Angeline merengut sebal. Dia duduk memunggungi Nathan yang sedang menyetir mobil. Sebal sekali rasanya, sudah berdebat setengah mati dan mengalah, ternyata Nathan malah memutuskan untuk tidak ke kantor. Bukankah energi yang dia keluarkan untuk berdebat jadi sia-sia? Sekarang mereka sedang menuju apartemen Angeline dan wanita itu telah mengabaikan Nathan sepanjang perjalanan. Sesekali si pengemudi melirik dari kaca spion. Dia tersenyum geli melihat wajah cantik yang merengut. "Angel." "Apa??" sahut Angeline galak. "Sepertinya kamu butuh kasih sayang lebih. Bagaimana kalau aku menepikan mobil dan—" "Tidak boleh!" potong Angeline. Nathan tertawa, "Astaga, apa salahku?" Angeline melengos. Berdebat dengan Nathan membutuhkan banyak energi dan dia sedang malas membuang tenaga. Lebih baik melihat pepohonan hijau yang menyejukkan di tepi jalan. "Sepertinya hari ini aku akan menghabiskan waktu di apartemenmu," ujar Nathan. "Kurang kerjaan," cetus Angelin
"I—ini semua ...." Angeline berdiri di depan lemari yang berisi pakaian wanita dan lelaki. "Hampir semuanya pakaian santai. Mudah-mudahan cocok untukmu." "Bagus-bagus semua. Kamu yang pilih?" Angeline menyentuh pakaian-pakaian wanita yang bahannya terasa lembut di tangan. "Coba lihat di laci," kata Nathan. Angeline melakukannya dan terkejut melihat laci berisi pakaian dalam. "Seharusnya sesuai ukuranmu. Mau dicoba dulu?" Nathan tersenyum geli melihat ekspresi wanita itu. "Tidak!" "Ganti pakaianmu dengan ini. Pasti terlihat keren di tubuhmu." Nathan mengambil pakaian renang two pieces berwarna putih. Angeline merenggut pakaian renang kekurangan bahan itu dengan wajah memerah, "Kamu sengaja ya? Ini bukan untuk manusia normal, tahu! Lihat saja, apa yang mau ditutupi dengan ... Kenapa kamu tertawa??" Nathan memang merasa lucu. Selama ini dia sudah sering melihat wanita-wanita memakai pakaian renang seksi sehingga hal itu menjadi biasa baginya. Ken
Makan malam yang indah di teras, dengan nyala lilin dan beratapkan langit bertabur bintang, lelaki tampan menatap penuh kekaguman, juga makanan lezat dan minuman beralkohol. Terdengar seperti makan malam impian setiap wanita. Nathan yakin Angeline akan tersentuh oleh penataan sempurna ini. Kenyataannya adalah Angeline menatap curiga dari seberang meja sementara kepalanya sangat pusing. Nathan tahu ini akibat terlalu lama kedinginan di laut. Dia hanya berharap bisa bertahan cukup lama sampai malam ini berakhir dengan baik. "Kamu cantik sekali," puji Nathan. Angeline tersenyum manis. Dia mengakui gaun pendek pilihan Nathan memang membuat rasa percaya dirinya meningkat. Gaun ini berpotongan leher cukup rendah, tapi tidak terlalu seronok. Ukuran yang pas memeluk tubuhnya tidak terlalu ketat dan tidak juga longgar. "Bagaimana kesanmu satu hari berdua saja denganku?" tanya Nathan yang senang melihat wanita di hadapannya tersenyum manis. "Cukup menyenangkan," jawab An
"Oi, kau membuat semua orang takut dengan tertawa sendiri seperti itu!" protes Alardo. "Masalah untukmu? Tidak bisa membiarkan orang senang??" ketus Nathan yang merasa khayalannya terganggu. "Aku sudah berusaha membiarkanmu, tapi dua jam duduk sendiri dan tersenyum kemudian tertawa? Kau terlihat seperti orang gila," cecar Alardo. "Kata orang yang selalu tertawa tidak jelas dengan wanita tak dikenal," ejek Nathan. "Sialan! Aku merayu mereka, bukan membuat mereka kabur ketakutan!" "Mungkin mereka takut tertular penyakit." "Berhenti bicara begitu! Semalaman kau sudah membuat wanita-wanita cantik enggan mendekat! Kasihanilah aku, Sobat! Sudah semalaman dan aku belum mendapatkan wanita! Ini bukan diriku sama sekali!" keluh Alardo panjang lebar. "Mungkin sudah saatnya kau mencari pasangan tetap. Seperti aku," ucap Nathan bangga. Alardo memicingkan mata, "Cih! Sombong sekali! Baru berhasil membawa pacar bermalam di pulau saja lagakmu seperti sudah menikahi
Angeline berdiri berkacak pinggang. Entah dirinya ingin tersenyum atau mengomel melihat Nathan yang tidur melintang di sofa dengan kaki terjulur di atas meja pendek. Dia duduk di meja memperhatikan. Wajah tampan yang terkadang menyeramkan itu terlihat manis saat tidur. "Nathan," panggilnya. Tidak ada pergerakan. "Nathan, pindah ke tempat tidur sana." Angeline mengguncang bahu lelaki itu. Tetap tidak ada reaksi. Melihat itu Angeline memutuskan untuk membiarkannya tidur lebih lama. Dia ke dapur untuk membuat sarapan sederhana. Tidak lama Angeline sudah sibuk memanggang roti dan sosis sekaligus. Bahan-bahan makanan disusun rapi di dalam roti, kemudian dipotong menjadi bentuk segitiga yang cantik. "Oke, beres. Sekarang waktunya membangunkan anak besar." Angeline menggosokkan kedua telapak tangan. "Nathan, ayo bangun," bisik Angeline dekat telinga lelaki itu. "Hmm ...." "Ayo, bangun. Sudah siang." "Five minutes," gumam Nathan sambil membalikkan b
Semalaman Nathan memutar otak berusaha mencari petunjuk mengenai hal yang membuat Angeline resah. Sebagai akibatnya dia kurang tidur dan malas turun ke kantor. Sehabis mandi dengan hanya berbalut handuk di pinggang, berlama-lama Nathan menatap bayangan dirinya di cermin tinggi. Berkali-kali dia menghela nafas. "Apakah aku harus sedikit memaksa?" tanyanya pada diri sendiri. Lagi-lagi dia menghela nafas, "Wanita memang memusingkan. Kenapa tidak bisa terus terang saja apa yang sedang dipikirkan? Bukankah aku bisa membantunya menemukan solusi?" Tenggelam dalam monolog tidak membuat Nathan serta-merta tidak menyadari keadaan sekitar. Dia mendengar suara langkah kaki terburu-buru menuju kamarnya. Sebentar saja pintu terbuka. "Kamu sudah lihat?" Angeline menghambur masuk. Nathan berbalik perlahan. Sempat terlihat olehnya wanita itu menatap ke bawah kemudian kabur keluar. "Jangan tanya aku harus bagaimana, Sobat." Nathan berbicara pada dirinya sendiri, tepatnya pad
"Bagaimana? Apa pendapat Pak Nathan?" tanya Cindy begitu Angeline keluar dari ruangan Presiden Direktur. "Dia akan mengurusnya. Tapi kan ada banyak foto yang masih tersebar? Kurasa kita belum mengumpulkan semuanya." Angeline bertopang dagu di meja Cindy. "Kalau ada senggang kita kumpulkan saja. Tadi pagi kita sudah menyisir sampai lantai berapa? Tiga puluh?" Cindy mengetuk-ngetukkan jari ke meja. "Aku sempat turun sampai lantai dua tujuh sih." Angeline mengingat-ingat. Kedua wanita itu terdiam membayangkan dua puluh lebih lantai lagi yang harus mereka jelajahi. Dalam hati Angeline memaki-maki pelaku penyebar foto karena membuat jobdesc mereka bertambah. "Oke, kalau nggak dimulai nggak akan selesai. Kita bagi dua? Sepuluh-sepuluh?" usul Cindy. "Ya, kamu benar. Ayo, semangat!" Angeline mengacungkan kepalan tangan seperti pejuang kemerdekaan. Berbekal handphone masing-masing agar dapat berkoordinasi dengan baik, Angeline dan Cindy mulai bergerak. Mereka tu
Setelah mendebat dengan sengit, Angeline memperoleh kemerdekaannya dari hukuman Nathan. Dia bebas bergerak di dalam ruangan Presiden Direktur dan boleh pergi dengan ijin ketat. Maksudnya pergi dengan waktu terbatas agar tidak melibatkan diri dalam perkara yang bukan urusannya. "Sial ... Aku seperti tahanan rumah," gerutu Angeline yang berhasil mendapatkan ijin ke toilet. Sengaja dia berlama-lama di dalam karena sudah sumpek melihat wajah Nathan. Untuk melenyapkan kegelisahan Angeline bermain game di handphone. Kenapa gelisah? Karena dia merasa seperti anak sekolah yang melanggar peraturan. Lama-lama Angeline berpikir, apakah Nathan mulai mengendalikan kebebasannya? Apakah itu wajar dalam hubungan sebagai pacar? Yah, tapi setidaknya lelaki itu bisa menjadi bodyguard yang baik. Angeline mengingat beberapa jam yang lalu ketika dia terpojok di depan lift. Nathan muncul seperti pahlawan dan menyelamatkannya. Sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. "Agh, t