“Gak usah sok pikun, Mas. Kamu sudah ingkar janji. Masih mau mengelak juga, janji apa yang kamu ucapkan pada bapak?”Mirza mengusap wajahnya kasar, lalu duduk menghadap Hesti yang sedari tadi berusaha santai menjawab setiap pertanyaannya.“Iya, aku mengaku bersalah. Tapi gak lantas kamu mengambil keputusan sepihak. Sekarang, kita pulang. Aku akan segera mengajakmu pulang ke rumah bapak. Kita urus surat-surat untuk pernikahan resmi kita. Oke?”Hesti menggeleng tanpa memandang Mirza.“Terlambat, Mas. Aku sudah terlanjur sakit hati memakan janji-janji palsu. Kamu gak serius menikahiku, bahkan Setelah kehadiran Amanda sekali pun.”“Aku serius. Mana mungkin aku main-main. Sekarang, kamu bisa pegang kata-kataku.”“Kamu baru bergerak setelah aku menyesal menikah denganmu.”“Hesti, Sayang. Kenapa kamu bilang begitu?”Mirza meraih jemari Hesti dan menawan dalam genggaman.“Aku gak bodoh, Mas. Aku tau kamu masih mencintai Mala dan masih mengharapkan dia.”“Itu gak benar.”“Bagaimana mungkin kam
Usai mengajak Melati menikmati sarapan, Mala langsung pamit untuk kembali bekerja. Lian sedang menunggu di depan ruangan Mala. Ia berusaha sekuat mungkin menahan rasa penasarannya tentang kehadiran Melati pagi-pagi sekali di lobi kantor, tempat Armala bekerja.Sampai jam pulang, Lian tidak mendapatkan tanda-tanda Mala akan bercerita tentang Melati. Ia khawatir, jika gadis itu mempengaruhi Mala.“Li, kita ke ATM sebentar.”Lian hanya menoleh sesaat, lalu membelokkan mobilnya ke deretan swalayan. Di sana berdiri sebuah ATM bank swasta.“Mau tarik tunai? Buat apa?” Lian memberanikan dirinya untukbertanya.“Melati gak punya ATM. Tunggu sebentar, ya?”Lian mengangguk, tanpa mengajukan pertanyaan lagi membiarkan Mala memasuki ATM. Meskipun rasa penasaranterbayar dengan satu baris kata sebagai jawaban, tetapi mengenai persoalan Maladengan Melati masih menjadi misteri baginya.Lima menit kemudian, Mala masuk kembali ke mobil.“Kita langsung ke kampusnya Melati, ya?”Sekali lagi, Lian hanya m
Melati menutup mulut. Menangis sekaligus menahan isakan. Tak menyangka jika kepergian selama dua hari telah mengubah Mirza.“Aku hanya kepengen membantu. Aku kepengen Mas Mirza kembali lagi sama mbak Mala. Itu saja,” balas Melati dengan suara hampir tak terdengar.“Tapi bukan begini caranya.”“Harus seperti apa? Aku sudah kehilangan cara, Mas.”“Kamu gak perlu membantu. Kamu memberikan rekaman video pada Hesti, lalu Hesti sakit hati dan pergi. Kamu sudah puas? Sekarang aku tanya, dari mana kamu mendapatkannya?Dari mana, Mel!”Bentakan demi bentakan dan penekanan hampir di setiap kata yangterlontar menunjukkan amarah Mirza.“Mel! Katakan siapa?”Mirza melangkah lebih dekat, hingga membuat Melati merasa terdesak.“Mel!”“Lian. Lian, Mas!”Jawaban Melati dengan suara lirihnya membuat Mirza lemas. Ia beranjak dari ambang pintu, lalu terduduk lemas di sofa. Mendengar satu nama yang selama ini ia segani terasa panas seketika. Pengakuan Melati membuatnya tak percaya.Kenapa harus Lian? Kena
“Gak perlu ngantar ke depan pintu kali, Li.”“Kamu menolak.”“Ya, bukan begitu. Kan kamu mau jemput tante Liza juga.”“Mama bisa menunggu, kok.” Lian menunjuk ke depan agar Malasegera beranjak.“Li.” Mala membuka percakapan setelah melewati lorong.“Hem.” Lian menanggapi dengan santai.“Aku kasihan deh, sama Melati. Tadi dia menelepon lagi.Katanya, dia butuh bantuan gitu.” Mala menjelaskan dengan hati-hati. Ia tahujika Lian pasti berkebaratan jika dirinya terlalu dekat dengan mantan iparnya.“Silahkan bantu kalau kamu mau bantu. Tapi, cukup bantukeuangannya saja.”“Iya, maksudku juga begitu.”“Bagus. Kok aku merasa, lama-lama kamu dimanfaatin samaMelati. Jangan-jangan, dia disuruh ibunya.”“Negatif melulu kalau ngomongin ibu. Padahal murni karena Melatibutuh bantuanku.”“Ya ... menurutku saja. Semoga salah. Tapi ... biasanyafeeling-ku benar.”Mala tidak menghentikan langkah tepat di depan pintu.“Btw makasih sudah khawatir. Aku bakal hati-hati kok.”“Kalau sudah hati-hati, berarti ga
“Mala.” Ia tergagap. Lalu berusaha mati-matian mengatur detak jantung yang berdebar tak karuan. “A-aku ....” Seperti kehilangan sebagian ingatan, bahkan Mala hanya menggantung ucapan. “Aku gak memintamu menjawab sekarang. Hanya saja, aku gakbisa menunggu lama.” “Kenapa? Apa kamu mau pergi lagi seperti dulu?” Konyol. Mala menutup mulut, merasakan pertanyaan yang barusaja terucap seperti sebuah pernyataan jika ia takut kehilangan. “Apa kamu keberatan kalau aku-“ “Beneran mau pergi lagi?” Mala memotong ucapan Lian.Pikirannya hanya ada kepanikan saat itu. “Ya ... bisa jadi.” “Tinggal jawab ya mau pergi atau enggak, apa susahnya sih?” Kini, Mala yang malah meradang. “Loh, loh. Kok jadi kamu yang marah? Kan aku yang meminta kejelasan.” “Susah ya, ngomong sama cowok plin-plan.” Mala mengibaskan sebelah tangan, tanda tak perduli. Beranjakcepat meninggalkan Lian yang malah kebingungan dengan sikap Mala yang mendadakmarah. “Mala.” Panggilan Lian tak dihiraukan. Dengan gerakan cepa
Di balik stir kemudi, Lian melajukan mobilnya dengan santai.Terasa ada kelegaan setelah mengatakan isi hatinya kepada Mala. Walaupun tidaktahu secara pasti apakah Mala menerimanya atau tidak. Terpenting baginya,berkata jujuran itu jauh lebih berat dari jawaban yang akan ia terima nanti.Ia sudah mempersiapkan diri, jika jawaban yang akan iaterima bertolak dari harapannya.Hari sudah mulai petang. Suara azan berkumandang mengiringi senjayang berganti malam. Lian mengambil jalan pintas agar segera sampai di rumahsebelum waktu Magrib usai.Tiba-tiba, seorang pengendara motor menyalipdengan brutal, lalu berhenti di jarak yang cukup jauh. Lian terpaksa berhentidengan perlahan, menatap pengendara motor dengan bantuan pencahayaan dari sorotlampu mobilnya.Pengendara itu menuruni motor besarnya sambil membuka helmyang ia kenakan. Barulah Lian mengenali pemilik motor yang sengajamenghadangnya itu.“Mirza, mau apa dia?”Tangannya melepas seatbelt, lalu ke luar setelah mematikanmesin mobilnya. D
Pagi harinya, Lian berangkat sedikit terlambat dari biasanya. Selain karena pekerjaan kantor yang sudah dihandle oleh sekretarisnya, ia juga ingin sedikit bersantai. Tetapi malahan, Anton, atasannya menelepon dan memerintahkan agar Lian datang dengan segera.Sesampainya di kantor, ia langsung di hadang oleh sekretarisnya yang membawakan sejumlah laporan.“Laporan apalagi ini?” tanya Lian yang langsung menyambar sebuah map yang disodorkan Wina, sekretarisnya.“Laporan bulanan-““Bawa ke ruangan. Saya mau ke sebelah dulu,” potongnya sambil menyerahkan kembali map yang belum sempat ia baca.“Baik, Pak.”Lian memutar arah ke sebelah ruangannya, di mana Armala biasa menghabiskan waktu di ruang kerjanya. Ia mengetuk pintu dua kali, tetapi tidak mendapat jawaban. Lalu memutuskan membuka pintu perlahan. Kosong.“Pak Liando cari bu Mala?” Salah seorang karyawan yang sedang melintas bertanya.“Iya. Kamu tau ke mana?”“Sedang di bawah, Pak. Sepertinya ada perlu di bagian admistrasi.”“Oh, ya sud
“Kamu punya kasus apa?” Lian kembali mencerca dengan pertanyaan.“Bukan kasus.”“Lalu?” tanya Lian.“Kamu bikin saya jantungan. Ngomongnya yang jelas,” ucap Anton kesal.Dengan takut-takut, Mala mengangkat wajahnya, lalu menatap Lian. Pria yang duduk di sampingnya malah menatapnya dengan seribu tanya.“Ada apa?” bisik Lian.Mala memperbaiki letak duduknya. Jika bukan karena Lian, ia tidak akan mempermalukan dirinya di hadapan atasannya.“Jadi begini, Pak.” Mala mulai berucap tegas. Ia melanjutkan ucapannya, “Pak Anton saya kami minta untuk menjadi saksi dipernikahan kami.”“Hah! Kalian mau menikah? Kok gak bilang-bilang!”“Iya, ini baru bilang, Pak.”“Terus kapan?”“Lusa, Pak. Hari Rabu.”Anton tertawa. Menanggapi Armala malah seperti lelucon setelahnya. Tetapi berbeda dengan Lian. Ia terdiam, menatap Mala dengan pandangan tak menentu. Ingin memeluk, tetapi belum hahal. Ingin bersorak, takut dibilang berlebihan. Akhirnya, ia hanya mengangguk pasrah.Entah, hatinya terasa sejuk saat it