Share

Wanita Sang Presdir
Wanita Sang Presdir
Author: Giovanna Bee

Asisten Pribadi

Penyejuk ruangan menyala, namun suasana tetap terasa panas di dalam ruangan Presiden Direktur. Seorang wanita dengan pakaian minim tampak tengkurap di atas meja, di belakangnya berdiri seorang lelaki tinggi kekar berpakaian rapi. Suara-suara tidak pantas keluar dari bibir merah si wanita.

"Betul. Suruh dia membuat surat pernyataan bahwa tidak akan menuntut ganti rugi atas semua proses penyitaan." Lelaki itu, Nathaniel, tidak berhenti berbicara di telepon meskipun tengah melakukan aktivitas yang menguras tenaga.

Terdengar suara ketukan. Pintu terbuka dan terdengar suara seseorang menarik nafas tajam. Nathan menoleh sekilas dan melihat sekretarisnya bersama seorang wanita muda berwajah manis. Wanita itulah yang mengeluarkan suara terkejut.

"Maaf Pak, kami akan kembali nanti," kata Cindy, si sekretaris.

Segera kedua wanita itu menghilang di balik pintu. Nathan menyelesaikan urusannya dan melepaskan diri dari wanita yang berada di atas meja. Tangannya mengetikkan sesuatu di handphone sementara wanita itu membenahi make up dan pakaiannya yang berantakan.

"Bayaranmu sudah kutransfer," ucap Nathan dingin.

"Panggil aku kapan pun kamu butuh, Sayang," desah si wanita yang rupanya adalah wanita panggilan.

Nathan mengabaikan dan duduk di belakang meja. Wanita itu melangkah keluar dari ruangan Presiden Direktur. Tidak lama Cindy kembali bersama wanita muda berwajah manis tadi.

"Pak, ini sekretaris dari perusahaan lama yang diakuisisi," info Cindy.

"Silakan duduk." Nathan mengamati wanita berambut panjang itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Cindy meninggalkan mereka berdua dalam ruangan. Wanita itu menoleh gelisah. Nathan menahan senyum.

"Duduklah," kata Nathan sekali lagi. Biasanya dia tidak akan sesabar itu menghadapi wanita, tapi ada sesuatu yang menarik dengan wanita berambut panjang ini.

Wanita itu duduk tanpa bersuara. Tampaknya dia shock karena melihat adegan tidak pantas yang baru saja berlangsung di atas meja.

"Siapa namamu?" tanya Nathan.

"Angeline."

Nathan membatin, nama yang indah.

"Sudah berapa lama kamu bekerja sebagai sekretaris?" Nathan bertopang dagu.

"Empat tahun." Angeline menelan ludah. Lelaki di hadapannya tampan namun memberi kesan berbahaya, terutama karena ada bekas luka yang membelah alis kirinya dari dahi hingga ke sudut mata.

Beberapa saat mereka saling mengamati lawan bicara. Nathan menyayangkan gaya berpakaian Angeline yang sangat tertutup—kemeja hitam yang terkancing sampai leher dan celana panjang hitam—sehingga dirinya tidak dapat menilai tubuh wanita tersebut. Sementara Angeline tetap memasang wajah datar meskipun melihat bayangan hitam di dalam lengan kiri kemeja putih Nathan. Mungkin sebuah tato?

"Sudah baca kontrak yang harus ditandatangani?" tanya Nathan.

"Sudah. Hanya saja ada poin yang saya merasa terlalu berat." Angeline mengembalikan fokusnya pada wajah Nathan.

"Oh ya? Di bagian mana?" Seulas senyum tipis menggantung di bibir Nathan.

"Penalti jika karyawan mengajukan resign sebelum habis kontrak. Tidak bisakah direvisi? Saya tidak mau tanda tangan jika dibebani penalti sebesar dua belas bulan gaji." Angeline berterus terang.

"Tidak bisa. Semua karyawan menandatangani kontrak yang sama. Apa yang membuat saya harus membedakan kamu? Lagipula kontrak tersebut hanya berjangka waktu tiga tahun, dan nominal gaji yang ditawarkan jauh lebih baik dibanding bos lamamu, bukan?" Nathan bersandar santai seolah sedang membicarakan cuaca hari ini.

Angeline terdiam sesaat, "Akan saya pikirkan terlebih dulu."

Nathan memicingkan mata. Wanita ini tidak tertarik dengan jumlah gaji yang ditawarkan? Apakah dia sedang memainkan trik jual mahal?

Meskipun wajahnya terlihat tenang, tapi kedua tangan Angeline saling meremas dengan gelisah. Gaji yang ditawarkan Wayne Group, perusahaan di bawah pimpinan Nathaniel Wayne, memang sangat menggiurkan. Angeline berharap Nathan mau mengurangi besaran penalti dalam kontrak kerja.

"Begini saja, bekerjalah dahulu selama tiga bulan. Kamu akan menerima gaji sesuai kontrak tanpa penalti. Hanya tiga bulan, setelah itu kamu bisa memutuskan akan lanjut atau tidak." Nathan memberikan penawaran menarik lainnya. Dia terlalu penasaran dengan apa yang ada di balik kemeja hitam Angeline yang tertutup rapat itu.

"Tiga bulan percobaan? Tidak perlu tanda tangan kontrak?" Angeline memastikan.

"Saya akan merubah surat kontraknya, khusus untuk kamu." Nathan tidak menyembunyikan senyumnya yang menawan.

"Baiklah kalau begitu. Saya bisa menerima kondisi tersebut," ujar Angeline.

"Mulailah hari ini," kata Nathan dengan nada yang tidak dapat diganggu gugat.

Angeline mengernyit, "Apa?"

"Mulailah bekerja hari ini, Angeline."

"Hari ini saya belum siap. Besok saja, Pak," tawar Angeline.

"Tempat tinggalmu dekat?" tanya Nathan.

"Tidak terlalu jauh."

"Pulanglah untuk bersiap-siap, lalu kembali kemari. Nanti siang ada meeting di luar dan saya butuh kamu."

"Tapi—"

"Saya tidak akan memotong gajimu hari ini," imbuh Nathan.

Hening sesaat. Angeline menghitung berapa besar pemotongan gaji satu hari dalam sebulan. Setelah menyadari bahwa jumlahnya cukup besar dia memutuskan untuk menurut.

"Baik, kalau begitu saya pulang dulu. Saya akan kembali secepat—"

"Terlalu lama! Saya akan mengantarmu pulang, setelah itu kita pergi bersama." Nathan berdiri mendadak.

Angeline tersentak kaget, matanya terbelalak, "A—apa?"

"Kubilang saya akan mengantarmu pulang. Ayo." Nathan memakai jas dan berjalan mendahului ke pintu.

Otak Angeline nyaris membeku dengan tindakan Nathan. Dia sangat keberatan lelaki ini berada di dekat ruang pribadinya. Nathan sudah kehilangan rasa hormat Angeline karena adegan panas yang dia pertontonkan tadi.

"Kenapa masih duduk? Kamu tidak paham kalau waktu sangat berharga?" sergah Nathan.

"Tidak usah diantar, saya bisa naik ojek motor, lebih cepat daripada mobil," ketus Angeline.

Nathan tersenyum, "Siapa bilang kita naik mobil?"

"Apa?" Angeline melongo.

Langkah kaki Nathan yang panjang membuat Angeline harus berjalan cepat mengejar. Siapa suruh kakinya tidak sepanjang bos baru ini? Nathan memperhatikan bahwa Angeline tidak terengah meskipun harus berjalan cepat hingga hampir berlari. Tampaknya wanita ini memiliki fisik yang kuat.

"Kamu tinggal di mana?" Nathan memberikan helm untuk Angeline.

Dengan sangat terpaksa Angeline memberitahukan apartemen tempatnya tinggal.

"Oke. Saya tahu tempatnya." Nathan naik ke motor dan menstarter. Lelaki berjas ternyata terlihat keren jika dipadukan dengan motor racing.

Pasrah, Angeline memakai helm dan naik ke boncengan tanpa menyentuh Nathan.

"Pegangan," ucap Nathan.

"Sudah," sahut Angeline.

Motor pun melaju dengan kecepatan tinggi. Nathan penasaran karena wanita di belakangnya tidak berpegangan sama sekali. Dia tidak tahu Angeline berpegangan pada bagian belakang motor, jadi secepat apa pun dia ngebut atau mengerem posisi Angeline tetap aman.

Tiba di apartemen Nathan memarkir motor di parkiran gedung. Angeline meluncur turun dari boncengan dan mengembalikan helm. Dia melirik curiga saat Nathan membuntutinya masuk ke dalam. Jangan-jangan lelaki ini mau ikut sampai ke atas?

"Pak, tunggu di lobby saja. Saya tidak lama kok," kata Angeline sebelum masuk ke lift penghuni yang dibatasi dinding kaca dari lobby.

"Tempat tinggalmu steril dari lelaki?" ejek Nathan.

"Ya." Angeline memberikan jawaban yang tidak disangka.

"Bosmu pun tidak boleh bertamu?" Nathan mengangkat alis.

"Ya." Angeline bersikukuh. Mana mungkin dia membiarkan lelaki berbahaya ini masuk ke dalam ruang pribadinya?

"Baiklah. Saya tunggu lima menit," tukas Nathan. Sedikit kesal karena wanita ini menolaknya.

Angeline memperhatikan Nathan berjalan menjauh. Setelah lelaki itu mencapai jarak aman barulah Angeline masuk ke area lift dengan kartu akses.

Sepasang mata tajam Nathan memperhatikan sosok Angeline masuk ke lift. Lelaki sepertinya yang tidak pernah ditolak wanita merasa tertantang oleh penolakan Angeline. Dia bertekad akan mendapatkan wanita itu bagaimanapun caranya.

Lift berhenti di lantai sembilan belas. Angeline berlari menuju unitnya. Dia hanya perlu mengambil tas yang lebih besar untuk memuat pakaian ganti dan jaket tipis. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal Angeline bergegas turun.

"Enam menit," ucap Nathan begitu Angeline tiba di hadapannya.

"Lima setengah menit, Pak," koreksi Angeline.

Nathan tidak mendebat lagi. Dia berjalan mendahului ke tempat parkir. Mereka pun melaju ke sebuah hotel bintang lima tempat janji meeting diadakan.

Meeting berjalan berat sebelah. Angeline mengamati bahwa Nathan tidak pernah memberikan kesempatan pada rekan bisnisnya untuk menegosiasikan perjanjian yang dibuat. Lelaki itu bahkan tampak memaksakan kehendak seperti yang dilakukannya terhadap kontrak kerja Angeline.

Selesai meeting Nathan dan asisten barunya kembali ke kantor.

Nathan memperhatikan tas besar yang tersampir di bahu Angeline, "Apa yang kamu bawa? Pakaian ganti?"

"Iya," jawab Angeline sesingkat mungkin.

"Oh, ada kegiatan setelah jam kantor?" Nathan tersenyum.

Angeline tidak menjawab, hanya membalas tersenyum tipis. Menurutnya hal yang ditanyakan adalah urusan pribadi dan dia tidak wajib menjawab.

"Angeline. Kalau saya bertanya, kamu harus menjawab. Saya tidak mau ada karyawan terlibat dalam aktivitas yang dapat merugikan perusahaan," tegas Nathan.

"Saya bisa menjamin bahwa tidak ada aktivitas yang merugikan perusahaan, Pak." Angeline menyembunyikan ketidaksenangannya atas keingintahuan Nathan.

"Harus dirahasiakan?"

Angeline mengulum bibir. Betapa sulitnya menghadapi lelaki ini!

"Sudahlah. Kamu boleh pergi. Cindy akan memberitahu di mana ruanganmu." Nathan memutus kontak mata terhadap Angeline.

"Baik, Pak." Angeline bernafas lega dan keluar dari ruangan luas yang terasa menyesakkan itu.

Melihat Angeline keluar dari ruangan Nathan, Cindy cepat-cepat menghampiri. Sebelumnya Nathan telah memberi instruksi yang spesifik mengenai Angeline.

"Hai, ayo kutunjukkan ruanganmu." Cindy tersenyum manis.

Angeline mengangguk. Menghadapi Nathan selama setengah hari telah menguras energinya sehingga dia terlalu lelah untuk bicara.

Mereka masuk ke sebuah ruangan tepat di sebelah ruangan Presiden Direktur. Tidak terlalu luas tapi memiliki jendela teramat besar yang memperlihatkan pemandangan kota metropolitan. Angeline langsung menyukai ruangan yang berbau baru ini.

"Ada pintu yang terhubung langsung dengan ruangan Presdir, jadi sewaktu-waktu dipanggil kamu bisa lewat sini." Cindy menunjuk ke arah sebuah pintu geser besar di dinding.

"Oh." Angeline langsung merasa terancam.

Sementara itu di ruangan sebelah Nathan sedang mengamati layar LCD di meja yang memperlihatkan ruangan tempat Angeline berada. Mata setajam elang mengawasi gerak-gerik kedua wanita. Nathan tersenyum saat Angeline memandang tepat ke arah CCTV. Wanita itu menatap cukup lama sebelum kembali memperhatikan Cindy.

"Menarik sekali ...," gumam Nathan. Dalam pikirannya terlintas berbagai rencana untuk menundukkan asisten barunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status