Bab 65. Dukungan Nek Ayang“Maaf, ini siapa, ya?” tanyaku kaget. Nomor yang memanggil adalah nomor biasa dipakai Mas Elang nuat nelpon aku. Tapi, si penelepon kali ini adalah seorang perempuan.“Gak penting siapa. Apa benar kamu tinggal di rumah Nek Ayang yang di samping gang Kolam?”“Iya, Mbak siapanya Mas Elang? Kok hape Mas Elang ada sama Mbak?”“Urusan apa sama kamu, yang ada itu aku yang nanya kamu, kenapa ponsel Elang yang satu lagi ada sama kamu?!”Aku terdiam. Bukan tidak mau menjawab, tapi aku merasa tak perlu menjawab pertanyaan orang yang tidak kukenal. Tak ada urusan dengannya juga.“Kok, diam? Enggak bisa jawab? Ya, sudah aku mau kita bertemu! Kamu jangan ke mana-mana, aku datang! Kau harus jelaskan semuanya padaku! Termasuk tentang Ibuku yang terpaksa masuk rumah sakit gara-gara kamu! Tunggu di situ!”Telepon terputus. Kembali perasaan tak nyaman menderaku. Belum juga selesai masalah yang satu, ini datang lagi masalah baru. Tapi, aku akan tetap kuat. Kata Mas Elang aku
Bab 66. Ingin Menggugat Cerai Tapi Terhalang“Ya, Elang menginginkanmu, Nduk! Dia mencintaimu. Bukan Kinanti, bukan pula Nirmala.”“Maafkan saya, Nek! Saya gak ada maksud apa-apa. Saya juga enggak pernah merayu-rayu Mas Elang.”“Nenek paham, Ning! Nenek tahu perempuan seperti apa kamu, Nduk! Nenek justru sangat berterima kasih padamu. Karena kamu mau menerima Elang apa adanya.”“Justru saya yang tak pantas sama Mas Elang, Nek. Kata Bu Ajeng, saya ini gak jelas bibit, bebet dan bobotnya.”“Karena itu kamu kirim dia ke rumah sakit?” Nek Ayang terkekeh. Aneh, kenapa dia malah tertawa. Kenapa dia tak memarahi aku? “Kamu hebat, Ning! Kamu berhasil memberi Ajeng pelajaran berharga,” lanjutnya setelah tawanya reda.“Maafkan saya, Nek! Saya enggak ada maksud seperti itu. Saya ….”“Berhenti merasa dirimu berasalah, Bening! Berhenti minta maaf! Kamu tidak bersalah sama sekali! Dari tadi Nenek perhatikan kau minta maaf terus. Kamu harus punya prinsif! Selama kamu tidak melakukan kesalahan, ja
Bab 67. Perintah Nek Ayang Menjemput Bayiku “Banyak perempuan yang harus kau hadapi, Nduk! Banyak musuh yang harus kau kalahkan. Itu hanya untuk mendapatkan Elang. Nenek mohon, jangan menyerah! Sebab Nenek akan ada untukmu. Nenek akan berjuang untukmu dan Elang cucuku,” tegas Nenek membalas tatapanku. Hatiku terenyuh. Begitu tulusnya dia padaku. Dan hanya dia mendukungku. Seketika mataku panas dan perih. Kutahan agar tak menangis di hadapan Nek Ayang. Tangis karena haru.“Bagi nenek, Elang adalah segalanya. Tinggal dia saja perjuangan nenek hidup di dunia ini. Sebentar lagi, mungkin esok, nenek akan meninggalkan dunia ini. Nenek ingin mati dengan tenang, Nduk. Nenek akan tenang jika Elang sudah didup bahagia. Dan bahagia Elang itu adalah kamu, Ning! Tolong bahagiakan Elang, ya, Ning!” pintanya lagi. Mata tuanya memohon, begitu memelas.Pantaskah dia memohon seperti itu padaku? Aku ini siapa? Wajar jika perempuan-perempuan di sekitar Mas Elang tak menyukaiku. Karena memang aku tak
Bab 68. Pria Yang Bersama Mbak Nuri "Ning, cepat! Elang sudah datang!" Terdengar teriakan Nek Ayang. Hatiku berdebar. Mas Elang..... Entah mengapa aku ingin terlihat cantik di mata Mas Elang nanti. Tapi bagaimana caranya? Kutatap wajahku sekali lagi di pantulan cermin kusam yang menempel di dinding kamar. Terlihat pucat. Kuraih bedak putih milik anak-anak. Kuoles di wajahku. Lumayan untuk menutupi kulit kusamku. Tapi aku tak punya pewarna bibir. Bibirku tampak pucat. Ah, aku jelek sekali. Sudahlah, begini saja. "Ning....!" "Iya, Nek!" Gegas aku keluar kamar, langsung menuju pintu depan. Nek Ayang menatapku dari samping steling jualan. "Sek sek!" panggilnya lalu menghampiriku. Wanita itu lalu membuka tas tangannya yang tadi dia letak di salah satu meja. Mengeluarkan dua buah benda dari dalamnya. "Mingkem!" perintahnya, lalu mengoleskan sesuatu di bibirku. "Ratakan, satukan bibirmu! Hem, cantik, seger!" ucapnya lalu membuka tutup botol kecil di tangannya. B
Bab 69. Mas Elang Tiba-tiba Bisa Berdiri “Liatin apa, sih? Serius banget?” Aku tercekat. Mas Elang melirikku sekilas, lalu fokus lagi ke jalan raya. Haruskah aku ceritakan kepadanya? Aku ragu. Bagaimana kalau aku salah? Meski aku yakin aku tak salah lihat, entah kenapa aku tetap saja ragu mengatakannya. Baiklah, aku diam saja dulu. Bila semua sudah jelas, baru aku cerita pada Mas Elang bahwa pria yang bersama kakaknya tadi itu adalah mantan kakak iparku. Begitu tekatku. “Hey, ditanya malah bengong!” cecar Mas Elang lagi. Enggak ada, Mas. Aku noleh ke belakang untuk mastiin saja, Mbak Nuri udah pulang atau belum. Aku tajut dia ngamuk lagi sama Nek Ayang,” sahutku. “Jangan kuatir! Enggak ada yang berani melawan Nek Ayang. Bahkan Ibu saja takluk sama dia, apalagi Mbak Nuri.” “Syukurlah.” “Nada pindah ke depan saja, Sayang, sepi sendiri di belakang, kan?” Mas Elang menoleh ke belakang. “Enggak usah, Om. Nada mau bobok saja, Sendiri malah enak, kakinya bisa naik sekalian, enggak
Bab 70. Pengobatan Alternatif Buat Kaki Mas Elang Wajah tampan Mas Elang sedang tertawa, kening kokohnya sedang tertawa, mata elangnya, hidung mancungnya, bibir tegasnya, dagu nya, rahangnya, semua yang ada pada dirinya sedang tertawa. Aku terpana. Seperti itukah tampilan Mas Elang saat berdiri? Dia begitu tinggi, tegap, ya, Tuhan … aku siapa? Apa pantas aku bermimpi berdiri di sampingnya? Tidak! Aku tidak pantas sama sekali. Mas Elang layaknya seorang pangeran tampan, sedang aku hanyalah seorang emban. Aku hanyalah upik abu yang bermimpi di persunting oleh putra mahkota. Pantas saja Bu Ajeng sampai iatuh pingsan saat Mas Elang memilih aku saat dia dihadapkan dengan dua pilihan. Pantas saja Mbak Kinanti tak henti mengingatkan siapa aku. Pantas saja Mbak Nuri menuduhku menggunakan ajian goyang ranjang untuk menjerat adiknya. Ternyata, sang adik adalah seorang pangeran. “Ning, coba bantu, Bapak, Nduk, sini dekat!” Aku tersadar dengan panggilan Bapak. “I-iya, Pak?” sahutku berjalan
Bab 71. Ketiduran Saat Bima Menghisap ASI-ku“I-iya, Pak, Bening paham. Maafkan Bening. Bening balik ke kamar saja!” sahutku lalu pergi.“Ning!” panggil Mas Elang menghentikan langkah kakiku.“Aku nggak merasa sakit. Aku malah sangat senang. Lihat aku, Ning! Aku sudah bisa berdiri seperti ini saja, aku sudah sangat bahagia. Tolong dukung aku, ya! Bapak mau memeriksa tungkai kakiku, apakah masih bisa berfungsi atau tidak. Kalau bisa, Bapak akan mengobati kakiku sampai smebuh. Sampai aku bisa berjalan lagi. Kalau teryata tidak bisa berfungsi lagi, aku akan terpaksa ke luar negeri seperti rencana Ibu dan Kinanti. Kinanti yang akan mendampingi aku selama menjalani pengobatan di Singapore. Mau tak mau aku harus berangkat, Ning. Masa cuti yang diberikan kantor padaku terbatas waktunya. Jika aku tak bisa sembuh lagi, otomatis aku harus kehilangan pekerjaanku. Kau paham maksudku?”Resah langsung menderaku. Mas Elang menyebut nama Kinanti. Kenapa aku merasa cemburu? Padahal Mas Elang jelas-je
Bab 72. POV Elang (Mengejar Bening Ke Penjara)Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, pukul satu dini hari. Perjalanan masih separuh lagi. Satu jam lagi kami akan sampai di Semarang. Masih sangat lama. Kantuk ini semakin menyiksa saja. Duh, mana kakiku terasa masih sangat ngilu lagi bekas pijatan ayah Bening tadi.Ngilu dan sakit. Tapi tak apa, harapan besar dia janjikan padaku. Tungkai kakiku akan bisa berfungsi lagi seperti sedia kala bila aku rajin mengikuti terapi yang akan dia lakukan. Semoga berhasil. Semoga aku bisa sembuh tanpa menjalani operasi seperti yang direncanakan oleh keluarga besarku. Sehingga aku bisa terbebas dari Kinanti.Tetapi, meskipun aku sembuh nanti tetap saja ada yang mengganjal. Bukankah Kinanti memberi syarat akan menikahiku bila aku sudah bisa berjalan? Wah, sepertinya masalah besar akan timbul lagi. Tidak, tidak akan ada masalah. Lagipula siapa yang mau menikah lagi.Aku sama sekali tak punya keinginan untuk itu. Cukup Nirmala saja yang