"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
Pandangan Lola mulai kabur. Hingar bingar kemeriahan diskotik malam itu terdengar menjauh. Berkali-kali dia mengerjapkan mata, menjaga agar kesadarannya tetap terjaga. Tanpa terasa gelas minumannya terlepas dari genggamannya dan pecah berkeping-keping."Aduh! Sakit sekali!" keluh Lola seraya memejamkan mata."Lola, apa yang terjadi? Kamu tidak apa-apa?" Suara seorang wanita yang dia kenal baik mengalun di telinganya. Namun tak bisa menghalau pening yang menderanya saat ini."Pusing sekali! Kepalaku rasanya juga sangat sakit!" rintih Lola tak kuat menahan sakit."Mungkin kamu terlalu banyak minum. Tunggulah sebentar lagi ya. Temanku masih dalam perjalanan. Kamu coba sandarkan diri di sofa saja," bujuk Virginia, teman wanita Lola itu.Lola akhirnya menuruti keinginan Virginia. Dia merayap dan menyandarkan kepalanya di sofa. Berharap semuanya akan kembali normal seperti sedia kala sembari menunggu teman Virginia datang.Jika saja bukan karena bujukan Virginia yang meminta ditemani bert
Lola berjalan terpincang-pincang di lorong hotel. Dia terlalu khawatir ada orang suruhan Noah yang akan mengejarnya, sehingga kakinya terkilir saat dia mencoba berlari. Lola masih mengatur napasnya dan bergegas menuju lift untuk turun ke lantai satu."Hampir saja aku mengalami kejadian buruk," gumamnya. "Kenapa harus pria itu lagi?"Lola berusaha merapikan diri agar dia tidak dicurigai oleh para pegawai hotel. Walau wajahnya masih pucat, tapi Lola sudah merasa lebih baik. Sementara itu, Luther ternyata masih duduk merenung di sofa lounge hotel. Entah mengapa sejak dia menyerahkan gadis itu pada Noah, ada perasaan menyesal di dalam hatinya. Dia merasa gadis itu terlalu baik untuk dipersembahkan pada Noah, lelaki tua bejat yang sering main wanita.Ada rasa tak rela yang menggelayut di hati. Itulah yang menyebabkan sedari tadi Luther tak beranjak dari hotel. Pikirannya bercabang menjadi dua kubu; antara meninggalkan gadis yang baru dibelinya untuk Noah, atau membawa gadis itu ke mansionn
"Boleh aku masuk sekarang?" tanya Lola yang merasa pegal sudah berdiri dalam waktu yang cukup lama."Yeah, tentu. Masuklah." Nada bicara Max entah mengapa terlihat kurang meyakinkan.Lola tidak banyak bertanya lebih lanjut. Dia sibuk memperhatikan sekelilingnya, sambil memeriksa apakah ada sesuatu yang mencurigakan di kamar itu. Max langsung membereskan sofa yang terlihat agak berantakan, kemudian mempersilahkan Lola untuk duduk."Mau jus, teh, atau kopi?" tanya Max kemudian.Lola mengernyit bingung. "Bukankah kamu sudah tahu biasanya aku meminum apa?"Max kali ini tertawa kikuk. "Ya ampun. Aku bertanya karena kupikir kamu ingin memilih minuman yang lainnya. Baiklah, aku buatkan dulu cappucino untukmu."Max menghilang menuju ke dapurnya untuk menyiapkan minuman. Hal ini dimanfaatkan Lola untuk berkeliling lagi mencari bukti kecurigaannya. Kali ini, Lola menemukan adanya tas selempang kecil milik wanita tersimpan di dekat sisi tempat tidur Max.'Tas siapa ini? Aku tahu ini bukanlah tas
Lola perlahan membuka matanya. Dia merasa kebingungan mendapati tempatnya berada bukan lagi di dalam apartmentnya. Tapi dia berada di tempat lain yang masih asing. "Di mana aku?" Matanya tertuju di satu titik saat Luther sedang menatapnya dengan tatapan tajam, memperhatikan melalui meja kerjanya. Lola terperanjat kaget."Kamu! Kenapa aku ada di sini?" Lola panik bukan main. Luther tak beranjak sedikit pun dari mejanya."Aku masih ada urusan yang belum selesai denganmu!" sergah Luther marah. Tatapannya sangat menusuk, seakan bisa langsung mencabik gadis itu saat itu juga.Tubuh gadis itu mendadak gemetar. Hawa mencekam mulai melingkupinya. Situasi ini sangat menyulitkan untuk Lola. Dia merasa keselamatannya terancam saat ini. Apalagi Lola sempat melarikan diri sebelumnya."Urusan apa? Aku sudah tidak ada urusan denganmu!" tampiknya cepat.Segurat seringai jahat terukir di bibir Luther. Dia kemudian mulai bangkit dari tempatnya. Langkahnya perlahan, namun sangat membuat Lola bertamba
Perkataan Luther membuat Lola melongo. Dia sampai terus berpikir apa yang salah pada dirinya sehingga membuat Luther muak. Setelah kepergian Luther, kedua wanita lain masih mendiamkannya. Namun di antara mereka, Lilian lah yang lebih banyak bicara."Lihat, berkat sikapmu yang tidak berpendidikan membuat Tuan Luther marah," gerutu Lilian. "Aku heran. Apa sih yang Tuan Luther lihat darimu sehingga mau membawamu ke mansion ini?"Lola tidak mempedulikan ucapan Lilian. Dia terlalu malas menimpalinya. Mata Lola beralih menatap Barbara yang masih tenang menghabiskan makanannya. Dia menyadari jika Barbara adalah mantan aktris dan bintang iklan televisi pada tahun 2000-an. Lilian terlihat kesal karena Lola tidak menggubrisnya. Dia langsung berdiri dari tempatnya dan menggebrak meja di dekat Lola."Kau kurang ajar! Kau tidak menghormati aku yang lebih senior darimu? Aku ini Lilian, wanita yang memiliki peluang lebih besar untuk menjadi nyonya di mansion ini!" bentaknya. "Aku wanita yang dijodo
Lola membenci kehidupannya saat ini. Menjadi tawanan Luther, berarti harus menyerahkan segala hal tentang dirinya kepada Luther. Termasuk hak untuk berpakaian. "Omong kosong apa ini?" Lola yang frustasi itu langsung mengacak rambutnya.Kemudian dia terdiam. Hatinya diliputi oleh keraguan. Apakah kehidupannya akan baik-baik saja kedepannya? Ataukah kehidupannya akan menjadi semakin rumit dan penuh bahaya jika dia masih tertawan di istana itu?"Ibu, aku sangat merindukanmu," isaknya. "Andai saat itu aku bisa memberikan salam perpisahan. Andai aku bisa berkeluh kesah kepadamu. Sesungguhnya aku begitu ingin bertemu."Entah mana yang terburuk. Kehidupan beberapa tahun silam ataukah saat ini? Bagi Lola semuanya sama-sama neraka dunia. Dia mengecek handphonenya. Walaupun sudah putus hubungan dengan sahabat maupun kekasih, namun Lola masih diam-diam memata-matai media sosial milik mereka."Lihatlah orang lain, begitu bahagia setelah mencampakkanku," gumamnya miris. "Virginia selalu berfoya-f