Makan malam yang indah di teras, dengan nyala lilin dan beratapkan langit bertabur bintang, lelaki tampan menatap penuh kekaguman, juga makanan lezat dan minuman beralkohol. Terdengar seperti makan malam impian setiap wanita. Nathan yakin Angeline akan tersentuh oleh penataan sempurna ini. Kenyataannya adalah Angeline menatap curiga dari seberang meja sementara kepalanya sangat pusing. Nathan tahu ini akibat terlalu lama kedinginan di laut. Dia hanya berharap bisa bertahan cukup lama sampai malam ini berakhir dengan baik. "Kamu cantik sekali," puji Nathan. Angeline tersenyum manis. Dia mengakui gaun pendek pilihan Nathan memang membuat rasa percaya dirinya meningkat. Gaun ini berpotongan leher cukup rendah, tapi tidak terlalu seronok. Ukuran yang pas memeluk tubuhnya tidak terlalu ketat dan tidak juga longgar. "Bagaimana kesanmu satu hari berdua saja denganku?" tanya Nathan yang senang melihat wanita di hadapannya tersenyum manis. "Cukup menyenangkan," jawab An
"Oi, kau membuat semua orang takut dengan tertawa sendiri seperti itu!" protes Alardo. "Masalah untukmu? Tidak bisa membiarkan orang senang??" ketus Nathan yang merasa khayalannya terganggu. "Aku sudah berusaha membiarkanmu, tapi dua jam duduk sendiri dan tersenyum kemudian tertawa? Kau terlihat seperti orang gila," cecar Alardo. "Kata orang yang selalu tertawa tidak jelas dengan wanita tak dikenal," ejek Nathan. "Sialan! Aku merayu mereka, bukan membuat mereka kabur ketakutan!" "Mungkin mereka takut tertular penyakit." "Berhenti bicara begitu! Semalaman kau sudah membuat wanita-wanita cantik enggan mendekat! Kasihanilah aku, Sobat! Sudah semalaman dan aku belum mendapatkan wanita! Ini bukan diriku sama sekali!" keluh Alardo panjang lebar. "Mungkin sudah saatnya kau mencari pasangan tetap. Seperti aku," ucap Nathan bangga. Alardo memicingkan mata, "Cih! Sombong sekali! Baru berhasil membawa pacar bermalam di pulau saja lagakmu seperti sudah menikahi
Angeline berdiri berkacak pinggang. Entah dirinya ingin tersenyum atau mengomel melihat Nathan yang tidur melintang di sofa dengan kaki terjulur di atas meja pendek. Dia duduk di meja memperhatikan. Wajah tampan yang terkadang menyeramkan itu terlihat manis saat tidur. "Nathan," panggilnya. Tidak ada pergerakan. "Nathan, pindah ke tempat tidur sana." Angeline mengguncang bahu lelaki itu. Tetap tidak ada reaksi. Melihat itu Angeline memutuskan untuk membiarkannya tidur lebih lama. Dia ke dapur untuk membuat sarapan sederhana. Tidak lama Angeline sudah sibuk memanggang roti dan sosis sekaligus. Bahan-bahan makanan disusun rapi di dalam roti, kemudian dipotong menjadi bentuk segitiga yang cantik. "Oke, beres. Sekarang waktunya membangunkan anak besar." Angeline menggosokkan kedua telapak tangan. "Nathan, ayo bangun," bisik Angeline dekat telinga lelaki itu. "Hmm ...." "Ayo, bangun. Sudah siang." "Five minutes," gumam Nathan sambil membalikkan b
Semalaman Nathan memutar otak berusaha mencari petunjuk mengenai hal yang membuat Angeline resah. Sebagai akibatnya dia kurang tidur dan malas turun ke kantor. Sehabis mandi dengan hanya berbalut handuk di pinggang, berlama-lama Nathan menatap bayangan dirinya di cermin tinggi. Berkali-kali dia menghela nafas. "Apakah aku harus sedikit memaksa?" tanyanya pada diri sendiri. Lagi-lagi dia menghela nafas, "Wanita memang memusingkan. Kenapa tidak bisa terus terang saja apa yang sedang dipikirkan? Bukankah aku bisa membantunya menemukan solusi?" Tenggelam dalam monolog tidak membuat Nathan serta-merta tidak menyadari keadaan sekitar. Dia mendengar suara langkah kaki terburu-buru menuju kamarnya. Sebentar saja pintu terbuka. "Kamu sudah lihat?" Angeline menghambur masuk. Nathan berbalik perlahan. Sempat terlihat olehnya wanita itu menatap ke bawah kemudian kabur keluar. "Jangan tanya aku harus bagaimana, Sobat." Nathan berbicara pada dirinya sendiri, tepatnya pad
"Bagaimana? Apa pendapat Pak Nathan?" tanya Cindy begitu Angeline keluar dari ruangan Presiden Direktur. "Dia akan mengurusnya. Tapi kan ada banyak foto yang masih tersebar? Kurasa kita belum mengumpulkan semuanya." Angeline bertopang dagu di meja Cindy. "Kalau ada senggang kita kumpulkan saja. Tadi pagi kita sudah menyisir sampai lantai berapa? Tiga puluh?" Cindy mengetuk-ngetukkan jari ke meja. "Aku sempat turun sampai lantai dua tujuh sih." Angeline mengingat-ingat. Kedua wanita itu terdiam membayangkan dua puluh lebih lantai lagi yang harus mereka jelajahi. Dalam hati Angeline memaki-maki pelaku penyebar foto karena membuat jobdesc mereka bertambah. "Oke, kalau nggak dimulai nggak akan selesai. Kita bagi dua? Sepuluh-sepuluh?" usul Cindy. "Ya, kamu benar. Ayo, semangat!" Angeline mengacungkan kepalan tangan seperti pejuang kemerdekaan. Berbekal handphone masing-masing agar dapat berkoordinasi dengan baik, Angeline dan Cindy mulai bergerak. Mereka tu
Setelah mendebat dengan sengit, Angeline memperoleh kemerdekaannya dari hukuman Nathan. Dia bebas bergerak di dalam ruangan Presiden Direktur dan boleh pergi dengan ijin ketat. Maksudnya pergi dengan waktu terbatas agar tidak melibatkan diri dalam perkara yang bukan urusannya. "Sial ... Aku seperti tahanan rumah," gerutu Angeline yang berhasil mendapatkan ijin ke toilet. Sengaja dia berlama-lama di dalam karena sudah sumpek melihat wajah Nathan. Untuk melenyapkan kegelisahan Angeline bermain game di handphone. Kenapa gelisah? Karena dia merasa seperti anak sekolah yang melanggar peraturan. Lama-lama Angeline berpikir, apakah Nathan mulai mengendalikan kebebasannya? Apakah itu wajar dalam hubungan sebagai pacar? Yah, tapi setidaknya lelaki itu bisa menjadi bodyguard yang baik. Angeline mengingat beberapa jam yang lalu ketika dia terpojok di depan lift. Nathan muncul seperti pahlawan dan menyelamatkannya. Sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. "Agh, t
Angeline mencelupkan rotinya di teh sebelum dimakan. Matanya memperhatikan Nathan melakukan hal yang sama. Perdebatan singkat yang baru saja terjadi membuatnya lebih banyak merenung. "Setelah rotiku habis aku pulang saja ya?" cetus Angeline. "Tidak." Angeline mengernyit, "Apa maksudnya 'tidak'? Kita sudah duduk diam hampir setengah jam. Aku capek." "Kalau capek tidurlah di dalam," kata Nathan kalem. "Tidak usah. Belum malam kok." Angeline membayangkan betapa sulitnya memejamkan mata di tempat tidur lelaki itu. Nathan memikirkan sesuatu, tapi dia memilih untuk tidak membicarakannya daripada membuat Angeline meradang lagi. Dia hanya mengamati perubahan ekspresi wanita itu saat membicarakan kamarnya. "By the way, ada petunjuk mengenai foto-foto itu?" Angeline mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih aman. "Aku sudah menemukan pelakunya," jawab Nathan tanpa bermaksud menjelaskan lebih banyak. "Oh ya? Siapa?" "Sedang diinterogasi." Angelin
Suara hak sepatu beradu dengan lantai marmer menyertai langkah Angeline. Penampilannya selalu rapi dan menarik meskipun hanya mengenakan kemeja dan celana panjang. Tidak ada yang tahu pakaian yang dipakai ini dibelikan Nathan saat di Bandung. Rambut panjangnya—seperti biasa—diikat ekor kuda dan melambai ke kanan kiri seiring langkah kaki. Tangan kirinya memegang sebuah cangkir berisi teh Inggris dan tangan kanan memegang kantong kertas berisi roti manis. "Selamat pagi, Bu!" seru dua resepsionis begitu Angeline melewati meja mereka. Angeline menoleh dan tersenyum miring, "Selamat pagi." Belum lagi mencapai lift eksklusif dua orang karyawan kembali menyapanya penuh sopan santun. "Selamat pagi, Bu Angeline." "Selamat pagi, Bu." Angeline lagi-lagi menyahut setengah hati, "Selamat pagi." Cepat-cepat dia menempelkan kartu akses di plat dan masuk ke lift sebelum ada yang menyapa lagi. Aneh sekali, biasanya dia melalui perjalanan di lobby dalam keheningan. Kena