Luther masih tertegun di tempatnya. Dia mencoba mencerna permintaan Noah kepadanya."Anda ingin aku memanggilkan kembali wanita pengganti itu?""Iya. Aku sudah sangat tertarik padanya." Noah mengakui. "Awalnya aku ingin menghubunginya sendiri. Tapi dia menolak, dan menyuruh agar aku menghubungimu dulu jika ingin bertemu dengannya."Luther terdiam. Dia masih mencoba menimbang-nimbang. Apakah pada akhirnya permintaan Noah ini akan menguntungkannya atau tidak."Ah, begitu rupanya," gumam Luther. "Aku belum bisa menentukan keputusan. Karena permintaan Anda terlalu mendadak."Kini raut wajah Noah terlihat kecewa. Nada dibicaranya terdengar sedih sekali. Layaknya seorang pria yang sedang patah hati."Sayang sekali. Padahal aku hari ini sudah sengaja memesan kamar hotel untuk menghabiskan malam dengannya.Luther merasa gusar jadinya. Noah sangat sulit diterka isi kepalanya. Noah kemudian melanjutkan ucapannya."Baiklah. Aku akan tetap menunggu. Aku yakin Tuan Luther bisa memutuskan dengan bi
"Halo lagi, Noah," sapa Virginia. Dia membiarkan punggung tangannya kembali dikecup mesra oleh pria paruh baya itu. "Kau merindukanku?"Noah terkekeh. "Tentu saja. Aku sampai tidak nyenyak tidur karena merindukan sentuhanmu. Hanya kau yang bisa memuaskanku."Kini giliran Virginia yang tertawa. Dia berjalan perlahan masuk ke dalam kamar VIP itu. Melihat-lihat interior ruangan kamarnya."Oh, aku sangat tersanjung dengan pujianmu. Tapi bukankah pertemuan ini begitu mendadak? Aku bahkan belum sempat menyiapkan sesuatu untuk kubawa," ujar Virginia pura-pura bersedih.Wajah Noah terlihat keruh. Dia lalu menghampiri Virginia dan memeluknya dari belakang."Maafkan aku, Sayangku. Aku sangat antusias ingin memanggilmu ke sini sampai tidak ingat waktu.""Haha, tidak apa-apa, Noah. Aku memiliki yang 'spesial' untuk pertemuan kita kali ini. Aku akan menari untukmu," ucap Virginia sambil mengecup balik pria yang memeluknya.Virginia mulai melepas jaket yang menutupi tubuhnya. Begitu terbuka, Noah t
Selepas pertemuannya dengan Noah di hotel, sebetulnya Luther merasa malas sekali untuk pulang ke mansionnya. Selain karena jarak yang jauh, dia juga masih tidak mau bertemu dulu dengan para wanitanya."Sekarang kita pulang, Bos?" tanya Jeremy begitu Luther sudah masuk ke dalam mobil. "Aku tidak memiliki pilihan lain selain itu sekarang," desah Luther lelah.Jeremy terdiam. Dia masih memperhatikan bosnya melalui kaca spion depan mobil. Wajah Luther saat itu terlihat sangat lelah."Bos, apa yang terjadi? Sepertinya Anda sedang kalut," tanya Jeremy dengan penuh perhatian."Ya, begitulah. Hanya karena mega proyek pertamaku ini, aku harus mengalami banyak kerugian. Lagi-lagi harus keluar uang pelicin untuk melancarkan usaha ini," jawab Luther yang tak hentinya memijat pelipisnya."Begitulah, Bos. Pasti banyak pihak yang akan memanfaatkan kesempatan ini untuk kepentingan pribadinya sendiri. Lebih baik, Anda bisa mengambil keputusan dengan lebih bijak," saran Jeremy."Iya. Aku sedang berusa
Lola merasa kerongkongannya kering. Dia terbangun tengah malam akibat hal itu sambil menggerutu."Padahal baru sebentar aku tidur. Kenapa rasanya mendadak haus sekali?" keluhnya.Dengan malas, Lola pun bangkit dari tempat tidur. Dengan perlahan masih sambil mengucek matanya, dia pun beranjak keluar dari kamarnya menuju ke ruang makan. Belum sempat dia mendekat ke sana. Matanya menangkap ada dua sosok sedang berada di ruang makan itu. "Siapa itu? Luther dan... Barbara?" gumamnya sambil menyipitkan mata.Lola tak mau dirinya terlihat keberadaannya di tempat itu. Dia pun segera bersembunyi di tempat yang cukup tak terlihat. Diam-diam dia mengamati apa yang terjadi malam itu. Luther sedang makan di meja makan, sementara Barbara berada di dapur bersih."Akhhhh!!"Suara teriakan Barbara membuat Lola terkejut. Luther pun sama terkejutnya dengan dia. Pria itu langsung menghampiri Barbara dan membantu wanita itu untuk mendinginkan luka bakarnya. Lola sebenarnya ingin cepat-cepat menuntaskan k
Luther masih menunggu kabar baik dari Virginia. Pagi itu, dia mengecek telepon ataupun pesan yang masuk. Berharap Virginia mengabarinya segera. Tiba-tiba, Virginia mengirimkan sebuah foto. Mata Luther terbelalak kaget ketika foto itu merupakan proposal mega proyek miliknya yang sudah ditandatangani oleh Noah.[Aku sudah berhasil membuat Noah menandatangani proyekmu. Kapan kau akan memberikan uangnya?]Luther menghela napas berat. Dia sejujurnya terkejut dengan keahlian Virginia yang bisa membujuk gadisnya untuk mempengaruhi Noah. Dia pikir misi itu akan gagal, ternyata malah selesai dengan cepat. Luther lalu mengetik pesan balasan untuk Virginia.[Kita bertemu saat makan siang, di Laurel Court Restoran and Bar.]Luther langsung meminta Jeremy untuk memesankan satu buah meja reservasi di restoran itu. Sekaligus dia mulai mempersiapkan sebuah cek senilai tiga juta dollar untuk Virginia nanti.***Virginia memekik senang di dalam hati. Dia akan mendapatkan jackpot sebesar tiga juta dolla
Luther akhirnya sampai di hotel Fairmont, tempat dia kembali melakukan janji temu dengan Noah, entah untuk membicarakan apa. Luther menduga jika Noah akan mengatakan perihal kelanjutan mega proyek yang sebelumnya dia tangguhkan.Di lounge hotel, Noah sudah duduk manis dengan secangkir kopi hangat di atas meja. Luther langsung menghampiri dan bergabung bersamanya."Sudah lama menunggu, Tuan?" tanya Luther dengan sangat ramah."Tidak. Aku pun baru saja sampai," jawab Noah. Noah langsung memanggil pelayan untuk memesan pesanan. "Silakan, Anda pesan saja, Tuan Luther."Luther memperhatikan sederetan menu makanan dan minuman pada daftar menu restoran. Kemudian dia memilih satu gelas latte macchiato dingin. Setelah selesai, pelayan pun pergi untuk membuatkan pesanan Luther, membiarkan Luther dan Noah kembali berbincang."Apakah ada kabar baik lainnya untukku?" Sejujurnya saat itu Luther tak ingin membuang-buang waktunya percuma. Dia langsung menyampaikan topik utama yang ingin dibahasnya.N
Luther berjalan tergesa-gesa menuju ke dalam lift. Kepalanya masih dipenuhi oleh bayangan yang seharusnya tidak dia pikirkan."Sial! Mengapa tiba-tiba di saat seperti itu, aku malah membayangkan wajahnya?" gerutu Luther yang sedikit memukul pegangan lift hotel.Seharusnya tadi, dia langsung memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk tidur dengan wanita bernama Cassandra itu. Apalagi wanita itu memang sengaja disediakan untuk Luther. "Andai saja bayangannya tidak melintas begitu saja, aku pasti sudah tidur dengan wanita itu," rutuk Luther. "Lola, apa sih yang sudah kamu lakukan padaku? Sehingga aku selalu harus memikirkanmu!"Luther sendiri merasa bingung. Akhir-akhir ini pikirannya begitu kacau karena Lola. Seolah ada ketertarikan sendiri yang dia rasakan akibat semua penolakan gadis itu. Semakin Lola menolak, dia semakin penasaran dengan Lola.Jeremy menyambut kedatangannya di dalam mobil. Dia bingung dengan ekspresi kesal yang Luther tampakkan."Bos, apa terjadi sesuatu?""Tidak apa-a
Tubuh Barbara gemetar. Luther benar-benar murka pada dirinya saat ini. Dia tertunduk lesu di tempatnya, merasa menyesal sudah membahas hal yang tak semestinya dibahas dengan Luther pada saat itu."Kuharap kau mengerti. Sejujurnya gara-gara kau yang seperti ini, aku jadi teringat akan dosaku!" lanjut Luther yang kini telah menjauh dari Barbara. "Apakah aku sehina itu sampai tidak layak untuk ... membuka hati pada orang lain?""Bukan begitu maksudku .... " Barbara berusaha untuk menyanggah. "Kalau bukan begitu, kenapa kau malah mendebatkan hal yang tak jelas seperti itu? Aku harap ini terakhir kalinya aku mendengar ucapan itu dari bibirmu," geram Luther seraya pergi meninggalkan Barbara seorang diri."Maafkan aku, Luther! Kumohon ampuni kesalahanku! Aku berjanji, tak akan mengulangi hal itu lagi!" Barbara kini mencengkeram lengan Luther, sembari terus memohon pengampunan dari pria itu.Luther tidak berkata apa pun lagi. Dia melepas cengkeraman tangan Barbara di lengannya lalu pergi meni