Share

Gagal Move On?

“Lupakan soal ucapanku tadi, Ra.” Keenan memperbaiki posisi tangannya dan menarik tubuh mendekat ke piring untuk segera makan.

Kalimat sebelumnya yang keluar dari lisan Keenan mengalir begitu saja dan langsung membuat raut wajah Aurora berubah drastis. Bukan bahagia seperti yang Keenan bayangkan ketika seorang wanita tahu bahwa ia masih dicintai. Justru Aurora bereaksi sebaliknya. Tidak nyaman atau mungkin merasa tidak pantas.

“Aku sudah cerai, Nan.” Keenan terbatuk. Nasi yang baru masuk ke dalam mulutnya nyaris keluar kalau saja Keenan tidak berhasil mengendalikan diri.

Aurora yang melihat pria di depannya itu kesulitan langsung meraih gelas tinggi di meja dan menyodorkan pada Keenan. Entah Keenan tersedak karena ucapannya atau bukan, yang jelas Aurora merasa khawatir. Jauh dalam hatinya Aurora menyadari apa yang dulu pernah ia rasakan belum pernah sekalipun hilang.

Setelah Keenan meneguk setengah isi gelas, Aurora tidak langsung melanjutkan ceritanya. Ia diam sejenak sambil matanya terus memperhatikan Keenan yang sibuk menepuk dadanya pelan.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Aurora memastikan.

“Aman, Ra. Aku cuma kurang hati-hati aja makannya.” Ada raut berbeda yang Aurora tangkap saat Keenan mengangkat wajahnya.

Aurora dan Keenan sempat menjalin hubungan selama empat tahun sebelum akhirnya Aurora meninggalkannya. Tentu itu bukan keputusan yang mudah bagi Aurora. Ada rasa bersalah dan juga keberatan saat harus mengubur impiannya dengan pria yang ia cintai itu. Hanya Aurora tidak punya pilihan. Ia harus menikah dengan Sakti demi memenuhi keinginan keluarganya.

“Syukurlah,” ucap Aurora lirih hampir tidak terdengar oleh Keenan sambil matanya beralih ke sudut lain restoran.

Suasana dalam restoran semakin siang semakin ramai. Orang-orang datang silih berganti mengisi kursi-kursi mengelilingi meja panjang. Riuh rendah obrolan mendengung di seisi ruangan. Tidak terkecuali dari meja yang Aurora dan Keenan tempati. Keduanya masih terlibat obrolan meski sesekali terjeda oleh kecanggungan.

“Kenapa bisa, Ra?” Keenan menyambung obrolan tadi.

Kali ini Aurora menimbang sejenak jawaban yang akan ia berikan pada Keenan. Pasalnya, masalah rumah tangga Aurora dan Sakti tidak banyak diketahui orang selain keluarga mereka sendiri. Bahkan hanya kedua orang tua Aurora juga Sakti yang paham kenapa pernikahan itu bisa terjadi. Walau akhirnya setelah orang tua mereka tiada, Sakti memilih untuk mengakhirinya pula.

“KDRT?” kejar Keenan tidak sabar menunggu jawaban Aurora. Rasa penasarannya kian memuncak ketika melihat muka Aurora berubah sendu.

Aurora menggeleng cepat. Ia tidak bermaksud berbohong dan menutup-nutupi, namun kenyataannya selama dua tahun menikah—meski tanpa cinta—Sakti memang tidak pernah berlaku kasar kepadanya. Kemarin—di hari Sakti menjatuhkan talak—itulah satu-satunya tindakan kasar yang Aurora terima pertama kali dari Sakti.

“Lalu?”

“Kami tidak pernah saling mencintai, Nan,” ungkap Aurora pelan.

“Oh …” Hanya itu respon yang bisa Keenan beri. Seakan tidak kaget mendengar fakta yang baru saja Aurora sampaikan. Kebenaran yang selama ini sangat ingin Aurora utarakan pada Keenan semenjak perpisahan mereka.

Kening Aurora mengernyit melihat reaksi Keenan yang sangat biasa itu. Berbeda jauh dengan apa yang Aurora bayangkan saat ini.

“Kenapa responnya begitu?”

Keenan langsung gelagapan mendengar pertanyaan Aurora. Tangannya yang sibuk mencubit daging rendang bergerak acak, salah tingkah.

“Nggak. Bukan gitu, Ra, maksudnya, ya … A—aku prihatin. Harusnya kalian bisa hidup bahagia,” timpal Keenan kemudian.

Ada yang aneh dari sikap Keenan saat mengetahui apa yang selama ini Aurora sembunyikan darinya. Dan, Aurora sedikit penasaran. Hatinya bertanya-tanya apakah selama ini Keenan tidak peduli? Lantas, apa maksudnya menyebut Aurora orang yang paling ia cintai sampai sekarang jika begitu? Aurora dibuat bingung dengan sikap datar Keenan sekarang.

“Kamu ke mana aja selama ini, Nan? Kenapa kamu nggak pernah nyari aku? Maksud aku … Apa kamu nggak pernah mau tau alasan sebenarnya perpisahan kita dulu?” Kali ini Aurora yang menanyakan kehidupan Keenan.

Dua tahun berpisah tanpa saling berbagi kabar tentu sudah banyak yang berubah dalam hidup Keenan. Sedang Aurora tidak pernah tahu keberadaan mantannya itu dan kini mereka malah bertemu kembali di kantor yang sama.

“Aku nggak ke mana-mana, kok, Ra. Cuma berusaha melanjutkan hidup. Lagipula, aku senang kamu menemukan seseorang yang tepat dulu.”

“Tepat …” Aurora mengulangi satu potong kalimat Keenan dengan senyum getir.

Sejak awal pernikahannya dengan Sakti, tidak pernah Aurora berpikir sekalipun bahwa lelaki itu adalah orang yang tepat untuknya. Apalagi saat itu Aurora sangat tahu hubungan Sakti dan sahabatnya—Malika. Hanya demi mengikuti keinginan dua keluarga, Aurora terpaksa harus melukai sahabatnya itu sampai akhirnya kini Malika dengan lugas menyebut Aurora pelakor.

Memang, Sakti dan Malika kala itu masih sebatas pacaran yang mana hubungan mereka pun dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan keluarga Sakti. Bukan tanpa sebab. Keluarga Sakti memang tidak menyukai Malika dan enggan menerimanya sebagai menantu. Entah kenapa, Aurora tidak tahu persis alasannya.

“Apa karena tanpa cinta kalian memutuskan berpisah?” Keenan masih menginterogasi pernikahan Aurora yang kandas, penasaran.

“Buat apa bertahan kalau tidak cinta, kan? Aku dan Sakti memang tidak pernah setuju dengan pernikahan kami. Semua karena …” ucapan Aurora tertahan. Ia malu mengungkapkan semuanya terlalu jauh pada Keenan.

Bagaimanapun Keenan tetaplah mantan kekasih Aurora yang pernah ia lukai dulu. Aurora tidak mau Keenan jadi menertawakan nasibnya setelah mengetahui semua. Harusnya ia menceritakan itu semua pada Malika agar sahabatnya itu tidak lagi salah paham. Dan, gelar pelakor yang tersemat di namanya segera hilang.

“Karena apa? Oh iya, terus kenapa Malika nyebut kamu pelakor? Sakti itu …”

Aurora mengangguk melihat tanda tanya di mata Keenan. Tatapan mereka dari tadi beradu berkali-kali, bahkan sempat terkunci satu sama lain sampai Aurora bisa merasakan ada debar di jantungnya.

“Iya. Sakti dan Malika dulu pacaran. Tapi, orang tua Sakti malah jodohin kami berdua.”

Keenan mengangguk beberapa kali. Kali ini Aurora yakin Keenan sudah menemukan titik terang alasan Aurora meninggalkannya dulu. Aurora berharap Keenan bisa memahami kondisinya dan mau memaafkan Aurora kembali.

“Kenapa kamu nggak cerita yang sebenarnya sama Malika? Biar kalian bisa sahabatan lagi. Jujur, aku gerah juga kalau lihat Malika resek sama kamu.”

“Gerah karena kasihan, ya?” Aurora buru-buru menimpali seraya tersenyum getir.

“Bukan.”

Keenan yang sudah selesai dengan sepiring nasi Padang di depannya langsung mencelupkan tangan ke dalam wadah kecil berisi air di atas meja. Makan sambil mengobrol ternyata menyenangkan juga baginya. Keenan tanpa sadar sudah makan dua porsi nasi.

“Terus kenapa?” tanya Aurora penasaran.

“Nggak ada satupun laki-laki yang rela lihat wanita yang dicintainya disakiti dan di-bully kayak gitu, Ra.”

Lagi-lagi Keenan menyebut Aurora wanita yang ia cintai. Tubuh Aurora terasa gerah, keringat mengalir di keningnya. Tanda tanya besar menancap di kepalanya.

Haiuv

Hai, salam kenal Haiuv di sini. Selamat mengikuti kisah Aurora dan pandangan miring yang tersemat kepadanya.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status