Share

Bab 4: Menjadi Tawanan Luther

Lola perlahan membuka matanya. Dia merasa kebingungan mendapati tempatnya berada bukan lagi di dalam apartmentnya. Tapi dia berada di tempat lain yang masih asing.

"Di mana aku?"

Matanya tertuju di satu titik saat Luther sedang menatapnya dengan tatapan tajam, memperhatikan melalui meja kerjanya. Lola terperanjat kaget.

"Kamu! Kenapa aku ada di sini?" Lola panik bukan main. Luther tak beranjak sedikit pun dari mejanya.

"Aku masih ada urusan yang belum selesai denganmu!" sergah Luther marah. Tatapannya sangat menusuk, seakan bisa langsung mencabik gadis itu saat itu juga.

Tubuh gadis itu mendadak gemetar. Hawa mencekam mulai melingkupinya. Situasi ini sangat menyulitkan untuk Lola. Dia merasa keselamatannya terancam saat ini. Apalagi Lola sempat melarikan diri sebelumnya.

"Urusan apa? Aku sudah tidak ada urusan denganmu!" tampiknya cepat.

Segurat seringai jahat terukir di bibir Luther. Dia kemudian mulai bangkit dari tempatnya. Langkahnya perlahan, namun sangat membuat Lola bertambah ketakutan. Luther duduk persis di depan Lola. Dia mengunci Lola dengan tatapannya, membuat Lola semakin ciut tak bernyali.

"Kau harus bertanggung jawab untuk semuanya. Kau sudah melukai klienku, membuat aku mengalami banyak kerugian!" Nada bicara Luther terdengar sangat menekan, membuat gadis di hadapannya terintimidasi.

"Aku tidak mau!" jerit Lola takut. "Le... lepaskan aku! Aku ingin pulang!"

Luther menengadahkan dagu gadis itu kasar. Lola masih menggigil begitu Luther semakin dekat menatapnya.

"Kau adalah tawanan yang sudah kubeli seharga satu juta! Tak akan semudah itu melepaskan diri dariku!" Luther tertawa terbahak. Suaranya menggema seperti tokoh antagonis dalam film.

"Lepaskan aku! Dasar kau om-om mesum! Aku tak mau kau sentuh dengan tangan kotormu!" decih Lola memberanikan diri, walaupun reaksi tubuhnya masih sama seperti sebelumnya.

"Berani sekali kau bicara begitu padaku. Mulut mungilmu itu sangat beracun, Nona." Luther bertambah berang karena gadis itu. Dia melepaskan tangannya dengan kasar. "Kau mau lepas dariku? Aku yakin kau tak akan mampu."

Lola merasa harga dirinya tersentil oleh ucapan Luther tadi. "Siapa bilang aku tidak bisa? Aku bisa!"

"Kalau begitu, kau harus mengganti uangku yang senilai satu juta dolar. Kau tak punya uang sebanyak itu, bukan?"

Lola kini diam membisu. Jika dia harus menukar dirinya sendiri dengan uang, tentu dia tidak memiliki uang sebanyak itu untuk saat ini. Apalagi semua aset dipegang oleh ibu kandungnya. Luther sudah bisa menebak jawaban dari Lola. Tawanya meledak lagi.

"Sudahlah. Menurut saja padaku. Kau hanya perlu tinggal di sini, mengabdi juga melayaniku sampai aku bosan dan akhirnya mencampakkanmu," tukas pria itu enteng.

"Itu artinya aku harus menjadi wanita simpananmu? Begitu? Aku tidak mau!" tolak Lola tegas. "Lepaskan aku, Tuan! Aku ingin bebas! Keluarga dan orang terdekatku menunggu kepulanganku di rumah."

"Begitukah? Bukankah selama ini kau tinggal sendiri? Kekasihmu saja mencampakkanmu demi wanita lain," timpal Luther lagi.

Lola langsung melotot di tempatnya. "Ba... bagaimana kau...?"

"Kau masih ingin pulang?" tanya Luther.

Tanpa menunggu jawaban dari Lola, dia memanggil semua pelayan untuk masuk ke dalam ruangan Luther. Para pelayannya satu persatu membawa masuk koper dan barang-barang yang jumlahnya sangat banyak. Lola tidak dapat berkata-kata begitu menyadari jika barang yang dibawa masuk ke ruangan itu adalah barang miliknya di apartment.

"Kau!" Lola kehabisan kata. Dia memang pada akhirnya dipaksa untuk menerima tawaran Luther itu. "Kalau begitu, ada syarat yang aku inginkan."

"Katakan saja. Segalanya mudah bagiku," ujar Luther percaya diri.

"Aku ingin berhenti berkuliah. Urus semua persyaratannya olehmu. Lalu aku ingin hubungan di antara kita ini menjadi rahasia. Jangan ada yang mengetahuinya." Lola mengajukan persyaratannya. "Dan yang terakhir...."

"Masih ada lagi?"

"Aku ingin kau memperlakukanku dengan baik. Jangan berani menyentuh tanpa seizinku."

Luther terdiam. Sepertinya Lola memang terlampau berani untuk mengatur dirinya.

"Baiklah. Aku setuju. Satu tambahan dariku. Jangan pergi tanpa seizinku. Karena sekarang kau adalah milikku!"

"Ya. Aku adalah tawananmu."

Luther terkekeh. Lucu sekali gadis satu ini menurutnya.

"Baiklah. Sekarang pelayan akan mengantarmu ke kamar. Temui aku nanti saat jam makan malam."

Lola akhirnya diantarkan oleh seorang pelayan menuju ke kamarnya di lantai tiga. Kamar itu begitu luas, berkali-kali lipat luasnya dari kamar apartemen lamanya. Tempat tidurnya berkelambu warna pink. Terdapat jendela besar yang menampilkan pemandangan indah teluk San Francisco dari sana. Begitu pertama melihat, Lola langsung jatuh cinta dan sangat menyukai kamar barunya.

Lola merebahkan diri di tempat tidur barunya yang empuk. Saking empuknya, mata Lola kembali ingin terpejam. Rasa nyaman membuat dia sejenak melupakan segala kegundahan hati. Sampai dia menyadari jika dirinya sudah tertidur dalam waktu yang sangat lama. Dia terlambat untuk ikut makan malam bersama.

"Ya ampun! Jam berapa sekarang?" jeritnya.

Cepat-cepat dia membasuh wajahnya dan merapikan diri. Dia bahkan tidak sempat untuk mengganti pakaian. Lola tak peduli. Langsung saja dirinya mencari di mana ruang makan berada. Mansion tempat Luther tinggal sangat luas. Lola sampai tersesat di rumahnya sendiri.

Gadis itu sampai di ruang makan dengan kondisi yang sudah lelah. Terlihat para penghuni mansion sedang menyantap makan malam mereka dengan tenang.

"Maafkan aku... Aku terlambat," ucap Lola dengan napas yang terengah-engah.

"Dari mana saja kamu? Kita semua jadi terlambat makan malam karena menunggumu!" bentak Luther galak.

Lola tertunduk menyesal. Dia mengambil tempat bersebelahan dengan Luther. Luther langsung mengernyit sambil menutup hidungnya.

"Suruh siapa duduk di sini? Menjauh dariku! Kau bau sekali! Tadi tidak mandi, ya?"

Lola merasa malu diperlakukan begitu oleh Luther. Terpaksa dia pindah duduk sejauh dua kursi dari posisi awal. Dua wanita lain yang ada di meja makan sontak menertawakan Lola, membuat Lola semakin jengah dibuatnya.

"Sebenarnya aku ingin mengenalkan Lola sebagai penghuni baru di mansion ini. Kuharap kalian semua bisa hidup rukun." Luther melanjutkan pembicaraan. "Lola, kenalkan ini Nona Barbara Thompson dan Nona Lilian Cruz."

"Selamat malam. Senang bertemu dengan kalian semua," sapa Lola kepada dua wanita lainnya dengan sopan.

Namun tak ada seorang pun dari mereka yang merespon sapaan Lola. Wanita bernama Lilian malah menatapnya tak suka. Lola sadar diri jika di dalam istana itu, hanya dirinya yang berbeda.

Lola akhirnya makan malam dengan canggung. Tapi begitu melihat makanan enak yang super mewah, sikap kampungannya kembali terlihat. Dengan rakus, dia mencomot setiap lauk yang tersaji di piring yang berbeda. Makanan dalam jumlah yang sangat besar dia sendokan langsung ke dalam mulutnya dalam satu suapan besar.

Luther yang sedari tadi memperhatikannya bergidik ngeri. Dengan cepat dia menyimpan sendok dan bangkit dari kursinya.

"Aku jadi tak nafsu makan melihatmu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status