Rutinitas pagi berjalan seperti biasa. Membawa croissant, membuat secangkir kopi hitam, naik ke lantai empat puluh satu untuk membangunkan si Bos yang—sepertinya sengaja—kesiangan, membantu memilih warna pakaian. Angeline mengerjakan semuanya tanpa ekspresi supaya tidak memancing kejahilan Nathan. "Hei, mau ke mana?" Angeline yang sudah berjalan ke pintu membalikkan badan, "Ke kantor." "Memangnya sudah jam berapa?" Nathan sibuk mengancing manset. "Jam delapan lewat dua menit." "Hmm ... Oke. Turunlah duluan." Wanita itu pun melanjutkan perjalanan menuju pintu keluar. Dia tidak tahu Nathan memandangi pinggulnya yang melenggok seturut langkah kaki dengan penuh minat. "Wanita cantik yang tidak dapat disentuh," gumam Nathan. Sebagai lelaki normal dia memiliki keinginan untuk memeluk dan menciumi Angeline sampai wanita itu menyerah. Namun, apa yang hendak dicapainya? Kepuasan sesaat atau relasi yang lebih berarti? Nathan memaki tanpa suara karena cela
Kenyataan yang dibeberkan Nathan memang beralasan dan itu membuat Angeline kehilangan sedikit harapan untuk bebas. Cuma sedikit sih. Karena di samping pasal-pasal kontrak yang mencekik, gaji dan pekerjaan di Wayne Group bisa dikatakan baik. Dia hanya perlu pandai-pandai menghindari gangguan si Bos. Oh ya, dan jangan lupa menambah persediaan kesabaran. Angeline duduk bertopang dagu tanpa keinginan untuk bergerak. Matanya menatap langit biru di luar jendela. Satu jam telah berlalu sejak Nathan meeting dengan para manager sehubungan pengembangan perusahaan ke bidang fashion. "Huh, membosankan sekali. Apa gue ke kantin ya?" gumam Angeline melihat jam di handphone menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh lima menit. Baru dia selesai berpikir sebuah pesan singkat masuk ke handphone. Tanpa semangat Angeline melihatnya. Dia menghela nafas. Manusia bernama Sony ini belum menyerah juga. Dia beruntung karena semalam Angeline membuka blokiran terhadap nomornya. 'Angel, sian
"Serius sedikit!" seru Angeline. Nathan tidak merespon pancingan itu. Sejak tadi dia hanya menghindar dan menangkis. Tenaga Angeline memang tidak sekuat lelaki, tapi emosi membuatnya menjadi lawan yang menyulitkan. Beberapa waktu kemudian Angeline berhenti. Nafasnya terengah dan wajahnya sedikit pucat dibanjiri keringat. "Puas?" Nathan tersenyum. "Belum!" sergah wanita yang sedikit lagi mencapai batas ketahanannya. "Masih mau dilanjutkan?" Angeline melengos, "Malas lihat mukamu." Suara tawa yang menyenangkan keluar dari mulut Nathan, "Sudahlah. Kalau mau besok baru kita lanjutkan. Aku tidak mau melihatmu cedera." Tanpa mempedulikan lelaki itu Angeline menghampiri samsak. Dia tahu tubuhnya sudah lelah, tapi hatinya masih resah gelisah dan emosi negatif harus dituntaskan supaya dapat tidur nyenyak malam ini. Pukulan demi pukulan memaksa otot lengannya bekerja keras hingga nyeri. "Angel, cukup." Nathan khawatir melihat Angeline memukuli samsak.
Sepasang mata indah Angeline membulat. Dia nyaris tidak percaya Nathan mengucapkan kata-kata itu. Apa tadi? Berkata bahwa dia adalah wanitanya? Sepertinya lelaki itu menderita narsistik akut. "Nathan! Aku belum menyetujui apa-apa! Kenapa menyebutku wanitamu?" ketus Angeline. "Terdengar bagus, bukan? Jika semua orang sudah tahu kamu wanitaku, tidak akan ada yang berani mengganggumu. Tidak juga berani bergosip." Nathan memanfaatkan momen dengan melangkah ke arah Angeline. "Stop! Jangan mendekat!" Angeline menjaga jarak. Nathan berhenti. "Aku tidak suka sebutan itu. Membuatku terdengar seperti wanita simpanan," cetus Angeline. "Kalau begitu apa?" pancing Nathan. Angeline memicingkan mata, "Aku tidak akan terjebak. Tidak. Untuk saat ini kita masih sebagai teman. Hanya satu ciuman tidak lantas membuat kita memiliki hubungan khusus." Senyum Nathan melebar. Betapa inginnya dia memeluk dan mencium bibir wanita itu sampai kehabisan nafas, kemudian menciumi l
Alardo memicingkan mata memperhatikan wajah sahabatnya yang sedari tadi tidak berhenti tersenyum. Ada sesuatu yang sangat mencurigakan dan entah dia ingin tahu atau tidak. "Kepalamu terbentur sesuatu?" tanya Alardo yang tidak tahan lagi. "Ejeklah sesukamu. Aku sedang senang hari ini," ujar Nathan. Kedua alis Alardo bertaut, kemudian terangkat tinggi, "Ini pasti ada hubungannya dengan pacarmu! Apa yang terjadi? Kalian melakukan ...." "Tidak." "Tidak? Lalu apa yang terjadi? Dia memutuskanmu?" tebak Alardo. "Heh, mulutmu busuk sekali," cetus Nathan. "Begini rupanya kelakuan lelaki yang sedang jatuh cinta. Sangat tidak masuk di akal." Alardo geleng-geleng kepala. "Apa?" "Sungguh tidak dapat dimengerti. Aku tidak akan mengerti. Apa bagusnya monogami? Terlalu banyak wanita cantik di dunia dan hidup terlalu singkat untuk hanya menyukai satu wanita," cerocos Alardo. Dia menghabiskan minuman di gelas dalam sekali tenggak. Nathan mengamati sahabatnya,
"Hei, bangun." Lelaki yang masih berselonjor di sofa itu tidak bergerak sedikit pun. "Nathan, bangun." Angeline mengguncang bahu Nathan. "Hmmm ...." Angeline berdecak keki ketika Nathan malah berbalik memunggunginya. Melihat wajah seram itu pulas seperti bayi membuat Angeline ingin memasukkan sepotong es batu ke dalam kaos Nathan. Tersenyum geli oleh idenya sendiri, dia memutuskan untuk membiarkan lelaki itu tidur sepuasnya. Minggu pagi adalah waktu yang sempurna untuk membersihkan apartemen, mencuci pakaian, juga bersantai ria sambil menonton film kesukaan. Semoga saja kehadiran Nathan yang menginap sejak semalam tidak mengganggu rutinitas. Memakai kaos longgar dan celana pendek, Angeline—yang sudah selesai mencuci—sibuk membersihkan jendela kamar. Tangannya menjangkau sudut teratas kaca sampai berjinjit. Dia tidak suka melihat ada noda yang tertinggal. Wanita itu terkesiap saat seseorang memeluknya dari belakang. Refleks yang terlatih membuat tangannya se
"Oh sial ...! Jam berapa ini??" Angeline melihat jam di handphone. "Angel! Bangun!" seru Nathan sambil menggedor pintu kamar. Keributan itulah yang membangunkan Angeline dari tidur teramat lelap. "Yaaa! Sudah bangun!" Wanita itu menyambar handuk, membuka pintu, menabrak Nathan, dan terus berlari ke kamar mandi. "Astaga, huru-hara sekali? Tenang saja. Waktu kita masih banyak sebelum penerbangan." Nathan terdorong mundur selangkah. "Aku belum berkemas! Gara-gara kamu ajak bergadang!" seru Angeline di sela debur air. Nathan terkekeh, "Tapi kamu menikmatinya, kan?" "Nathan! Jangan bicara seolah-olah kita sudah melakukan sesuatu yang aneh! Kita cuma mengobrol!" Wanita di dalam kamar mandi menyerukan protes keras. "Mandi yang cepat. Kita masih harus ke tempatku," ujar Nathan. "Iya, iya! Sudah tahu, Bawel!" "Hei, aku masih bosmu." "Biarin!" Setelah mandi dan berpakaian, Angeline menjejalkan benda keperluan tiga hari dua malam dalam satu koper b
Pukul tujuh malam semua petinggi perusahaan se-Asia Tenggara berkumpul di hall maha besar untuk santap malam bersama. Masing-masing undangan dibebaskan untuk memilih di meja mana mereka akan duduk dan bersama siapa. Suasana sedikit santai meskipun semua orang berbusana formal. "Oi! Nathan!" Seseorang berseru memanggil. Angeline langsung menoleh ke arah sumber suara dan melihat Alardo yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Lelaki muda itu melangkah lebar-lebar ke arah mereka. "Kita cari meja lain." Nathan menarik tangan Angeline untuk menjauhi buaya, maksudnya Alardo. "Hei, tunggu! Mau ke mana kalian?" Alardo mempercepat langkah. "Nathan, ini aku pakai sepatu hak tinggi, jangan cepat-cepat!" protes Angeline. "Aku bisa menggendongmu kalau perlu," sahut Nathan sekenanya. "Tidak boleh!" Angeline melotot. "Hei! Kenapa begitu melihatku kalian malah kabur? Aku mau mengajak kalian duduk bersama. Ayahku sedang asyik mengobrol dengan bos perusahaan