"Halo, Luther? Iya, ada apa?" Barbara mengangkat teleponnya ketika dia tengah makan malam. Lola maupun Lilian menoleh ke arah Barbara, sedikit menguping pembicaraan."Kamu tidak akan pulang ke mansion malam ini? Ada masalah pekerjaan? Baiklah. Aku akan memberitahukan pada semuanya. Kamu akan kembali besok malam? Baiklah."Mendengar pembicaraan itu, Lola merasa jengkel. Karena dia lagi-lagi tidak memiliki kesempatan untuk bertemu Luther. Padahal dia sangat ingin mengadukan perihal penyusup yang masuk ke dalam kamarnya kemarin.Barbara menutup teleponnya. Dia kembali melanjutkan makan malam. Sementara Lilian malah ribut sendiri."Tuan Luther tidak akan kembali? Padahal jelas-jelas dia baru saja datang. Tapi sekarang harus pergi lagi. Pekerjaannya akhir-akhir ini sepertinya sangat sibuk sekali," komentar Lilian.Tak ada lagi yang bicara setelahnya. Mereka kembali melanjutkan makan malam. Lilian sempat merasa kesal dengan sikap Luther yang cuek padanya. Tiba-tiba dia menemukan sebuah ide.
Lilian terlihat mulai gemetar. Terlebih ketika respon Luther terhadap dirinya sangat tidak baik. Dia merasakan sakit di pergelangan tangannya ketika Luther mencengkeramnya dengan sangat keras."Tolong... lepaskan aku, Tuan!" cicit Lilian. Suaranya tercekat bahkan hampir tak terdengar."Kau, penyusup kecil yang tidak tahu sopan santun! Aku tidak pernah mengizinkanmu untuk menginjakan kaki di kamarku!" berang Luther dengan mata merah yang dipenuhi amarah. Dia kemudian memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh Lilian. Seketika, Lilian memalingkan wajahnya dari Luther."Pakaian siapa yang kau kenakan ini? Ini bukankah milik Lola?"Jantung wanita itu mendadak berdegup lebih kencang. Kali ini dia sudah tertangkap basah sebagai pencuri dan penyusup di mata Luther. Tak sepatah kata pun terdengar dari bibirnya yang terbungkam. Luther merasa diamnya Lilian adalah sebuah upaya pembangkangan. "Katakan padaku, ini pakaian tidur milik Lola, 'kan?" Luther kini mencengkeram dagu wanita itu dengan k
"Hmmhhh!" Lola berusaha untuk memberontak. Namun tenaga Luther lebih besar daripada dirinya. Dia mencoba melepaskan diri dari panggutan panas Luther."Hentikan!"Luther seolah tak mendengar ucapan Lola. Dia terus melumatnya, memberikan tanda di leher jenjang Lola. Tangannya menelusup ke sela pakaian tidur Lola yang berbahan spandex dingin, bermain-main dan menggoda di dalamnya. Lola mendadak mematung. Tubuhnya membeku.Dia merasakan dejavu dengan kejadian yang dulu pernah dia alami. Tubuhnya merespon dengan cara mematung mendadak. Otaknya membeku, tak bisa mencerna kejadian yang sedang dia alami.Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Luther. Pria itu mendadak terdiam dan membeku di tempatnya. Dia tidak menyangka Lola kembali menamparnya. "Kau menamparku lagi? Ini sudah yang kedua kali!" geram Luther.Dia langsung menjauhi Lola, melepaskan gadis yang kini merosot di tempatnya."Jangan membuat aku murka lagi, atau kau akan merasakan akibatnya!" ancam Luther kemudian. Dia langsung kel
Akhirnya setelah Lola memikirkannya semalaman, dia pun memutuskan untuk menginterogasi pelayan yang bertugas membersihkan kamarnya. Lola sengaja menunggu kedatangan pelayan tadi di depan kamarnya. Sang pelayan terkejut mendapati Lola berdiri menunggunya."Halo lagi," sapa Lola dengan seramah mungkin. Berharap jika sikapnya lebih baik, pelayan itu akan mau mengakui perbuatannya.Sang pelayan justru terlihat sebaliknya. Dia bertambah ketakutan saat melihat Lola. Bahkan tidak berani untuk bertatap muka dengan Lola."A... ada apa, Nyonya? Saya tidak tahu apa-apa!"Lola menaikan sebelah alisnya. Sikap sang pelayan itu terlihat sekali sangat aneh. Seolah memang benar telah melakukan suatu kejahatan. "Tenang, jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu! Aku hanya ingin menanyakan beberapa hal saja.""Tapi saya benar-benar tidak tahu apa-apa, Nyonya," kilahnya.Lola berusaha tetap sabar. "Begini. Kalau memang kamu tidak tahu, kenapa kamu terlihat ketakutan begitu melihatku? Seolah sudah berbuat
Luther masih tertegun di tempatnya. Dia mencoba mencerna permintaan Noah kepadanya."Anda ingin aku memanggilkan kembali wanita pengganti itu?""Iya. Aku sudah sangat tertarik padanya." Noah mengakui. "Awalnya aku ingin menghubunginya sendiri. Tapi dia menolak, dan menyuruh agar aku menghubungimu dulu jika ingin bertemu dengannya."Luther terdiam. Dia masih mencoba menimbang-nimbang. Apakah pada akhirnya permintaan Noah ini akan menguntungkannya atau tidak."Ah, begitu rupanya," gumam Luther. "Aku belum bisa menentukan keputusan. Karena permintaan Anda terlalu mendadak."Kini raut wajah Noah terlihat kecewa. Nada dibicaranya terdengar sedih sekali. Layaknya seorang pria yang sedang patah hati."Sayang sekali. Padahal aku hari ini sudah sengaja memesan kamar hotel untuk menghabiskan malam dengannya.Luther merasa gusar jadinya. Noah sangat sulit diterka isi kepalanya. Noah kemudian melanjutkan ucapannya."Baiklah. Aku akan tetap menunggu. Aku yakin Tuan Luther bisa memutuskan dengan bi
"Halo lagi, Noah," sapa Virginia. Dia membiarkan punggung tangannya kembali dikecup mesra oleh pria paruh baya itu. "Kau merindukanku?"Noah terkekeh. "Tentu saja. Aku sampai tidak nyenyak tidur karena merindukan sentuhanmu. Hanya kau yang bisa memuaskanku."Kini giliran Virginia yang tertawa. Dia berjalan perlahan masuk ke dalam kamar VIP itu. Melihat-lihat interior ruangan kamarnya."Oh, aku sangat tersanjung dengan pujianmu. Tapi bukankah pertemuan ini begitu mendadak? Aku bahkan belum sempat menyiapkan sesuatu untuk kubawa," ujar Virginia pura-pura bersedih.Wajah Noah terlihat keruh. Dia lalu menghampiri Virginia dan memeluknya dari belakang."Maafkan aku, Sayangku. Aku sangat antusias ingin memanggilmu ke sini sampai tidak ingat waktu.""Haha, tidak apa-apa, Noah. Aku memiliki yang 'spesial' untuk pertemuan kita kali ini. Aku akan menari untukmu," ucap Virginia sambil mengecup balik pria yang memeluknya.Virginia mulai melepas jaket yang menutupi tubuhnya. Begitu terbuka, Noah t
Selepas pertemuannya dengan Noah di hotel, sebetulnya Luther merasa malas sekali untuk pulang ke mansionnya. Selain karena jarak yang jauh, dia juga masih tidak mau bertemu dulu dengan para wanitanya."Sekarang kita pulang, Bos?" tanya Jeremy begitu Luther sudah masuk ke dalam mobil. "Aku tidak memiliki pilihan lain selain itu sekarang," desah Luther lelah.Jeremy terdiam. Dia masih memperhatikan bosnya melalui kaca spion depan mobil. Wajah Luther saat itu terlihat sangat lelah."Bos, apa yang terjadi? Sepertinya Anda sedang kalut," tanya Jeremy dengan penuh perhatian."Ya, begitulah. Hanya karena mega proyek pertamaku ini, aku harus mengalami banyak kerugian. Lagi-lagi harus keluar uang pelicin untuk melancarkan usaha ini," jawab Luther yang tak hentinya memijat pelipisnya."Begitulah, Bos. Pasti banyak pihak yang akan memanfaatkan kesempatan ini untuk kepentingan pribadinya sendiri. Lebih baik, Anda bisa mengambil keputusan dengan lebih bijak," saran Jeremy."Iya. Aku sedang berusa
Lola merasa kerongkongannya kering. Dia terbangun tengah malam akibat hal itu sambil menggerutu."Padahal baru sebentar aku tidur. Kenapa rasanya mendadak haus sekali?" keluhnya.Dengan malas, Lola pun bangkit dari tempat tidur. Dengan perlahan masih sambil mengucek matanya, dia pun beranjak keluar dari kamarnya menuju ke ruang makan. Belum sempat dia mendekat ke sana. Matanya menangkap ada dua sosok sedang berada di ruang makan itu. "Siapa itu? Luther dan... Barbara?" gumamnya sambil menyipitkan mata.Lola tak mau dirinya terlihat keberadaannya di tempat itu. Dia pun segera bersembunyi di tempat yang cukup tak terlihat. Diam-diam dia mengamati apa yang terjadi malam itu. Luther sedang makan di meja makan, sementara Barbara berada di dapur bersih."Akhhhh!!"Suara teriakan Barbara membuat Lola terkejut. Luther pun sama terkejutnya dengan dia. Pria itu langsung menghampiri Barbara dan membantu wanita itu untuk mendinginkan luka bakarnya. Lola sebenarnya ingin cepat-cepat menuntaskan k