berwajah manis itu terbayang kembali. Tatapan mata yang seringkali waspada, bibir merah muda yang menggemaskan, juga tubuh mungi
'Sore aku jemput. Jangan beri tahu Nathan.' Lama Angeline termenung memperhatikan pesan singkat dari Sony Wilmar. Rasa kesal akibat sikap kekanakan Nathan di kantin membuatnya ingin melakukan sesuatu yang tidak biasa, seperti menyetujui ajakan Sony. Lagipula apa hak Nathan melarangnya? Pacar bukan, teman juga cuma kadang-kadang. Ketika Nathan masuk ke ruangan Angeline tidak terburu-buru menyembunyikan handphone supaya tidak membuat bosnya curiga. Matanya mengawasi sosok lelaki tinggi besar itu duduk di belakang meja. Wajah reseh itu masih saja tersenyum mengesalkan. "Angel, kemari." "Ya, Pak." Angeline beranjak dari kursi. Nathan membuka sebuah website di laptop. Sederet foto muncul di halaman website tersebut, menampilkan model-model pria berpakaian formal, stelan jas yang terlihat mewah. Angeline mengamati sekilas dan menyimpulkan kalau si Bos mau memesan jas baru. "Kamu paham model jas lelaki?" tanya Nathan. "Tidak terlalu." "Coba kamu pelajari.
Rutinitas pagi berjalan seperti biasa. Membawa croissant, membuat secangkir kopi hitam, naik ke lantai empat puluh satu untuk membangunkan si Bos yang—sepertinya sengaja—kesiangan, membantu memilih warna pakaian. Angeline mengerjakan semuanya tanpa ekspresi supaya tidak memancing kejahilan Nathan. "Hei, mau ke mana?" Angeline yang sudah berjalan ke pintu membalikkan badan, "Ke kantor." "Memangnya sudah jam berapa?" Nathan sibuk mengancing manset. "Jam delapan lewat dua menit." "Hmm ... Oke. Turunlah duluan." Wanita itu pun melanjutkan perjalanan menuju pintu keluar. Dia tidak tahu Nathan memandangi pinggulnya yang melenggok seturut langkah kaki dengan penuh minat. "Wanita cantik yang tidak dapat disentuh," gumam Nathan. Sebagai lelaki normal dia memiliki keinginan untuk memeluk dan menciumi Angeline sampai wanita itu menyerah. Namun, apa yang hendak dicapainya? Kepuasan sesaat atau relasi yang lebih berarti? Nathan memaki tanpa suara karena cela