Share

Cinta Lama

Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Aurora duduk diam di samping Keenan tanpa mengatakan apapun. Pengakuan Keenan tentang perasaannya membuat Aurora resah harus menyikapi seperti apa. Pasalnya, Aurora baru saja mengalami perjalanan panjang yang tidak mudah selama dua tahun ini. Bukan soal hati, sebab Aurora tidak pernah mengeluarkan Keenan dari sana.

Ini adalah tentang kepantasan.  Aurora merasa setelah semua yang dilakukan pada Keenan, ia tidak lagi pantas menjadi pendamping sebagaimana harapan keduanya.

“Aku kira tadinya kamu akan dendam dan benci sama aku, Nan. Tapi ternyata … Kamu masih sama kayak dulu,” ucap Aurora memperbaiki sabuk pengaman yang melintang di tubuhnya. Mobil Keenan melaju tenang membelah lautan kendaraan yang memadati jalan.

“Aku tahu kamu pasti punya alasan logis kenapa dulu mau dijodohkan dengan laki-laki itu, Ra,” jawab Keenan sangat tenang. Senyum masih saja mengembang di wajahnya yang tampan. Membuat Aurora candu meliriknya sesekali dalam diam.

Aurora yakin jika Malika juga bisa berpikir terbuka seperti yang Keenan sampaikan tentu ia tidak perlu mendapat gelar pelakor sekarang. Bahkan mungkin kini satu kantor sudah mendengar rumor tersebut.

“Soal Malika, biarin aja, Ra. Dia nanti juga pasti diam sendiri. Wajar, sih, kalau dia masih sakit hati,” celetuk Keenan tiba-tiba. Seratus meter lagi mereka akan sampai di kantor dan keduanya harus berpisah di parkiran.

Aurora tidak mau satu kantor semakin heboh melihat ia dan Keenan kembali dari luar berbarengan. Cukup tadi saat akan meninggalkan kantor saja mereka tertangkap keluar bersama dengan alasan ada urusan. Setidaknya sampai rumor itu mereda dan hilang.

“Tapi, aku harus jelasin semuanya ke Malika, Nan. Aku nggak mau gosip ini terus berkembang. Bisa-bisa satu kantor mencap pelakor.”

Entah sejak kapan akhirnya obrolan mereka jadi cair dan mengalir. Walau rumit untuk kembali bersama Aurora merasa tidak ada salahnya menjadi teman biasa. Sehingga untuk kali ini dengan kehadiran Keenan kembali di hidupnya, Aurora merasa lega memiliki tempat bercerita.

Siapa sangka hubungan mereka sebagai mantan kekasih ternyata tidak secanggung itu setelah dijalani? Aurora memang merasa tidak pantas menjadi pasangan Keenan, namun pantas sebagai teman.

“Terima kasih, ya, Nan.” Aurora menatap Keenan dalam. Begitu juga dengan Keenan yang menoleh sebentar membalas tatapan Keenan.

Keenan tersenyum lembut. “Nggak perlu minta maaf atas cinta, Ra.”

Seketika pipi Aurora menggembung terisi angin. Ia cemberut. Lagi-lagi Keenan membahas soal cinta. Sedang Aurora berusaha sekuat tenaga menormalkan hubungan mereka sebagai teman biasa.

“Nggak capek apa, Nan, ngomongin cinta mulu?” protes Aurora berusaha tidak salah tingkah.

“Memangnya kenapa? Kamu nggak percaya kalau perasaan aku masih sama?” Keenan menatap lurus ke jalan di depannya.

“Kita itu udah beda, Nan. Kamu masih single, perjaka, sedangkan aku?” Mata Aurora melirik kesal ke arah Keenan.

Aurora tidak menutup mata akan statusnya sekarang. Ia dan Keenan jelas berbeda. Dan, bagi Aurora  mengharapkan hidup bahagia dengan Keenan hanyalah hal yang sia-sia.

“Kamu tahu dari mana kalau aku belum pernah menikah?”

Demi mendengar ucapan Keenan tersebut, Aurora merasa angin panas baru saja menyerang tengkuk dan punggungnya. Seketika basah. Keringat tanpa pancaran terik matahari mengucur membasahi pakaian belakangnya. Aurora diserang api cemburu membakar sampai ke luar tubuhnya.

“Apa aku pantas merasakan ini?” Batin Aurora merasa bersalah akan perasaan aneh yang datang tiba-tiba.

Baru genap dua hari mereka bertemu, dan Aurora langsung menyadari ternyata perasaannya masih ada di sana, di kedalaman hati Aurora untuk Keenan yang selama dua tahun tidak pernah ia lupa.

“Jadi, kamu sekarang …” Aurora tidak melanjutkan pertanyaannya.

Bukannya menjawab, Keenan malah tertawa lepas sampai kedua pundaknya bergerak pelan. Membuat Aurora mengernyit heran melihat respon Keenan yang aneh itu.

“Kenapa ketawa?”

“Kamu lucu, Ra. Mana mungkin aku ngomong cinta berkali-kali kalau aku sudah jadi suami orang,” timpak Keenan menertawakan pertanyaan Aurora.

Kini Aurora bisa menyimpulkan sambil kepalanya mengangguk beberapa kali. Setidaknya Aurora jadi tahu status Keenan yang masih sendiri. Sehingga tidak perlu baginya untuk khawatir jika ke depan akan terjalin kedekatan kembali antara keduanya. Aurora tidak mau makin disebut sebagai pelakor nantinya.

“Kenapa, Nan?” tanya Aurora penasaran.

“Apanya?”

“Kenapa kamu masih sendiri?” Pertanyaan itu terlontar cepat dari bibir Aurora sampai membuat Keenan langsung menoleh ke arahnya.

Untuk pria semapan dan setampan Keenan, tentu bukan hal yang sulit menemukan kekasih baru menggantikan posisi Aurora. Terlebih Keenan merupakan pria baik yang selalu berhasil membuat Aurora bahagia saat bersamanya. Wanita mana yang tidak akan tertarik pada Keenan. Apalagi menolaknya.

“Tanpa aku jawab pun, kamu pasti tahu, Ra, alasannya.” Senyum itu kembali Keenan berikan untuk menutup pernyataannya.

Sambil mengangkat sebelah alisnya bingung, Aurora menatap ke luar jendela. Jalanan masih ramai. Dan, gedung di mana kantor mereka berada mulai terlihat menjulang di depan sana. Aurora pun bergegas merapikan diri, menyimpan ponsel ke dalam saku celana dan mengedarkan pandangan ke sekitar gedung. Mengawasi kehadiran karyawan lain yang mungkin masih berada di luar kantor.

“Aku turun di depan sini aja, Nan,” pinta Aurora saat mobil Keenan baru akan memasuki gerbang masuk kawasan gedung.

“Loh, kenapa, Ra?” tanya Keenan bingung.

“Aku nggak mau karyawan lain sampai lihat aku jalan sama kamu, Nan. Aku nggak mau mereka makin heboh ngomongin aku. Setidaknya sampai aku bisa jelasin ke Malika kesalahpahaman dulu dan dia berhenti sebut aku pelakor.” Aurora membuka pintu mobil dan bergegas turun tanpa membiarkan Keenan membalas ucapannya.

Rambut terikat kuncir kuda itu bergerak pelan mengikuti irama tubuh Aurora yang berlari kecil memasuki gedung. Sementara Keenan hanya bisa menatap punggung yang semakin jauh itu dengan hati kembang-kempis. Setelah dua tahun, Keenan akhirnya bisa menatap Aurora lagi dan sebuah impian lama seakan bangun dalam benaknya kini.

“Ke mana aja? Baru hari pertama udah keluyuran!” Baru saja pintu lift terbuka, Malika sudah menyambut Aurora dengan bentakan dan omelan di lantai dua.

“Tadi ada urusan sebentar, Mal—”

“Mal? Jangan kamu pikir kita pernah kenal, terus kamu seenaknya manggil nama kayak gitu. Mana sopan santunnya?” omel Malika melipat kedua tangan di dada memarahi Aurora.

Aurora hanya tertunduk. Bukan karena dirinya lemah atau tunduk di depan Malika. Melainkan sebab kini pasang demi pasang mata karyawan di lantai dua yang sedang lalu lalang langsung tertuju kepadanya. Membuat Aurora merasa tengah diserang bersamaan dengan anak-anak panah.

“Ma—maaf … I—Ibu Malika,” ucap Aurora pelan dan terbata-bata.

“Jangan ibu juga, dong! Memangnya aku ibu kamu?” Malika seperti senang mempermainkan Aurora sekarang.

“Sampai kapan kamu mau ngerjain Aurora kayak gitu, Mal? Mau jabatan kamu saya copot?” Tiba-tiba suara Keenan menggema di belakang mereka dan membuat bulu kuduk Malika langsung berdiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status