"Andai aku bisa kembali ke masa lalu, maka satu-satunya yang akan kuubah adalah pertemuan denganmu."----------------------------"Pokoknya saya enggak mau tahu, dua hari lagi uang itu harus ada. Kalau enggak kalian angkat kaki dari sini!" Seorang wanita bertubuh tambun berkacak pinggang dengan mata memelotot ke arah Anita.Anita mencoba meraih tangan si wanita. "Saya mohon, Buk. Kasih kami tempo satu bulan lagi. Suami saya lagi cari kerja." "Hallah!" Tangan Anita ditepis kasar oleh wanita tersebut. "Sampai ayam jantan bertelur, suamimu itu enggak bakal dapat kerja. Tiap hari kerjanya nongkrong di warung kopi.""Saya jamin, Buk. Sekarang kami benar-benar enggak punya uang. Sebentar lagi saya juga mau melahirkan. Saya mohon, Buk, kasihanilah kami." Anita terus memohon. Alih-alih peduli, wanita bertubuh tambun dengan riasan menor malah tertawa mengejek. "Kamu pikir saya panti sosial?! Kamu pikir saya bisa kenyang sama janji-janji kamu? Mikir!" Wanita itu menunjuk kepalanya sendiri. "P
Tubuh Anita berkeringat menahan sakit. Sejak sore perutnya terasa melilit. Seperti ada yang hendak keluar dari dalam. Dia menghitung masih dua bulan lagi waktu kelahiran bayinya. Namun, dari yang dia baca di buku Kesehatan Ibu dan Anak, calon bayi bisa saja lahir lebih cepat. Tergantung kesehatan sang ibu dan janin. Banyak kasus kelahiran terjadi di kandungan tujuh bulan. Anita memiringkan tubuhnya, berharap rasa sakit berkurang. Akan tetapi, kontraksi justru semakin sering. Tidak ingin terjadi sesuatu kepada calon bayinya, Anita bangkit perlahan. Tangannya menekan dinding di sampingnya agar bisa berdiri tegak. Anita itu menghela nafas dalam dan panjang. Dia meringis, lalu merunduk sambil memegang lututnya, karena rasa sakit semakin menjadi. Seolah-olah ada yang mendorong isi perutnya dari atas. Dia memaksakan diri melangkah pelan-pelan sambil terus menahan tangannya ke dinding. Dia tidak punya pilihan selain memeriksakan diri ke bidan, meski tidak memiliki sepeser uang pun di dompe
"Cinta selalu terlihat indah di awal, tetapi mengantarkanku ke jurang penderitaan terdalam."-------"Anita! Buka pintu!" Suara Arsen terdengar lantang memecah malam yang semakin menua. Tangan lelaki itu juga tidak berhenti mengetuk-ngetuk pintu. Rasanya-rasanya papan kayu itu hendak lepas dari engsel.Anita yang baru tertidur terbangun. Dia menghela napas pelan. Pengar di kepalanya belum hilang karena terlalu banyak menangis. Dadanya sebak karena luka yang ditorehkan Arsen tiada henti. Pria itu seolah-olah tidak memiliki hati sedikit pun sehingga tega menyakiti hati juga fisiknya. Wanita yang perutnya semakin membuncit bangkit perlahan-lahan. Bobot tubuh yang semakin berkurang membuatnya lemah. Seharusnya di usia kandungan memasuki tiga semester terakhir, bobot tubuhnya bertambah lima atau sepuluh kilo. Anita mencemaskan perkembangan calon bayinya, tetapi dia tidak punya uang untuk melakukan USG. Susah payah dia menyembunyikan kotak perhiasan yang berisi kalung, gelang, dan cincin
Anita terus memperhatikan arah mobil yang ditumpangi Lintang. Dia bertanya-tanya, kenapa wanita itu terlihat semakin cantik? Apa perceraian tidak membuatnya bersedih? Mengingat dia masih melihat sorot terluka di mata Lintang saat bertemu di pengadilan agama. Mengapa cepat sekali wanita itu berubah?Lagi-lagi Anita dibuat takjub saat mobil mewah itu berbelok masuk ke dalam komplek perumahan mewah. Dia bahkan tidak bisa bisa masuk begitu saja. Saat melewati pos sekuriti, ojek yang ditumpangi Anita diminta berhenti. Salah seorang petugas keamanan mempertanyakan kepentingan Anita masuk ke dalam komplek. Anita tidak hilang akal, dia menyebut nama Lintang. Tentu saja sang sekuriti mempersilakan dia masuk. Sempat kehilangan jejak, Anita memergoki Lintang keluar dari mobil, sambil menenteng barang belanjaan.. Anita dibuat ternganga melihat kediaman si wanita. Bangunan berlantai dua dengan arsitektur modern, dengan kaca-kaca besar dominan di bagian atas. Empat pilar besar seperti para raksasa
Langkah Anita gontai menyusuri tepian pantai. Dia menjinjing sandal merasakan pasir menggerumit di sela-sela kaki saat ombak datang dan surut. Bau anyir laut tercium hingga ke tulang hidung. Rasa lengket di pipi dan bibir karena angin laut yang membawa molekul-molekul air membuat asin terasa hingga lidah. Tatapan wanita itu menerawang jatuh ke ujung horizon. Suar dari kapal para nelayan mulai tampak satu per satu seperti kunang-kunang yang berkeliaran di malam hari. Anita ingin menangis. Sesak di dalam dada mendesak mencari jalan keluar. Namun, air sudah tidak sudi lagi membasahi wajah tirusnya. Dia terlalu lelah. Hidup bersama Arsen membuatnya mahir melinangkan air mata. Dia terluka, tetapi torehan itu tersebab ulahnya sendiri. Dia semakin menyesali diri setelah pertemuan dengan Lintang tadi. Meski tidak mencaci-maki, walaupun tiada sumpah serapah, ketenangan wanita yang telah dia lukai justru mendorong rasa bersalah semakin tersuruk ke dada Anita.Anita patah arang. Alih-alih Linta
Arsen membenamkan wajahnya ke bantal karena cahaya matahari yang masuk melalui ventilasi jendela yang tertutup kain putih. Dia baru mengubah posisi tidur setelah merasa pengap. Mata lelaki itu melihat sisi sebelah kiri di mana Anita tidur, kosong. Kain yang dijadikan alas tidur pun sudah rapi. Perlahan dia bangkit, menyibak kain yang menutupi jendela. Terlihat jalanan sudah ramai oleh orang yang berlalu-lalang. Arsen berjalan keluar. Paviliun tempat mereka menumpang merupakan bangunan dengan luas 600 meter persegi. Terdiri dari ruang tamu, satu kamar, dapur, dan kamar mandi. Beberapa perabotan yang ada seperti; satu set kursi jati dan meja, satu set meja makan, dan lemari sengaja ditinggalkan penyewa lama karena pindah keluar kota.Arsen melihat kantong plastik di atas meja di ruang tamu. Dia memeriksa dan mendapati satu bungkus nasi uduk serta teh hangat. Dia yakin Anita yang menyediakan sarapan untuknya. Sesaat dia tertegun. Wanita itu masih memperhatikan kebutuhannya sebelum beran
Arsen melihat lagi kartu nama di tangannya. Dia bersemangat menemui Kinanti yang berada di alamat yang tertulis di kartu nama tersebut. Dia berharap wanita itu benar-benar bisa memberikan pekerjaan untuknya.Pagi-pagi sekali Arsen sudah bangun. Dia memilih pakaian terbaik, mencukur kumis, dan meminyaki rambut yang sudah dipangkas rapi semalam. Jika ingin jujur, Arsen juga sudah bosan hidup luntang-lantung dan gentayangan setiap malam. Semua itu hanya untuk mengikis bayang-bayang Lintang dari tempurung kepalanya. Dia belum mampu melupakan wanita itu. Tidak mau sebenarnya. Masa-masa bahagia mereka dulu masih terus menghantui benak si lelaki."Sudah ada janji?" tanya salah seorang sekuriti saat arsen bertanya perihal Kinanti.Arsen mengangguk. "Sudah, kemarin Mbak Kinanti sendiri yang memberi kartu nama ini ke saya. Beliau mengatakan untuk menemuinya di sini," jawabnya.Sang sekuriti mengambil kartu nama tersebut dan memperhatikan. Dia mengangguk dan mengembalikan kartu tersebut kepada a
"Dia siapa, Mas?" Anita langsung mencerca Arsen dengan pertanyaan. Dia bahkan tidak membiarkan lelaki itu berganti baju terlebih dahulu. "Apaan, sih, kamu?" Arsen menepis tangan Anita yang memegang lenganya. Lelaki itu terus berjalan menuju kamar.Anita menyusul langkah Arsen. Rasa cemburu membakar dadanya. Seperti api yang menyala-nyala merambat ke sekujur tubuh, panas, seakan-akan hendak menembus ubun-ubunnya."Mas, jelaskan siapa dia? Kenapa kalian tidak terlihat dekat sekali?" cecar Anita lagi."Apaan, sih! Lepasin!" Arsen menepis tangan Anita yang memegang kemejanya. lelaki itu menyorot marah kepada wanita yang tengah berbadan dua tersebut. "Dengar, ya, kamu enggak punya hak melarang apa pun yang aku lakukan. Kamu harusnya tahu diri. Jadi jangan coba-coba membatasi aku karena kamu bukan siapa-siapa," maki Arsen runcing jarinya menunjuk ke arah Anita.Seperti disayat-sayat sekerat daging berperasa yang berlindung di balik tulang dada Anita. Perihnya membuat air membasahi wajah wa