"Boleh aku masuk sekarang?" tanya Lola yang merasa pegal sudah berdiri dalam waktu yang cukup lama.
"Yeah, tentu. Masuklah." Nada bicara Max entah mengapa terlihat kurang meyakinkan.Lola tidak banyak bertanya lebih lanjut. Dia sibuk memperhatikan sekelilingnya, sambil memeriksa apakah ada sesuatu yang mencurigakan di kamar itu. Max langsung membereskan sofa yang terlihat agak berantakan, kemudian mempersilahkan Lola untuk duduk."Mau jus, teh, atau kopi?" tanya Max kemudian.Lola mengernyit bingung. "Bukankah kamu sudah tahu biasanya aku meminum apa?"Max kali ini tertawa kikuk. "Ya ampun. Aku bertanya karena kupikir kamu ingin memilih minuman yang lainnya. Baiklah, aku buatkan dulu cappucino untukmu."Max menghilang menuju ke dapurnya untuk menyiapkan minuman. Hal ini dimanfaatkan Lola untuk berkeliling lagi mencari bukti kecurigaannya. Kali ini, Lola menemukan adanya tas selempang kecil milik wanita tersimpan di dekat sisi tempat tidur Max.'Tas siapa ini? Aku tahu ini bukanlah tas milikku!' batinnya.Lola lanjut menyusuri setiap jengkal ruangan itu. Dia kembali menemukan helaian rontokan rambut panjang milik seorang wanita, banyak sekali tersebar di atas tempat tidur Max.'Ini juga bukan rambutku. Ini rambut cokelat milik siapa?'Max rupanya sudah kembali sambil membawa segelas cappucino panas."Lola, kamu sedang apa di situ?" Ekspresi Max benar-benar terlihat panik. Mungkin karena Lola berada di tempat tas itu disembunyikan.Lola langsung menghampiri Max. Wajahnya menekuk karena amarah yang tidak dapat dibendungnya lagi."Katakan, siapa wanita yang datang ke kamarmu sebelum aku!" tuntut Lola menginginkan penjelasan dari kekasihnya."Ma... maksudmu apa?" Max mulai terbata-bata. Rupanya dia tidak bisa berbohong lagi."Tak usah berpura-pura! Aku tahu kamu membawa wanita lain masuk ke sini sebelum aku datang!" tambah Lola emosi. Dia langsung memperlihatkan tas yang disembunyikan oleh Max. "Ini tas milik wanita itu, 'kan?"Max membeku sejenak sebelum dia berusaha untuk mengelak. "Itu 'kan milikmu, Sayang!"Lola beralih memperlihatkan rontokan rambut di tempat tidur Max. "Jadi, rambut cokelat ini juga adalah rambutku?"Kali ini Max tidak dapat menimpali perkataan Lola. Lola semakin meradang dibuatnya."Sejak kapan dia ada di hidupmu? Katakan padaku sekarang!""Sejak kau menolak tidur denganku."Jawaban dari Max membuat Lola terhenyak. Dia tidak memperkirakan jawaban Max akan sangat melukai hatinya."Kau sangat munafik, Lola! Kau tidak mau aku sentuh, padahal sebelumnya kau sudah merasakan kenikmatan dari permainan ayah tirimu sendiri!""Itu berbeda, Max!" sanggah Lola cepat. "Jangan kau sama ratakan kasus pelecehan dengan hal ini! Kau pikir aku menikmatinya? Tidak! Sama sekali tidak ada yang aku nikmati!"Max tersenyum mengejek. "Lantas kau melimpahkan semua kemalanganmu kepadaku? Pada batasan hubungan kita? Aku tidak bisa seperti itu. Aku ini laki-laki! Aku ingin diberikan kebahagiaan oleh seorang wanita!"Air mata Lola mulai merebak. Rasa sesak menyeruak di dadanya. Pengap, ngilu, dan muak."Lalu di mana wanita itu? Aku yakin dia belum meninggalkan kamar ini!" berang Lola lagi. "Bersembunyi di mana dia? Katakan padaku!"Lola kini mulai mengacak seluruh isi kamar Max. Dia memeriksa kolong ranjang, di kamar mandi, juga setiap tempat yang bisa dijadikan tempat persembunyian. Betapa terkejutnya ketika Lola menyingkap gorden balkon. Dia melihat ada wanita berambut pirang berpakaian minim sedang bersembunyi."Oh, jadi kau rupanya!"Lola yang dipenuhi rasa emosi langsung menarik masuk wanita selingkuhan kekasihnya itu. Dia jambak rambut panjangnya dengan keras sampai si wanita berteriak kesakitan. Namun Lola merasa masih belum puas. Sebisa mungkin dia lampiaskan kekecewaan dan amarahnya dengan menyakiti wanita selingkuhan Max itu."Lola! Kau sudah gila! Lepaskan dia!" bentak Max yang berusaha memisahkan kedua wanita itu."Kau dan wanita ini yang lebih gila! Kalian gila!" teriak Lola tak terkendali.Lola termenung ketika sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Air mata kembali meleleh seiring dengan panasnya bekas tamparan itu. Max tega menamparnya hanya untuk membela wanita itu."Sudah hentikan semuanya! Kau sudah menyakiti Helena!" Max memeluk selingkuhannya yang menangis tersedu-sedu."Jadi ini jawabanmu, Max? Kau lebih memilih dia daripada aku?" tanya Lola dengan mata yang kosong."Ya! Tentu saja! Siapa yang menginginkan menjalin hubungan dengan wanita kaku sepertimu! Selain itu, kau juga sangat gila!"Lola terdiam. Ucapan Max sudah sangat menyakitkan untuknya. Dia memilih untuk pergi dari apartment itu tanpa sepatah kata pun. Pastinya, hubungan di antara keduanya kandas pada saat itu juga.***Karena hati Lola sudah sangat rapuh, dia merasa tak memiliki tenaga dan harapan hidup lagi. Selama berhari-hari ini dia hanya mendekam di dalam kamar apartmentnya seorang diri. Matanya sudah sembab karena kebanyakan menangis. Dia juga sudah tak peduli dengan kuliahnya.Kondisi Lola diperparah dengan keadaan apartmentnya saat itu. Sangat tak terurus, berantakan dan kotor oleh sampah makanan yang berserakan. Lola duduk di atas tempat tidur, memeluk dirinya sendiri.Tiba-tiba sebuah bunyi bel terdengar dari luar berkali-kali. Lola enggan beranjak dari tempatnya. Dia juga sudah lelah menjawab pertanyaan teman kampus maupun pemilik apartment yang bolak-balik menanyakan keadaannya."Ah, mungkin pemilik apartment," gumamnya malas.Suara bel terdengar terus menerus, membuat Lola mau tak mau harus mengecek siapa yang datang. Lola mengintip dari lubang pintu. Ternyata bukan teman kampus atau pun pemilik apartment yang berkunjung saat itu. Seorang pria pengantar pizza terlihat di depan pintunya."Pizza delivery!" seru laki-laki dari luar sana."Maaf, aku tidak memesan pizza!" seru Lola dari dalam kamar."Tapi di sini tertera pesanan atas nama Lola Wilson. Satu buah cheese pepperoni pizza ditambah cola medium satu buah."Lola mengangkat alisnya. Siapa yang sudah memesankan pizza untuknya? Apakah itu salah kirim? Atau Max yang sengaja memesankan untuk dia? Karena penasaran, Lola langsung membuka kunci gembok pintu apartmentnya. Dia sudah berhadapan langsung dengan pengirim pizza yang ternyata tingginya jauh melebihi dia."Maaf, tapi aku benar-benar tidak...."Ucapan Lola tadi terputus ketika laki-laki pengantar pizza itu menerjangnya secara mendadak dan membungkam wajahnya dengan sebuah saputangan berbau aneh. Sebelum Lola melakukan perlawanan, dia sudah dibuat lemas dan pingsan. Pengantar pizza itu langsung menahan tubuh Lola yang sudah terkulai lemas."Tuan, target sudah saya lumpuhkan. Sekarang akan saya bawa ke hadapan Anda." Pengantar Pizza itu melaporkan pada tuannya."Bagus! Bawa dia segera. Jangan lupa bereskan semua barang-barang di sana dan segera pindahkan ke mansion ini." Seseorang di ujung telepon memerintahkan."Siap, laksanakan!"Lola dibawa ke dalam mobil yang dikendarai oleh pengantar pizza tadi. Mobil itu melaju menuju ke Pacific Height, lingkungan paling eksklusif di San Francisco.Lola perlahan membuka matanya. Dia merasa kebingungan mendapati tempatnya berada bukan lagi di dalam apartmentnya. Tapi dia berada di tempat lain yang masih asing. "Di mana aku?" Matanya tertuju di satu titik saat Luther sedang menatapnya dengan tatapan tajam, memperhatikan melalui meja kerjanya. Lola terperanjat kaget."Kamu! Kenapa aku ada di sini?" Lola panik bukan main. Luther tak beranjak sedikit pun dari mejanya."Aku masih ada urusan yang belum selesai denganmu!" sergah Luther marah. Tatapannya sangat menusuk, seakan bisa langsung mencabik gadis itu saat itu juga.Tubuh gadis itu mendadak gemetar. Hawa mencekam mulai melingkupinya. Situasi ini sangat menyulitkan untuk Lola. Dia merasa keselamatannya terancam saat ini. Apalagi Lola sempat melarikan diri sebelumnya."Urusan apa? Aku sudah tidak ada urusan denganmu!" tampiknya cepat.Segurat seringai jahat terukir di bibir Luther. Dia kemudian mulai bangkit dari tempatnya. Langkahnya perlahan, namun sangat membuat Lola bertamba
Perkataan Luther membuat Lola melongo. Dia sampai terus berpikir apa yang salah pada dirinya sehingga membuat Luther muak. Setelah kepergian Luther, kedua wanita lain masih mendiamkannya. Namun di antara mereka, Lilian lah yang lebih banyak bicara."Lihat, berkat sikapmu yang tidak berpendidikan membuat Tuan Luther marah," gerutu Lilian. "Aku heran. Apa sih yang Tuan Luther lihat darimu sehingga mau membawamu ke mansion ini?"Lola tidak mempedulikan ucapan Lilian. Dia terlalu malas menimpalinya. Mata Lola beralih menatap Barbara yang masih tenang menghabiskan makanannya. Dia menyadari jika Barbara adalah mantan aktris dan bintang iklan televisi pada tahun 2000-an. Lilian terlihat kesal karena Lola tidak menggubrisnya. Dia langsung berdiri dari tempatnya dan menggebrak meja di dekat Lola."Kau kurang ajar! Kau tidak menghormati aku yang lebih senior darimu? Aku ini Lilian, wanita yang memiliki peluang lebih besar untuk menjadi nyonya di mansion ini!" bentaknya. "Aku wanita yang dijodo
Lola membenci kehidupannya saat ini. Menjadi tawanan Luther, berarti harus menyerahkan segala hal tentang dirinya kepada Luther. Termasuk hak untuk berpakaian. "Omong kosong apa ini?" Lola yang frustasi itu langsung mengacak rambutnya.Kemudian dia terdiam. Hatinya diliputi oleh keraguan. Apakah kehidupannya akan baik-baik saja kedepannya? Ataukah kehidupannya akan menjadi semakin rumit dan penuh bahaya jika dia masih tertawan di istana itu?"Ibu, aku sangat merindukanmu," isaknya. "Andai saat itu aku bisa memberikan salam perpisahan. Andai aku bisa berkeluh kesah kepadamu. Sesungguhnya aku begitu ingin bertemu."Entah mana yang terburuk. Kehidupan beberapa tahun silam ataukah saat ini? Bagi Lola semuanya sama-sama neraka dunia. Dia mengecek handphonenya. Walaupun sudah putus hubungan dengan sahabat maupun kekasih, namun Lola masih diam-diam memata-matai media sosial milik mereka."Lihatlah orang lain, begitu bahagia setelah mencampakkanku," gumamnya miris. "Virginia selalu berfoya-f
Bayangan seorang pria bertubuh tinggi perlahan masuk ke dalam kamar Lola. Pria itu mendekat sedikit demi sedikit tanpa suara, seolah tak ingin jika keberadaannya diketahui oleh Lola. Sekaligus dia juga tak ingin Lola sampai terganggu tidurnya.Seketika langkahnya mendadak berhenti. Dia tersentak saat Lola tiba-tiba berbalik posisi. Ketika dia yakin Lola masih tertidur pulas, baru dia berjalan lagi cukup dekat dengan sosok gadis yang sedang tertidur nyenyak itu."Syukurlah dia tidak terbangun. Kulihat hari ini tidurnya tenang. Tidak seperti kemarin. Kemarin dia sangat gelisah," gumam pria itu hampir berbisik. Matanya beralih memperhatikan pakaian tidur Lola. Rupanya Lola membenci baju tidur baru yang dia belikan. Gadis itu memilih tidur dengan pakaian yang sudah dia kenakan hampir seharian."Apakah seleraku tidak ada yang cocok dengannya? Mungkin aku harus bertanya pada Barbara atau Lilian mengenai selera berbusana mereka," gumamnya lagi.Pria itu ternyata adalah Luther yang selama ini
Luther sudah bersiap menyimpan kantung belanjaannya di kamar Lola.Dia penasaran bagaimana reaksi Lola setelah menerima hadiah baru darinya."Bagaimana respon gadis itu, ya? Apakah dia senang? Atau justru sebaliknya?"Belum sempat dirinya berganti pakaian, handphone tipisnya terdengar berdering. Dengan malas, Luther mengangkat teleponnya itu."Iya, Jer. Ada apa?""Bos, maaf mengganggu waktu istirahat Anda. Tapi saya baru saja mendapatkan kabar dari sekretaris Tuan Noah. Katanya Tuan Noah ingin segera bertemu dengan Anda,"Luther menggigit bibirnya. Entah ini pertanda baik atau justru buruk untuk dirinya. Apalagi setelah apa yang terjadi sebelumnya."Jam berapa Tuan Noah meminta bertemu denganku?""Pukul sebelas malam, di 416 South Spring Street, Downtown Los Angeles.""Baiklah. Sampaikan kepada Tuan Noah, aku akan menemuinya malam ini. Sekalian tolong siapkan hadiah pemintaan maafku untuk Tuan Noah. Antarkan hadiahnya ke mansion.""Baik, Bos."Luther berkali-kali menghela napas. Dia ti
Pria itu mengecup punggung tangan Virginia, terus menanjak maju sampai ke atas. Virginia terkekeh geli."Kita baru saja bertemu. Anda sepertinya sudah tidak sabar ya," ucapnya.Noah menghentikan aktivitasnya. Dia memberikan senyuman miringnya pada wanita itu."Aku sangat senang bertemu denganmu. Makanya aku sangat antusias. Ternyata kamu tidak mengecewakanku," ucapnya. Dia kini beralih mencium pipi sang wanita."Oh, saya juga senang bertemu dengan Pak Dewan," ucap Virginia, terkekeh sedikit begitu sentuhan Noah menggelitik indra perasanya."Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Panggil aku Noah." Noah menghujani leher jenjang Virginia dengan kecupan brutal, sedikit memberikan tanda kepemilikan di kulit bersih wanita itu."Ups, apakah saya tidak dipersilahkan untuk duduk? Jangan terburu-buru. Mungkin sedikit mengobrol dan anggur?" Virginia menawarkan. Noah tertawa. Dia merasa senang karena wanita di hadapannya sangat bisa mencairkan suasana."Ide bagus."Noah menuntunnya untuk duduk
"Halo, Luther? Iya, ada apa?" Barbara mengangkat teleponnya ketika dia tengah makan malam. Lola maupun Lilian menoleh ke arah Barbara, sedikit menguping pembicaraan."Kamu tidak akan pulang ke mansion malam ini? Ada masalah pekerjaan? Baiklah. Aku akan memberitahukan pada semuanya. Kamu akan kembali besok malam? Baiklah."Mendengar pembicaraan itu, Lola merasa jengkel. Karena dia lagi-lagi tidak memiliki kesempatan untuk bertemu Luther. Padahal dia sangat ingin mengadukan perihal penyusup yang masuk ke dalam kamarnya kemarin.Barbara menutup teleponnya. Dia kembali melanjutkan makan malam. Sementara Lilian malah ribut sendiri."Tuan Luther tidak akan kembali? Padahal jelas-jelas dia baru saja datang. Tapi sekarang harus pergi lagi. Pekerjaannya akhir-akhir ini sepertinya sangat sibuk sekali," komentar Lilian.Tak ada lagi yang bicara setelahnya. Mereka kembali melanjutkan makan malam. Lilian sempat merasa kesal dengan sikap Luther yang cuek padanya. Tiba-tiba dia menemukan sebuah ide.
Lilian terlihat mulai gemetar. Terlebih ketika respon Luther terhadap dirinya sangat tidak baik. Dia merasakan sakit di pergelangan tangannya ketika Luther mencengkeramnya dengan sangat keras."Tolong... lepaskan aku, Tuan!" cicit Lilian. Suaranya tercekat bahkan hampir tak terdengar."Kau, penyusup kecil yang tidak tahu sopan santun! Aku tidak pernah mengizinkanmu untuk menginjakan kaki di kamarku!" berang Luther dengan mata merah yang dipenuhi amarah. Dia kemudian memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh Lilian. Seketika, Lilian memalingkan wajahnya dari Luther."Pakaian siapa yang kau kenakan ini? Ini bukankah milik Lola?"Jantung wanita itu mendadak berdegup lebih kencang. Kali ini dia sudah tertangkap basah sebagai pencuri dan penyusup di mata Luther. Tak sepatah kata pun terdengar dari bibirnya yang terbungkam. Luther merasa diamnya Lilian adalah sebuah upaya pembangkangan. "Katakan padaku, ini pakaian tidur milik Lola, 'kan?" Luther kini mencengkeram dagu wanita itu dengan k