Jhonatan yang melihat berubahnya sikap Lola menjadi kembali khawatir terhadap adiknya itu."Lola, ada apa? Kamu gemetar?" Jhonatan berusaha mempertanyakan."Tidak apa-apa, Kak .... " Lola sebisa mungkin berusaha menormalkan kembali perasaannya agar Jhonatan tak mencurigainya lagi.Jhonatan masih tetap memperhatikan Lola dengan perasaan khawatir. "Kau yakin? Apa mungkin kau sakit?""Sepertinya begitu, Kak. Sudah jangan khawatirkan aku. Segera jemput dia." Lola beralasan.Dengan sangat berat hati Jhonatan harus meninggalkan Lola sendirian di rumah sakit karena Joey bertugas kembali di rumah mereka. Sepeninggalan Jhonatan, badan Lola mendadak lemas. Dirinya terduduk di samping sang ibu dengan wajah yang pucat."Lo ... la?" Ibunya ternyata memperhatikan apa yang terjadi. Dengan secepat kilat, gadis itu berusaha mengulas senyum seraya menenangkan sang ibu."Aku tidak apa-apa, Bu. Jangan khawatir."Sementara itu Jhonatan tergesa-gesa dalam menyetir mobilnya. Dia merasa terganggu oleh panggi
Jhonatan terburu-buru datang ke rumah sakit. Dia merasa lega saat kini Lola sedang ditemani oleh Joyce di samping ibunya. Kondisi Lola masih terlihat sama seperti sebelum dirinya pergi. Lola kini nampak lebih pendiam."Lola, ini aku bawakan beberapa roti untukmu. Makanlah dulu. Wajahmu sangat pucat." Jhonatan menyerahkan satu kantung kresek berisi roti pada Lola.Lola menerimanya dengan perlahan sambil tersenyum kecil. "Terima kasih, Kak."Lola memakan rotinya dengan perlahan. Kakak tirinya itu diam-diam memperhatikannya makan. Jhonatan lalu berpaling pada Joyce yang kini sedang menyuapi ibu mereka."Joyce, apa tidak apa-apa jika hari ini kau berjaga di rumah sakit sendirian?"Joyce terdiam di tempatnya, cukup terkejut dengan pertanyaan Jhonatan yang tiba-tiba. "Tidak apa-apa, Tuan Muda. Saya bisa menangani Nyonya seorang diri. Kalian berdua beristirahatlah di rumah. Kalian pasti kelelahan.""Terima kasih, Joyce."Mendengar percakapan kedua orang di dekatnya, jantung Lola mendadak seo
Luther memutuskan berangkat keesokan harinya. Dia membooking satu pesawat untuk dirinya dan juga para bodyguard yang mendampinginya. Jeremy juga sudah menghubungi kenalannya yang berlokasi di sekitar Wichita untuk meminjam mobil.Luther tidak langsung bergerak untuk menemui Lola. Sesampainya di Wichita, dia, Jeremy dan para bodyguard beristirahat dulu di hotel."Bagaimana Jer, mobil pinjamannya aman?" tanya Luther begitu mereka masuk ke hotel."Aman, Bos. Saya akan mengambil mobil itu ke sana," jawab Jeremy."Pastikan semuanya sesuai rencana. Aku tidak mau hari ini kacau karena hal di luar rencana kita." Luther mengingatkan.Bukan Jeremy namanya jika sama sekali tak bisa mengerjakan pekerjaannya dengan baik. Semua apa yang mereka siapkan akhirnya selesai juga. Mereka pun bergerak ketika malam sudah cukup larut.Luther merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, adrenalinnya memuncak pada saat itu. Meskipun dirinya percaya diri untuk menjalankan rencananya, tapi tak dipungkiri jika ada
Luther menahan amarahnya ketika Jhonatan mengatakan hal yang begitu menyinggung harga dirinya. Dia beralih menatap marah pada Lola yang kini berlindung di balik tubuh Jhonatan."Jadi ... kalian benar-benar saling mencintai? Apakah itu benar ... Lola?"Lola tak dapat berkata-kata. Dia justru diam membisu dengan tatapan yang sedih. Sejujurnya Lola sendiri tak bisa tegas mengenai perasaannya. Jika ditanya apakah dia mencintai Jhonatan, sebenarnya jawabannya tidak. Tapi dia tak dapat mengungkapkan itu karena takut mengecewakan kakaknya.Diamnya Lola seolah menjadi jawaban iya bagi Luther. Dia tertawa miris."Baiklah. Aku jadi mengerti isi hatimu sekarang. Sejak awal kau hanya ingin menipuku, membuat hatiku hancur lagi. Semua hal yang sudah kulakukan untukmu tak ada artinya!" geramnya. "Jika aku bertanya apa yang kau rasakan terhadapku, kau pasti akan mengatakan jika kau sangat membenciku dan menyesal telah terjebak denganku, bukan?""Luther, aku tidak .... " Lola kini mulai angkat bicara,
Setelah makan malam, Barbara mulai menjalankan rencananya diam-diam. Sejujurnya dirinya tak pernah lagi masuk ke dalam kamar Luther, entah Luther akan mengizinkan dia masuk atau tidak. Akan tetapi Barbara berniat untuk menjebak Luther yang diduga sedang mabuk.Barbara membuka pintu perlahan, berusaha untuk mengendap-endap mendekati Luther. Pada saat itu, pria itu tengah duduk membelakanginya dengan kondisi kamar yang berantakan oleh pecahan botol wine dan isinya yang sudah mengotori karpet di kamar itu.'Apakah dia menyadari kedatanganku?' batin Barbara.Wanita itu tetap berhati-hati dalam melangkah, takut juga dia menginjak pecahan botol. Begitu sampai di belakang Luther, tanpa ragu dia mengalungkan lengannya ke leher Luther. Mendekap pria itu dari belakang.Tubuh Luther terasa membeku di tempatnya. Tanpa Barbara duga, Luther lalu melepaskan tangannya dan berbalik menatap wanita itu."Kau! Apa yang kau lakukan di kamarku, Barbara? Aku tidak mengizinkan siapa pun sekarang untuk masuk
Jhonatan terkejut ketika dia mendengar ada suara pintu yang tertutup kencang malam itu ketika dia sedang ada di dalam kamar. Hatinya tergerak untuk segera mengecek ke luar dan dirinya melihat ada siluet orang meninggalkan halaman rumah mereka."Siapa itu? Apakah itu perampok?" Jhonatan mulai bersikap waspada di tempatnya. Dia langsung berkeliling memeriksa setiap jengkal dari rumahnya. Sempat dia memeriksa keluar namun jejak sang perampok tak dia temukan. "Ke mana perampoknya pergi?"Karena tak juga mendapatkan hasil, akhirnya Jhonatan pun masuk kembali ke dalam rumah. Pada saat itu, dia mendengar handphone yang dia simpan di kamar berbunyi. Cepat-cepat Jhonatan memeriksanya dan menemukan pesan dari Noah.[Jhonatan, aku merasa sepertinya aku harus segera meninggalkan Wichita. Tapi aku tak mau pergi sebelum bertemu dengan Anneliese. Jadi, tanpa kau izinkan sekali pun ... aku akan tetap menemuinya. SEKARANG. LALU SELAMAT TINGGAL!]Mata laki-laki itu terbelalak tak percaya. Rasa panik
Jhonatan menatap khawatir pada Lola melalui kaca spion mobilnya. Lola masih bergeming dengan tubuh yang gemetar hebat. Air mata tak hentinya mengalir dari mata gadis itu."Lola, katakan padaku. Apakah dia yang menjadi alasanmu untuk pergi dari rumah?"Perlahan Lola menganggukkan kepalanya sambil menggigit bibir bawahnya. Kali ini tangisnya pecah pada saat itu juga. Lola sudah berusaha untuk mencoba kuat, namun tak bisa. Dirinya merasa sangat kotor karena kembali mengalami pelecehan yang dilakukan oleh ayah tirinya.Jhonatan juga ikut gemetar karena amarah yang kembali menguasainya. Dia masih tak habis pikir mengapa setega itu Noah sampai hati menodai anak tirinya sendiri."Kapan ... dia melakukan itu padamu? Bisakah kau ceritakan semuanya padaku?"Sepertinya Lola masih tak kuasa untuk menceritakan segala hal yang dialaminya. Hanya air mata yang menjadi saksi betapa getir dan menyakitkan hidup yang telah dia jalani. Jhonatan kini merasa sedih. Dia tak lagi meminta Lola untuk bercerita.
Jhonatan kembali ke rumah sakit tanpa banyak bicara. Dirinya lalu memberikan beberapa perlengkapan untuk Lola. Joyce menghampiri Jhonatan dengan khawatir."Bagaimana, Tuan Muda? Keadaan sudah aman?""Aku tidak tahu, Joyce. Ketika aku pulang ... kondisi kamar itu sudah kosong. Ayah tak ada di mana pun." Jhonatan menjelaskan.Joyce terdiam cukup lama, antara dia percaya Noah sudah pergi atau mungkin berpura-pura pergi seperti sebelumnya."Tuan Muda, untuk sementara lebih baik selama beberapa hari ini kita semua tinggal di rumah sakit saja. Saya rasa, tempat teraman pada saat ini adalah rumah sakit.""Kau benar." Jhonatan menyetujui. "Aku juga berpikir seperti itu. Dan mungkin .... ""Mungkin apa, Tuan Muda?" Joyce bingung.Jhonatan menyadari jika dirinya terlalu banyak bicara. "Ah ... tidak."Jhonatan hanya dapat memendam isi pikirannya untuk memulangkan Lola seorang diri. Dia tak mau Lola mengetahui rencananya yang sudah dia setujui di dalam hati.Tanpa terasa mereka bersama telah berj