Mendung menggelayut di pelupuk mata Nathan. Pembicaraan semalam masih terngiang di telinga, khususnya bagian di mana Angeline mengejeknya takut tersaingi oleh Alardo. Akibatnya sejak terbangun di pagi ini dia berdiri memandangi cermin. Rambut kusut dan tubuh bagian atas terpampang bebas membuatnya terlihat seperti badboy sejati, apalagi ditambah tato yang menghiasi lengan kiri sampai dada. "Bagian mana yang membuatku merasa tersaingi? Jelas-jelas banyak wanita yang menginginkan ini!" gerutu Nathan. Menit demi menit berlalu dan Nathan tahu jika dia tidak turun ke kantor, asisten pribadinya akan naik mengingatkan waktu. Dengan helaan nafas panjang lelaki itu melangkah ke kamar mandi. Pikirnya, mungkin siraman air dingin bisa meredam kekesalan. "Angeline ... Baru dua minggu lebih kamu sudah membuatku tidak tenang," keluh Nathan. Sosok wanita berwajah manis itu terbayang kembali. Tatapan mata yang seringkali waspada, bibir merah muda yang menggemaskan, juga tubuh mungi
'Sore aku jemput. Jangan beri tahu Nathan.' Lama Angeline termenung memperhatikan pesan singkat dari Sony Wilmar. Rasa kesal akibat sikap kekanakan Nathan di kantin membuatnya ingin melakukan sesuatu yang tidak biasa, seperti menyetujui ajakan Sony. Lagipula apa hak Nathan melarangnya? Pacar bukan, teman juga cuma kadang-kadang. Ketika Nathan masuk ke ruangan Angeline tidak terburu-buru menyembunyikan handphone supaya tidak membuat bosnya curiga. Matanya mengawasi sosok lelaki tinggi besar itu duduk di belakang meja. Wajah reseh itu masih saja tersenyum mengesalkan. "Angel, kemari." "Ya, Pak." Angeline beranjak dari kursi. Nathan membuka sebuah website di laptop. Sederet foto muncul di halaman website tersebut, menampilkan model-model pria berpakaian formal, stelan jas yang terlihat mewah. Angeline mengamati sekilas dan menyimpulkan kalau si Bos mau memesan jas baru. "Kamu paham model jas lelaki?" tanya Nathan. "Tidak terlalu." "Coba kamu pelajari.
Rutinitas pagi berjalan seperti biasa. Membawa croissant, membuat secangkir kopi hitam, naik ke lantai empat puluh satu untuk membangunkan si Bos yang—sepertinya sengaja—kesiangan, membantu memilih warna pakaian. Angeline mengerjakan semuanya tanpa ekspresi supaya tidak memancing kejahilan Nathan. "Hei, mau ke mana?" Angeline yang sudah berjalan ke pintu membalikkan badan, "Ke kantor." "Memangnya sudah jam berapa?" Nathan sibuk mengancing manset. "Jam delapan lewat dua menit." "Hmm ... Oke. Turunlah duluan." Wanita itu pun melanjutkan perjalanan menuju pintu keluar. Dia tidak tahu Nathan memandangi pinggulnya yang melenggok seturut langkah kaki dengan penuh minat. "Wanita cantik yang tidak dapat disentuh," gumam Nathan. Sebagai lelaki normal dia memiliki keinginan untuk memeluk dan menciumi Angeline sampai wanita itu menyerah. Namun, apa yang hendak dicapainya? Kepuasan sesaat atau relasi yang lebih berarti? Nathan memaki tanpa suara karena cela
Kenyataan yang dibeberkan Nathan memang beralasan dan itu membuat Angeline kehilangan sedikit harapan untuk bebas. Cuma sedikit sih. Karena di samping pasal-pasal kontrak yang mencekik, gaji dan pekerjaan di Wayne Group bisa dikatakan baik. Dia hanya perlu pandai-pandai menghindari gangguan si Bos. Oh ya, dan jangan lupa menambah persediaan kesabaran. Angeline duduk bertopang dagu tanpa keinginan untuk bergerak. Matanya menatap langit biru di luar jendela. Satu jam telah berlalu sejak Nathan meeting dengan para manager sehubungan pengembangan perusahaan ke bidang fashion. "Huh, membosankan sekali. Apa gue ke kantin ya?" gumam Angeline melihat jam di handphone menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh lima menit. Baru dia selesai berpikir sebuah pesan singkat masuk ke handphone. Tanpa semangat Angeline melihatnya. Dia menghela nafas. Manusia bernama Sony ini belum menyerah juga. Dia beruntung karena semalam Angeline membuka blokiran terhadap nomornya. 'Angel, sian
"Serius sedikit!" seru Angeline. Nathan tidak merespon pancingan itu. Sejak tadi dia hanya menghindar dan menangkis. Tenaga Angeline memang tidak sekuat lelaki, tapi emosi membuatnya menjadi lawan yang menyulitkan. Beberapa waktu kemudian Angeline berhenti. Nafasnya terengah dan wajahnya sedikit pucat dibanjiri keringat. "Puas?" Nathan tersenyum. "Belum!" sergah wanita yang sedikit lagi mencapai batas ketahanannya. "Masih mau dilanjutkan?" Angeline melengos, "Malas lihat mukamu." Suara tawa yang menyenangkan keluar dari mulut Nathan, "Sudahlah. Kalau mau besok baru kita lanjutkan. Aku tidak mau melihatmu cedera." Tanpa mempedulikan lelaki itu Angeline menghampiri samsak. Dia tahu tubuhnya sudah lelah, tapi hatinya masih resah gelisah dan emosi negatif harus dituntaskan supaya dapat tidur nyenyak malam ini. Pukulan demi pukulan memaksa otot lengannya bekerja keras hingga nyeri. "Angel, cukup." Nathan khawatir melihat Angeline memukuli samsak.
Sepasang mata indah Angeline membulat. Dia nyaris tidak percaya Nathan mengucapkan kata-kata itu. Apa tadi? Berkata bahwa dia adalah wanitanya? Sepertinya lelaki itu menderita narsistik akut. "Nathan! Aku belum menyetujui apa-apa! Kenapa menyebutku wanitamu?" ketus Angeline. "Terdengar bagus, bukan? Jika semua orang sudah tahu kamu wanitaku, tidak akan ada yang berani mengganggumu. Tidak juga berani bergosip." Nathan memanfaatkan momen dengan melangkah ke arah Angeline. "Stop! Jangan mendekat!" Angeline menjaga jarak. Nathan berhenti. "Aku tidak suka sebutan itu. Membuatku terdengar seperti wanita simpanan," cetus Angeline. "Kalau begitu apa?" pancing Nathan. Angeline memicingkan mata, "Aku tidak akan terjebak. Tidak. Untuk saat ini kita masih sebagai teman. Hanya satu ciuman tidak lantas membuat kita memiliki hubungan khusus." Senyum Nathan melebar. Betapa inginnya dia memeluk dan mencium bibir wanita itu sampai kehabisan nafas, kemudian menciumi l
Alardo memicingkan mata memperhatikan wajah sahabatnya yang sedari tadi tidak berhenti tersenyum. Ada sesuatu yang sangat mencurigakan dan entah dia ingin tahu atau tidak. "Kepalamu terbentur sesuatu?" tanya Alardo yang tidak tahan lagi. "Ejeklah sesukamu. Aku sedang senang hari ini," ujar Nathan. Kedua alis Alardo bertaut, kemudian terangkat tinggi, "Ini pasti ada hubungannya dengan pacarmu! Apa yang terjadi? Kalian melakukan ...." "Tidak." "Tidak? Lalu apa yang terjadi? Dia memutuskanmu?" tebak Alardo. "Heh, mulutmu busuk sekali," cetus Nathan. "Begini rupanya kelakuan lelaki yang sedang jatuh cinta. Sangat tidak masuk di akal." Alardo geleng-geleng kepala. "Apa?" "Sungguh tidak dapat dimengerti. Aku tidak akan mengerti. Apa bagusnya monogami? Terlalu banyak wanita cantik di dunia dan hidup terlalu singkat untuk hanya menyukai satu wanita," cerocos Alardo. Dia menghabiskan minuman di gelas dalam sekali tenggak. Nathan mengamati sahabatnya,
"Hei, bangun." Lelaki yang masih berselonjor di sofa itu tidak bergerak sedikit pun. "Nathan, bangun." Angeline mengguncang bahu Nathan. "Hmmm ...." Angeline berdecak keki ketika Nathan malah berbalik memunggunginya. Melihat wajah seram itu pulas seperti bayi membuat Angeline ingin memasukkan sepotong es batu ke dalam kaos Nathan. Tersenyum geli oleh idenya sendiri, dia memutuskan untuk membiarkan lelaki itu tidur sepuasnya. Minggu pagi adalah waktu yang sempurna untuk membersihkan apartemen, mencuci pakaian, juga bersantai ria sambil menonton film kesukaan. Semoga saja kehadiran Nathan yang menginap sejak semalam tidak mengganggu rutinitas. Memakai kaos longgar dan celana pendek, Angeline—yang sudah selesai mencuci—sibuk membersihkan jendela kamar. Tangannya menjangkau sudut teratas kaca sampai berjinjit. Dia tidak suka melihat ada noda yang tertinggal. Wanita itu terkesiap saat seseorang memeluknya dari belakang. Refleks yang terlatih membuat tangannya se