"Kepercayaan itu seperti cermin. Jika telah retak, tidak akan pernah utuh lagi seperti semula"
===================Malam ini, di ruang tamu yang dulu hangat, sepasang anak manusia duduk saling berhadapan. Tak satu pun dari keduanya mengeluarkan suara. Bahkan kopi yang tersaji tak lagi mengepulkan uap panas, hanya menjadi saksi bisu dua orang yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Pengkhianatan Arsen telah membekukan kehangatan itu.Arsen beberapa kali melirik wanita di hadapan. Akan tetapi, yang menjadi objek pandangan hanya menunduk sambil meremas jemari yang terjalin di atas pangkuan. Ingin rasanya merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukan, mengusap punggungnya lembut sambil mengucapkan kata-kata penenang."Lintang, aku minta maaf, aku benar-benar menyesal.""Menyesal? Kau menyesal karna ketahuan, Mas, kalau tidak mungkin kau tidak akan pernah menyesalinya.""Itu tidak benar, aku ....."Arsen mengembuskan napas panjang, tak mudah meredakan amarah yang menguasai dada Lintang. Dia juga menyesali telah melontarkan satu kalimat laknat dari mulutnya.. Kalimat yang dia haramkan sejak pertama kali mengikat Lintang dalam hubungan suci pernikahan, sebab akal sehatnya tertutup emosi.Pernikahan yang dibangun dengan susah payah, tertatih, dan penuh derai air mata, kandas dalam satu malam. Lima tahun perjuangan hancur begitu saja tak bersisa, porak-poranda karena hati Arsen berpaling kepada raga yang lain."Maafkan Mas, Lintang ...," lirihnya lagi seraya menatap wanita yang masih dia cintai hingga detik ini. Dia berharap hati Lintang luluh.Bibir Lintang mengulas senyum getir saat manik mata keduanya beradu. Begitu mudah Arsen mengucap kata maaf setelah melukai dengan sangat dalam. Wanita itu tak pernah mengira, pria yang dia cintai melebihi dirinya sendiri, tega menikam dari belakang, bermain hati dengan wanita yang telah dia anggap saudara sendiri. Seorang janda korban kekerasan rumah tangga yang dia selamatkan dari kelaparan, memberi tempat berteduh dari panas dan hujan. Akan tetapi, justru wanita itu menggigit tangannya, mencuri pria yang jelas berstatus suaminya."Kau pikir semudah itu meminta maaf, setelah perbuatanmu padaku? Pada rumah tangga kita?"Masih segar di ingatan Lintang beberapa hari yang lalu. Cemas menggelayuti hati wanita berkulit putih pucat itu, sejak pagi Anita--nama wanita yang merebut suaminya--tidak menjawab telepon darinya. Padahal sebelumnya dia mengeluh demam dan muntah-muntah. Satu tahun mengenal Anita, dia sangat paham jika wanita itu menderita maag akut. Kebiasaan menunda makan dengan alasan bekerja menjadi penyebabnya.Beberapa kali menelpon Arsen, bermaksud agar sang suami mengecek keadaan Anita sebelum pulang bekerja. Akan tetapi ponsel pria itu tidak aktif. Didorong rasa kuatir dan peduli, Lintang mengemudikan sepeda motor maticnya menembus langit yang mulai bergerimis menuju rumah peninggalan almarhum kedua orang tua kandung Lintang. Rasa ibalah yang membuatnya mengijinkan Anita menempati rumah tersebut, selain peduli pada keadaannya, Lintang rasa tak ada salahnya membiarkan wanita berkulit putih itu merawat rumah bersejarah tersebut. Rumah tempat dia dilahirkan, sekaligus saksi atas kelamnya masa kecilnya dulu.Dahi Lintang berkerut ketika melihat mobil Terios putih terparkir di pekarangan rumah minimalis tersebut, "Bukankah itu mobil ...."Lintang menghapus prosangka buruk di benaknya, mungkin saja Arsen mampir karena Anita juga karyawati di percetakan milik mereka.Lintang menekan ke bawah gagang pintu yang tidak terkunci. Dia langsung masuk lalu berbelok ke dapur, Tubuh wanita itu beku, matanya memanas melihat adegan di hadapan. Di sana, Arsen memeluk tubuh ramping Anita dari belakang, sesekali menggoda dengan menggigit cuping telinga sang wanita. Anita pun tak menampik perlakuan sang pria. Wanita itu malah tertawa seakan-akan menikmati godaan pria yang masih berstatus suami Lintang.Tak ada canggung dalam interaksi keduanya. Mereka seperti dua sejoli yang saling mencintai, membuat Lintang sadar jika pengkhianatan itu mungkin telah terjadi cukup lama di belakangnya. Mata wanita itu semakin panas dan kabur, mendorong cairan bening keluar dari sudut matanya. Tak pernah dia mengira sang suami tega mencuranginya dengan orang yang sangat dia percaya. Tak kuat melihat kenyataan di depan mata, Lintang surut beberapa langkah. Sayang sekali pinggangnya menyenggol pinggiran meja, membuat vas bunga yang ada di atasnya jatuh dan menciptakan suara berisik yang tentu saja mengejutkan kedua pasangan yang tengah dimabuk asmara.Mata Arsen segera menangkap sosok Lintang yang terpaku menatap pecahan vas di lantai. Refleks dia melepaskan dekapan pada tubuh Anita. Wajah pria itu pucat pias, begitu pun Anita. Keduanya terlihat serba salah persis seperti pencuri yang ketahuan mencuri."S-ayang ... ini ngga seperti yang kamu lihat," ucap Arsen terbata. Dia maju berusaha merengkuh tubuh sang istri yang masih bergeming menatap vas yang pecah berantakan. Lintang seolah-olah melihat hatinya di sana.Lintang menepis kasar tangan sang suami sambil surut selangkah. "Aku belum buta, Mas. Mataku masih bisa melihat dengan jelas," sahutnya rendah dengan suara bergetar menahan tangis.Arsen menggeleng cepat, dia kembali berusaha meraih tubuh Lintang paksa, meski wanita itu memberontak. Pelukan pria tersebut mengetat seiring kuatnya penolakan sang istri. Akan tetapi, sakit yang menyayat-nyayat di dalam dada membuat kekuatan wanita itu meningkat berkali-kali lipat. Lintang mendorong tubuh Arsen, sehingga pelukan sang pria terlepas. Lalu sebuah tamparan beruntun dia layangkan ke kedua pipi sang pria, sangat keras, bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Tega kamu, Mas! Apa salahku hingga kau berbuat sekejam ini?!" tanyanya dengan intonasi tinggi, air matanya menggenang di pelupuk mata, tetapi sekuat tenaga ditahan agar tidak jatuh di pipi."Aku ... aku bisa jelasin, Sayang," lirih Arsen, sambil memegangi pipinya yang memerah.Terdengar tawa sumbang dari bibir tipis Lintang, tak urung air matanya jatuh juga. "Tak perlu menjelaskan apa pun. Semua sudah benderang bagiku." Pandangan Lintang beralih pada Anita yang hanya diam tak bergerak. Mungkin saja wanita itu sedang tertawa di dalam hati melihat drama di depannya."Dan kau! Tega sekali menusukku dari belakang. Padahal aku menganggapmu sebagai saudaraku sendiri, tetapi justru kebaikanku kau balas dengan pengkhianatan. Apa salahku padamu?!" raung Lintang menatap nyalang.Anita berdiri dengan gelisah. Tatapan Lintang seolah-olah menelanjangi dirinya. Dia meneguk ludahnya beberapa kali, dia tercekat, lidah wanita itu pun ikut kelu tak mampu menjawab pertanyaan Lintang.Tak mendapat jawaban dari Anita, membuat amarah Lintang semakin berkobar, langkahnya cepat menyongsong wanita tersebut. "Katakan! Berapa lama kau tidur dengan suamiku?! Berapa lama kalian berzina?!" Dada Lintang turun naik menahan murka yang mendesak ingin keluar. Laksana gunung Merapi yang sedang erupsi, bersiap memuntahkan magma yang ditahan di perut bumi."Maaf ... aku mencintai Mas Arsen," jawab Anita lirih sembari menatap Lintang yang seolah sedang bermetamorfosis menjadi Dewi Amba, yang siap membakar dunia dengan amarahnya.Alih-alih tenang, jawaban Anita seperti bensin yang mengobarkan api yang sudah tersulut di dalam dada."Apa?! Tidak tahu malu! Dasar wanita murahah!"Lintang menjambak rambut panjang Anita yang tergerai, mengumpat, dan menyumpahi wanita yang berteriak kesakitan."Mas, tolong aku, sakit." Anita memanggil nama Arsen sehingfa sang pria kalut melihat pemandangan di hadapan. Pergumulan itu melibatkan dua wanita yang sama-sama dia cintai. Gegas dia memisahkan dengan menyela di antara keduanya."Udah, Lintang lepasin dia!" Gerakan brutal Lintang, membuat pria itu memilih melindungi Anita yang terlihat tak bisa mengimbangi amukan sang istri. Tanpa sengaja tubuh Lintang terdorong, hingga terjajar ke dinding, sementara Arsen refleks menahan tubuh Anita yang limbung agar tak luruh ke lantai."Kau tidak apa-apa?" Arsen memegang kedua bahu Anita seolah-olah takut terjadi apa-apa pada selingkuhannya.Melihat itu, Lintang hanya terdiam sambil menatap nanar lantai marmer putih yang dipijaknya. Sang suami lebih memilih menyelamatkan selingkuhannya daripada membela dirinya. Air mata wanita itu jatuh begitu saja, tetapi segera dia susut dengan kasar menggunakan telapak tangan, tak ingin terlihat lebih menyedihkan lagi."Sayang ...." Kata-kata Arsen terjeda melihat sorot sang istri yang menajam."Jangan pernah lagi memanggilku seperti itu dari mulut busukmu ...," desis Lintang, sementara tangannya sibuk menghapus air mata yang terus saja jatuh membasahi pipi, "sudah berapa lama kalian bermain di belakangku?""Sayang, aku--""Jawab saja berengsek!" jerit Lintang terdengar parau, seolah-olah menyuarakan luka hatinya.Arsen menganjur napas dalam dan panjang, sementara rasa bersalah jelas tercetak di rautnya. "Delapan bulan yang lalu," lirihnya.Air mata Lintang semakin deras meluncur membasahi pipi. "Delapan bulan yang lalu, artinya .... ""Masa lalu seperti dua mata pisau. Bijaklah menggunakannya. Kadang dia bisa menjadi guru untuk menata masa depan, kadang bisa menjadi momok yang menakutkan dan membuatmu selalu ketakutan"===================Lintang meletakkan putrinya yang baru selesai diberi ASI di dalam box bayi yang diletakkan di dalam kamarnya. Sejenak menatap wajah mungil yang tertidur lelap. Begitu damai, tak ada beban akibat carut-marut permasalahan orang dewasa.'Kita pasti akan baik-baik saja tanpa Ayah, Nak. Mama janji tidak akan pernah membiarkanku terlantar.'Lintang bergumam seakan sang putri mengerti apa yang dia katakan. Pantas saja banyak orang merindukan masa kanak-kanak mereka, berharap tidak pernah tumbuh menjadi besar, lalu menua. Begitu banyak ragam masalah yang harus dihadapi orang-orang yang telah tumbuh dewasa. Mulai dari cinta monyet, pekerjaan, beban hidup, dan pergolakan dalam rumah tangga."Kami berhubungan delapan bulan yang lalu." "Apa? Kau mengkhianatiku saat aku berjuang hidup dan mat
"Kau tahu apa yang paling menyakitkan dalam sebuah hubungan? Menjadi pilihan antara dirimu dan seseorang yang baru dia kenal"================Pagi belum sepenuhnya datang. Sisa pekat masih bergelayut di langit yang mulai membiaskan cahaya merah jambu di ufuk timur. Sepertinya sang surya malu-malu beranjak dari peraduan. Aroma tanah basah begitu kentara menggelitik hidung, sementara butiran air setia menggantung di ujung daun, sisa hujan semalam.Di dalam kamar yang didominasi warna putih, Lintang berbaring di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Lingkar hitam terlihat jelas di bawah mata wanita tersebut, menandakan dia tak pernah tidur cukup waktu. Tentu saja, wanita mana yang bisa tidur dengan tenang, sementara rumah tangganya tidak baik-baik saja. Semua memori lima tahun terakhir berduyun-duyun datang memenuhi benaknya, menyulut sakit di dada. Sejak memutuskan menikah, Lintang tak pernah membayangkan rumah tangganya akan berakhir dengan perceraian. Wanita itu melakuka
"Kadang memilih pergi bukan karena tak ingin berjuang. Akan tetapi, karena merasa sesuatu itu tidak pantas diperjuangkan."=================Aroma masakan menguar dari arah dapur. Sesekali terdengar suara air dan denting sendok beradu dengan wajan. Suara itu terdengar ke telinga Lintang, meski samar. Wanita tersebut mengendus memastikan aroma yang menggelitik hidungnya. Dia meraih weker yang ada di atas meja kecil di samping ranjang. Dahinya berkerut saat jam menunjukkan pukul delapan pagi. Siapa yang memasak di dapurnya sepagi ini? Di rumah, mereka tidak memiliki asisten rumah tangga. Lintang masih mampu menangani pekerjaan rumah sendiri. Hidup yang keras di masa kecil mengajarinya agar tidak bergantung kepada orang lain. Didorong rasa penasaran, Lintang bangkit dari ranjang, lalu mengikat rambut panjangnya asal. Wanita itu melangkah keluar dari kamar setelah mencuci mukanya terlebih dahulu. Saat melintas di depan kamar tamu--tempat Arsen tidur setelah pria itu menjatuhkan talak--di
"Kau tahu apa yang lebih tajam dari pedang dan berbisa dari ular? LidahDia bisa menghancurkan hati dan meluluhlantakkan rasa yang terpatri."===============Mobil yang ditumpangi Lintang berbelok ke sebuah gang kecil dengan jalan berbatu. Daerah tersebut cukup ramai penduduk meski berada di daerah pinggir kota. Di sebuah bangunan bercat putih, sang supir menghentikan mobilnya."Buk, sudah sampai."Lamunan Lintang buyar saat teguran sang sopir menyapa membran telinganya, halus. Perjalanan dua jam terasa sangat singkat, mungkin karena pikiran wanita itu tidak berada di tempatnya. Dia sibuk melanglang buana, menyibak awan yang menutupi kenangan indah kala pernikahannya masih baik-baik saja.Lintang keluar dari mobil setelah membayar tarif yang disebutkan sang sopir. Wanita itu menatap ragu ke arah rumah bercat putih tulang yang berada tepat di hadapan. Ada bimbang yang menggelayuti hati. Dia resah memikirkan reaksi Buk Rima ketika mendengar kegagalan rumah tangganya. Di mata wanita yang
Hamparan bunga melati dan sedap malam menyambut penglihatan Lintang kala wanita itu membuka kaca jendela kamarnya. Semerbak wangi menyerbu hidungnya, begitu menenangkan. Matahari masih enggan keluar dari peraduan. Hujan deras semalam masih menyisakan udara dingin, yang perlahan menyusup dari celah teralis jendela yang gordennya tersingkap, menyapa lembut kulit Lintang, hingga dia harus menggosok kedua lengannya untuk memberi rasa hangat.Berbalik menatap Gayatri yang masih tidur pulas di atas ranjang. Bayi itu sama sekali tidak terganggu dengan kokok ayam yang terdengar bersahutan. Lintang tersenyum tipis, berjalan mendekat, lalu menyelimuti tubuh mungil dan rapuh itu hingga batas dada. Gayatri sedikit menggeliat merenggangkan tangannya, hanya sebentar setelah itu kembali tertidur.Setelah memastikan putrinya kembali lelap. Lintang berjingkat menjauhi ranjang dan keluar. Berjalan menuju dapur, mendapati Mbak Murni telah berada di sana. Wanita itu terlihat sibuk mengaduk sesuatu di ata
"Meski selalu terlihat baik-baik saja, aku tetaplah aku yang membutuhkan pegangan kala badai menggulung dalam ketidakberdayaan."==============Lintang menekan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tangis wanita itu pecah kala menceritakan pengkhianatan sang suami di hadapan Handoko--Papa Arsen--Dia membuka kembali lembar demi lembar album pernikahan yang ternoda titik hitam, seperti mengiris perlahan hatinya yang sudah tidak utuh lagi. Wanita itu tidak baik-baik saja, meski beberapa hari ini dia mencoba tegar, mensugesti diri jika dia sanggup menelan pil pahit yang disodorkan Arsen.Nyatanya, dia tetaplah seorang wanita. Di balik pembawaannya yang tegas dan mandiri, Lintang amat sangat rapuh, jiwanya haus kasih sayang yang hilang sejak masa kanak-kanak. Bahtera yang dia harapkan terus mengarungi lautan, harus kandas terhempas puting beliung. Handoko yang mendengar cerita menantunya tersebut hanya diam seraya menatap tajam ke arah Arsen, yang berdiri mematung di hadapan sang papa. Be
"Luka mampu membuat seseorang terjatuh, lalu merasa tak punya masa depan. Namun, luka juga bisa menempa hati menjadi sekuat baja."=================Lintang menggedor pagar tinggi yang berdiri kokoh di depan rumah Handoko. Wanita itu terus berteriak hingga suaranya berubah serak. Setelah mendengar penolakan Lintang, Handoko memerintahkan satpam membawa wanita itu keluar dari rumahnya, pun Arsen. Pria paruh baya itu tidak mengijinkan Lintang membawa Gayatri, sebelum wanita itu merubah niatnya untuk bercerai. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula, begitulah hidupnya sekarang. Lintang terus berteriak, meski Murni berusaha menenangkannya. Wanita itu ikut menangis melihat kondisi Lintang yang berantakan. Dia hanya bisa memeluk tubuh wanita tersebut yang luruh ke tanah. Keduanya berpelukan sambil menangis sesugukkan, terdengar memilukan bagi siapa yang mendengar."Sudahlah, Mbak. Sebaiknya kita pulang. Gayatri aman di sini. Mbak juga harus pikirkan kesehatanmu?" bujuk Murni sambil menge
"Sabarlah hati. Jika kamu dilukai, artinya kamu masih perlu diuji agar tetap kuat menerima segala berkah di masa depan."===========Matahari bersinar sangat garang, seolah-olah ingin menyengat apa saja yang dia sentuh dengan cahayanya. Tak banyak orang berlalu-lalang di tengah teriknya yang terasa membakar kulit. Pun Lintang, wanita itu bahkan mengernyitkan dahinya saat silau menerpa kaca pelindung helmnya. Harusnya tadi pagi dia telah berada di rumah orang tuanya dan mengeluarkan Anita dari sana. Akan tetapi, perdebatan dengan Buk Rima memakan waktu yang cukup lama. Wanita itu menyayangkan kekeraskepalaan Lintang, dia menganggap Ibu Gayatri tersebut terlalu arogan dengan keputusannya, terlalu terburu-buru, sehingga memutuskan sesuatu tanpa berpikir jernih dan dalam.Namun, Lintang menolak mentah-mentah tuduhan tersebut. Baginya, kesalahan apa pun akan termaafkan, tetapi tidak sebuah perselingkuhan. Apalagi dengan jelas keduanya telah berzina. Adanya janin di rahim Anita membuktikan