Bab 68. Pria Yang Bersama Mbak Nuri "Ning, cepat! Elang sudah datang!" Terdengar teriakan Nek Ayang. Hatiku berdebar. Mas Elang..... Entah mengapa aku ingin terlihat cantik di mata Mas Elang nanti. Tapi bagaimana caranya? Kutatap wajahku sekali lagi di pantulan cermin kusam yang menempel di dinding kamar. Terlihat pucat. Kuraih bedak putih milik anak-anak. Kuoles di wajahku. Lumayan untuk menutupi kulit kusamku. Tapi aku tak punya pewarna bibir. Bibirku tampak pucat. Ah, aku jelek sekali. Sudahlah, begini saja. "Ning....!" "Iya, Nek!" Gegas aku keluar kamar, langsung menuju pintu depan. Nek Ayang menatapku dari samping steling jualan. "Sek sek!" panggilnya lalu menghampiriku. Wanita itu lalu membuka tas tangannya yang tadi dia letak di salah satu meja. Mengeluarkan dua buah benda dari dalamnya. "Mingkem!" perintahnya, lalu mengoleskan sesuatu di bibirku. "Ratakan, satukan bibirmu! Hem, cantik, seger!" ucapnya lalu membuka tutup botol kecil di tangannya. B
Bab 69. Mas Elang Tiba-tiba Bisa Berdiri “Liatin apa, sih? Serius banget?” Aku tercekat. Mas Elang melirikku sekilas, lalu fokus lagi ke jalan raya. Haruskah aku ceritakan kepadanya? Aku ragu. Bagaimana kalau aku salah? Meski aku yakin aku tak salah lihat, entah kenapa aku tetap saja ragu mengatakannya. Baiklah, aku diam saja dulu. Bila semua sudah jelas, baru aku cerita pada Mas Elang bahwa pria yang bersama kakaknya tadi itu adalah mantan kakak iparku. Begitu tekatku. “Hey, ditanya malah bengong!” cecar Mas Elang lagi. Enggak ada, Mas. Aku noleh ke belakang untuk mastiin saja, Mbak Nuri udah pulang atau belum. Aku tajut dia ngamuk lagi sama Nek Ayang,” sahutku. “Jangan kuatir! Enggak ada yang berani melawan Nek Ayang. Bahkan Ibu saja takluk sama dia, apalagi Mbak Nuri.” “Syukurlah.” “Nada pindah ke depan saja, Sayang, sepi sendiri di belakang, kan?” Mas Elang menoleh ke belakang. “Enggak usah, Om. Nada mau bobok saja, Sendiri malah enak, kakinya bisa naik sekalian, enggak
Bab 70. Pengobatan Alternatif Buat Kaki Mas Elang Wajah tampan Mas Elang sedang tertawa, kening kokohnya sedang tertawa, mata elangnya, hidung mancungnya, bibir tegasnya, dagu nya, rahangnya, semua yang ada pada dirinya sedang tertawa. Aku terpana. Seperti itukah tampilan Mas Elang saat berdiri? Dia begitu tinggi, tegap, ya, Tuhan … aku siapa? Apa pantas aku bermimpi berdiri di sampingnya? Tidak! Aku tidak pantas sama sekali. Mas Elang layaknya seorang pangeran tampan, sedang aku hanyalah seorang emban. Aku hanyalah upik abu yang bermimpi di persunting oleh putra mahkota. Pantas saja Bu Ajeng sampai iatuh pingsan saat Mas Elang memilih aku saat dia dihadapkan dengan dua pilihan. Pantas saja Mbak Kinanti tak henti mengingatkan siapa aku. Pantas saja Mbak Nuri menuduhku menggunakan ajian goyang ranjang untuk menjerat adiknya. Ternyata, sang adik adalah seorang pangeran. “Ning, coba bantu, Bapak, Nduk, sini dekat!” Aku tersadar dengan panggilan Bapak. “I-iya, Pak?” sahutku berjalan
Bab 71. Ketiduran Saat Bima Menghisap ASI-ku“I-iya, Pak, Bening paham. Maafkan Bening. Bening balik ke kamar saja!” sahutku lalu pergi.“Ning!” panggil Mas Elang menghentikan langkah kakiku.“Aku nggak merasa sakit. Aku malah sangat senang. Lihat aku, Ning! Aku sudah bisa berdiri seperti ini saja, aku sudah sangat bahagia. Tolong dukung aku, ya! Bapak mau memeriksa tungkai kakiku, apakah masih bisa berfungsi atau tidak. Kalau bisa, Bapak akan mengobati kakiku sampai smebuh. Sampai aku bisa berjalan lagi. Kalau teryata tidak bisa berfungsi lagi, aku akan terpaksa ke luar negeri seperti rencana Ibu dan Kinanti. Kinanti yang akan mendampingi aku selama menjalani pengobatan di Singapore. Mau tak mau aku harus berangkat, Ning. Masa cuti yang diberikan kantor padaku terbatas waktunya. Jika aku tak bisa sembuh lagi, otomatis aku harus kehilangan pekerjaanku. Kau paham maksudku?”Resah langsung menderaku. Mas Elang menyebut nama Kinanti. Kenapa aku merasa cemburu? Padahal Mas Elang jelas-je
Bab 72. POV Elang (Mengejar Bening Ke Penjara)Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, pukul satu dini hari. Perjalanan masih separuh lagi. Satu jam lagi kami akan sampai di Semarang. Masih sangat lama. Kantuk ini semakin menyiksa saja. Duh, mana kakiku terasa masih sangat ngilu lagi bekas pijatan ayah Bening tadi.Ngilu dan sakit. Tapi tak apa, harapan besar dia janjikan padaku. Tungkai kakiku akan bisa berfungsi lagi seperti sedia kala bila aku rajin mengikuti terapi yang akan dia lakukan. Semoga berhasil. Semoga aku bisa sembuh tanpa menjalani operasi seperti yang direncanakan oleh keluarga besarku. Sehingga aku bisa terbebas dari Kinanti.Tetapi, meskipun aku sembuh nanti tetap saja ada yang mengganjal. Bukankah Kinanti memberi syarat akan menikahiku bila aku sudah bisa berjalan? Wah, sepertinya masalah besar akan timbul lagi. Tidak, tidak akan ada masalah. Lagipula siapa yang mau menikah lagi.Aku sama sekali tak punya keinginan untuk itu. Cukup Nirmala saja yang
Bab 73. POV Elang (Mengejar Bening Ke Penjara) Pagi ini aku bangun dengan penuh semangat. Dengan bantuan dua tongkat penyangga aku berjalan ke meja makan. Tak lagi menggunakan papan buatan ayah Bening semalam karena di rumah aku memang mempunyai alat bantu itu selain kursi roda. Kudapati Bapak, Ibu, Mbak Dara dan Mbak Nuri sudah mengelilingi meja makan. Entah ke mana Nek Ayang. Apa dia belum bangun karena tidur kemalaman tadi malam? Mbak Dara langsung mengejar begitu melihat aku datang dengan kesusahan. “Kamu hebat, udah bisa menggunakan penyangga ini. Ayo Mbak bantu!” ucapnya menuntunku. Aku balas tersenyum, Mbak Nuri buang muka. Begitupun Ibu. Sedangkan Bapak bersikap cuek. “Duduk sini!” Mbak Dara menarik sebuah kursi untukku. “Terima kasih, Mbak!” sahutku. Pelan-pelan aku menurunkan dan meletakkan bokongku di kursi itu. Masih dibantu Mbak Dara, keringat dingin meleleh di kening dan punggungku. Masih terasa begitu sakit, ngilu dan kadang-kadang keram di kakiku. “Sudahlah,
Bab 74. Mas Wisnu Berbohong “Lho, ini mobilnya kok, ke arah sini, sih, Mas! Ini kan bukan jalan menuju penjara!” sergahku saat mobil Mas Wisnu berbelok di persimpangan tiga. Meskipun aku hanya tamat SMP, tapi aku bisa membaca. Kalau belok kanan itu menuju pusat kota, dan kalau lurus itu menuju pasar tradisonal yang kemaren aku dibawa oleh Mas Elang. Aku masih ingat betul itu. Tapi kalau belok kiri, artinya Mas Wisnu mau bawa aku ke mana? Harusnya mobil ini belok kanan. Karena perkantoran ada di wilayah sana termasuk lapas tempat Mas Sigit di tahan. Lalu kenapa dia bawa aku ke arah luar kota? “Mas, Mas Wisnu mau ke mana?” teriakku lagi. “Tenang, Ning! Aku tidak akan membawamu ke mana-mana! Kamu pikir aku sejahat apa, ha?” “Buktinya ini, Mas bilang mau bawa aku ke penjara, mau nemui Mas Sigit! Tapi ini, Mas kok malah bawa mobilnya ke arah sini!” “Kita ambil jalan pintas, Ning! Kamu kalau enggak tau jalan diam saja!” Aku terdiam. Baik, aku akan ikuti saja. Tapi, aku tak boleh le
Bab 75. Permintaan Mantan Ibu Mertua “Aku bilang begitu karena aku lihat tadi kamu ngelendot-ngelendot gitu di mobil suamiku! Apa maksud kamu seperti itu, tadi, ha? Kmau kecentilan, ya, sekarang! Kamu mau merayu suamiku, kan? Kamu gosok-gosokkan dadamu yang bengkak itu ke lengan suamiku, biar dia tergoda lalu kamu ploroti uangnya, iyakan? Kalau enggak dengan cara jual diri, memangnay giman acara kamu memberi makan anak-anakmu! Enggak mungkin kamu bisa bertahan hidup di kota besar ini!” “Kebetulan Mbak tanya. Sekalian, deh, aku mau minta tolong, sama Mbak! Tolong ambilin hape aku di tangan Mas Wisnu! Jadi gini ceritanya tadi itu, Mbak. Aku kan punya hape baru, tuh. Biasalah, untuk panggilan pelanggan. Nah saat jalan ke sini, ada pelanggan yang nelpon, mau buat janji sama aku. Mas Wisnu marah. Katanya, kapan aku ada waktu buat dia, orang aja kamu layanin, aku enggak pernah, katanya gitu. Secara, ya, Mbak, ya, dia kan suami kakka ipar aku, enggak mungkin kan, aku mau tidur sama dia.