"Angel? Bangun, sudah pagi! Angel?" Nathan sudah sibuk mengetuk pintu kamar Angeline. Tidak ada jawaban. "Hello? Angel? Bangun atau aku masuk dengan paksa." Nathan terus mengetuk. Tetap tidak ada jawaban. Mondar-mandir di depan kamar Angeline, Nathan mempertimbangkan pilihan yang terbaik, apakah akan langsung mendobrak pintu atau minta kunci pada pihak manajemen hotel. "Pagi, Pak. Loh, saya pikir sudah siap ke aula seminar?" sapa Cindy yang datang dengan pakaian formal. Nathan mengernyit, "Kenapa kamu berpakaian rapi?" "Semalam Angel meminta saya untuk menggantikannya ikut seminar hari ini. Dia bilang ada keperluan mendadak di Jakarta jadi pulang duluan," tutur Cindy. Nathan menekan pangkal hidung, "Dia kabur." Cindy meringis. Tanpa berkata apa pun Nathan kembali ke kamarnya. "Pak? Seminarnya?" Cindy mengejar. "Tidak perlu lagi." Pada waktu hampir bersamaan di Jakarta, tepatnya di gedung apartemen tempat Angeline tinggal ...
Sepasang mata indah itu menatap tidak percaya. Tangannya memegang lembaran-lembaran kontrak kerja yang dibuat di kop surat Wayne Group. Cukup lama Angeline berdiri tanpa suara di depan meja Nathan. "Mulai hari ini kamu tidak lagi terikat kontrak dengan perusahaan," ucap Nathan. "Tapi?" Nathan tersenyum, "Tidak ada 'tapi'. Ini sebagai bukti itikad baikku." Angeline menatap kontrak kerja di tangan, "Ini lembaran aslinya?" "Kamu benar-benar sulit percaya padaku ya? Itu asli, bukan copy." "Berarti aku bisa resign kapan saja dong?" tanya Angeline. Nathan berdeham, "One month notice. Tanpa penalti." "Buatkan secara tertulis dong. Nanti kubingkai dan kugantung di kamar." Nathan tertawa, "Hei, sedemikian bahagianya kamu mendapat kebebasan? Seperti bebas dari penjara saja." Angeline mengulum senyum, "Tuh, kamu tahu." "Kemarilah." "Apa? Tidak mau. Ini masih jam kerja." "Tidak ada yang akan tahu apa yang kita lakukan di dalam sini. Kemari."
"Emm ... Jadi jam berapa kamu mau antar aku pulang?" tanya Angeline ketika langit sudah gelap. "Sekarang masih pagi," sahut Nathan. "Masih pagi untuk ukuran vampir mungkin." "Hmm ...." "Aku bisa pulang sendiri kok. Tidak usah repot-repot," sinis wanita itu. Nathan yang sedang membalas email di laptop menghentikan pekerjaannya dan mencurahkan seluruh perhatian pada Angeline yang berdiri di depan jendela. Tatapannya seolah meminta belas kasihan. "Sabarlah, Angel. Memangnya kamu sudah tidak betah di sini?" tanya Nathan. "Aku di sini sejak siang loh! Aku mau pulang, mandi, dan tidur. Kamu membajak waktu istirahatku. Dasar penjajah!" gerutu Angeline. Wanita itu berjalan menuju sofa dan menghempaskan diri. Nathan yang duduk di ujung sofa sigap memegangi laptop agar tidak jatuh karena guncangan. "Mandilah dulu. Kamu bisa pinjam bajuku." Seulas senyum terkembang di bibir Nathan. Membayangkan Angeline memakai pakaiannya menimbulkan debar yang tidak biasa.
Angeline merengut sebal. Dia duduk memunggungi Nathan yang sedang menyetir mobil. Sebal sekali rasanya, sudah berdebat setengah mati dan mengalah, ternyata Nathan malah memutuskan untuk tidak ke kantor. Bukankah energi yang dia keluarkan untuk berdebat jadi sia-sia? Sekarang mereka sedang menuju apartemen Angeline dan wanita itu telah mengabaikan Nathan sepanjang perjalanan. Sesekali si pengemudi melirik dari kaca spion. Dia tersenyum geli melihat wajah cantik yang merengut. "Angel." "Apa??" sahut Angeline galak. "Sepertinya kamu butuh kasih sayang lebih. Bagaimana kalau aku menepikan mobil dan—" "Tidak boleh!" potong Angeline. Nathan tertawa, "Astaga, apa salahku?" Angeline melengos. Berdebat dengan Nathan membutuhkan banyak energi dan dia sedang malas membuang tenaga. Lebih baik melihat pepohonan hijau yang menyejukkan di tepi jalan. "Sepertinya hari ini aku akan menghabiskan waktu di apartemenmu," ujar Nathan. "Kurang kerjaan," cetus Angelin
"I—ini semua ...." Angeline berdiri di depan lemari yang berisi pakaian wanita dan lelaki. "Hampir semuanya pakaian santai. Mudah-mudahan cocok untukmu." "Bagus-bagus semua. Kamu yang pilih?" Angeline menyentuh pakaian-pakaian wanita yang bahannya terasa lembut di tangan. "Coba lihat di laci," kata Nathan. Angeline melakukannya dan terkejut melihat laci berisi pakaian dalam. "Seharusnya sesuai ukuranmu. Mau dicoba dulu?" Nathan tersenyum geli melihat ekspresi wanita itu. "Tidak!" "Ganti pakaianmu dengan ini. Pasti terlihat keren di tubuhmu." Nathan mengambil pakaian renang two pieces berwarna putih. Angeline merenggut pakaian renang kekurangan bahan itu dengan wajah memerah, "Kamu sengaja ya? Ini bukan untuk manusia normal, tahu! Lihat saja, apa yang mau ditutupi dengan ... Kenapa kamu tertawa??" Nathan memang merasa lucu. Selama ini dia sudah sering melihat wanita-wanita memakai pakaian renang seksi sehingga hal itu menjadi biasa baginya. Ken
Makan malam yang indah di teras, dengan nyala lilin dan beratapkan langit bertabur bintang, lelaki tampan menatap penuh kekaguman, juga makanan lezat dan minuman beralkohol. Terdengar seperti makan malam impian setiap wanita. Nathan yakin Angeline akan tersentuh oleh penataan sempurna ini. Kenyataannya adalah Angeline menatap curiga dari seberang meja sementara kepalanya sangat pusing. Nathan tahu ini akibat terlalu lama kedinginan di laut. Dia hanya berharap bisa bertahan cukup lama sampai malam ini berakhir dengan baik. "Kamu cantik sekali," puji Nathan. Angeline tersenyum manis. Dia mengakui gaun pendek pilihan Nathan memang membuat rasa percaya dirinya meningkat. Gaun ini berpotongan leher cukup rendah, tapi tidak terlalu seronok. Ukuran yang pas memeluk tubuhnya tidak terlalu ketat dan tidak juga longgar. "Bagaimana kesanmu satu hari berdua saja denganku?" tanya Nathan yang senang melihat wanita di hadapannya tersenyum manis. "Cukup menyenangkan," jawab An
"Oi, kau membuat semua orang takut dengan tertawa sendiri seperti itu!" protes Alardo. "Masalah untukmu? Tidak bisa membiarkan orang senang??" ketus Nathan yang merasa khayalannya terganggu. "Aku sudah berusaha membiarkanmu, tapi dua jam duduk sendiri dan tersenyum kemudian tertawa? Kau terlihat seperti orang gila," cecar Alardo. "Kata orang yang selalu tertawa tidak jelas dengan wanita tak dikenal," ejek Nathan. "Sialan! Aku merayu mereka, bukan membuat mereka kabur ketakutan!" "Mungkin mereka takut tertular penyakit." "Berhenti bicara begitu! Semalaman kau sudah membuat wanita-wanita cantik enggan mendekat! Kasihanilah aku, Sobat! Sudah semalaman dan aku belum mendapatkan wanita! Ini bukan diriku sama sekali!" keluh Alardo panjang lebar. "Mungkin sudah saatnya kau mencari pasangan tetap. Seperti aku," ucap Nathan bangga. Alardo memicingkan mata, "Cih! Sombong sekali! Baru berhasil membawa pacar bermalam di pulau saja lagakmu seperti sudah menikahi
Angeline berdiri berkacak pinggang. Entah dirinya ingin tersenyum atau mengomel melihat Nathan yang tidur melintang di sofa dengan kaki terjulur di atas meja pendek. Dia duduk di meja memperhatikan. Wajah tampan yang terkadang menyeramkan itu terlihat manis saat tidur. "Nathan," panggilnya. Tidak ada pergerakan. "Nathan, pindah ke tempat tidur sana." Angeline mengguncang bahu lelaki itu. Tetap tidak ada reaksi. Melihat itu Angeline memutuskan untuk membiarkannya tidur lebih lama. Dia ke dapur untuk membuat sarapan sederhana. Tidak lama Angeline sudah sibuk memanggang roti dan sosis sekaligus. Bahan-bahan makanan disusun rapi di dalam roti, kemudian dipotong menjadi bentuk segitiga yang cantik. "Oke, beres. Sekarang waktunya membangunkan anak besar." Angeline menggosokkan kedua telapak tangan. "Nathan, ayo bangun," bisik Angeline dekat telinga lelaki itu. "Hmm ...." "Ayo, bangun. Sudah siang." "Five minutes," gumam Nathan sambil membalikkan b