Menyiapkan sarapan adalah rutinitas yang selalu Ambar lakukan setiap pagi. Jika biasanya dia dibantu oleh sang putri, sekarang dia hanya melakukannya seorang diri. Chiara, putri bungsunya sedang patah hati. Semalaman penuh gadis manis itu menangis memeluknya, namun sedikit pun tidak mengeluarkan kata. Namun, Harumi tahu jika perasaan anak gadisnya tengah hancur berkeping-keping. Ya, setelah Evan pulang semalam, Ambar berhasil membujuk putrinya untuk membukakan pintu. Dia menemani putrinya, mencoba untuk mengerti apa yang Chiara tengah rasakan saat itu.Sebagai seorang ibu, tentu Ambar mencoba untuk menenangkan semampunya. Bahunya harus selalu siap sedia untuk menjadi sandaran sang putri yang sedang beranjak dewasa. Dia paham betul jika Chiara masih belum siap untuk menceritakan permasalahannya, dan dia tidak akan memaksa putrinya untuk bercerita. "Pagi." Ambar sedikit terkejut saat suara lirih nan lembut yang sangat dia hafal menyentuh pendengarannya. Ketika dia menoleh ke asal suar
Bunyi bel lagi-lagi membuat Ambar menghentikan kegiatannya. Dia yang pada awalnya sedang mencuci peralatan makan segera mencuci tangan, lalu bergegas menuju pintu depan untuk melihat siapa yang datang.Dan ternyata sosok pria berdarah Jerman sudah berdiri di muka pintu saat wanita baya itu membukanya."Nak Nardo?""Selamat pagi, Ma. Chia-nya ada?" tanya pria bertubuh jangkung itu."Wah, Chia baru saja berangkat ke kampus bersama Evan.""Oh, begitu." Raut wajah pria itu berubah kecewa, namun tidak melunturkan gurat kekhawatirannya. "Tapi ... dia baik-baik saja, kan?"Seakan paham, Ambar merekahkan senyuman mencoba menenangkan. "Dia baik-baik saja, jangan terlalu khawatir begitu. Chia memang sengaja menonaktifkan ponselnya sejak semalam, tapi dia benar-benar tidak apa-apa," hiburnya."Syukurlah." Desah napas lega mengakhiri ucapan si pria."Mau masuk dulu?" Ambar memberikan tawaran. Dan anggukan Nardo adalah sebagai jawaban."Iya. Sekalian saya ingin melepas rindu dengan Naomi."Ambar s
'Jadi, selama ini ... selama ini kamu cuma menganggap aku seolah Kak Nao?'Nardo kembali meraup wajahnya dengan kasar ketika ucapan Chiara lagi-lagi berputar di kepalanya. Mengingat wajah pilu kekasihnya membuat pria itu memaki dirinya sendiri, sebab dia sadar bahwa dirinya lah orang yang telah menorehkan luka. Tentu Nardo tidak pernah bermaksud seperti apa yang kekasihnya tuduhkan, meskipun sebenarnya dia pun terkejut kenapa bisa salah menyebut nama. Mungkin saja karena malam itu dia sempat menonton pertunjukan tarian ballet sehingga kilasan memori tentang Naomi kembali menyeruak ke permukaan. Atau mungkin ... jauh di dalam lubuk hati pria itu masih menyimpan rasa cinta pada sang mendiang?Nardo meremas rambutnya, lalu menutup notebook dengan keras. Napasnya memburu. Nyatanya dia tidak mampu sedikit pun fokus pada pekerjaan. Dia masih merasa syok dengan fakta yang Chiara ungkapkan, bahkan hingga detik ini. Selama ini dia sudah begitu ikhlas melepaskan kepergian Naomi, meskipun itu
Jarum jam berbentuk hello kitty di atas meja belajar Chiara berdetak konstan, menimbulkan suara yang terdengar mendominasi ruangan kamar sunyi. Meskipun buku modul itu terlihat terbuka lebar, namun gadis itu sekali pun tidak menghiraukannya. Kedua tangannya justru sibuk dengan ponsel, menggeser foto-foto mesra dirinya dan Nardo yang berada di folder galeri. Chiara merindukan Nardo, jelas terlihat di kedua matanya."Sedang apa, Kak? Chia kangen," ucapnya dengan suara parau sambil membelai wajah tampan kekasihnya di dalam foto. Air mata yang kembali mengalir, dia seka dengan cepat."Kalau kangen, ya ditemuin, Sayang."Ucapan yang tiba-tiba terdengar membuat Chiara tersentak, lalu menoleh ke arah pintu kamarnya yang kini terbuka. Ah, sang ibu masuk tanpa mengetuk pintu rupanya."M-mama? Kenapa masuk ke kamar tidak bilang-bilang? Mama membuat Chia terkejut saja."Ambar terkekeh mendengar gerutuan putrinya. Tanpa menanggapi lagi ucapan Chiara, beliau melangkah menghampirinya. "Sedang apa?"
"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, silakan melakukan panggilan beberapa saat lagi.""Shit!" Umpatan itu lolos seiring dengan cengkeraman tangannya yang menguat pada ponsel pintar di genggaman. Nardo berdecak kesal. Lagi-lagi hanya suara operator yang menjawab panggilan teleponnya ke nomor Chiara, entah sudah kali ke berapa. Waktu istirahatnya dia habiskan hanya untuk semakin merasa gundah. Rasa bersalah itu selalu saja menghantuinya. Sudah puluhan pesan yang dia kirimkan ke Chiara, namun satu pun tidak mendapatkan balasan. Hanya terlihat centang dua, tanda pesannya hanya dibaca.'Sedalam itukah aku menyakitimu, Chia?' sorot mata biru itu kian menyendu ketika meratap dalam angan. Rasa sedih itu tidak mampu dia sembunyikan. "Kusut sekali mukanya. Kenapa lagi sekarang? Masalahmu belum selesai juga?" Rendy datang menghampiri dengan menjinjing sebuah kantung plastik di tangan kiri.Nardo tersentak saat pertanyaan tiba-tiba dari si asisten sutradara memasuki telinga. Dia mendong
Ketika kelas telah usai, Nardo sudah bersiaga di sisi gerbang Universitas Nusa Bangsa, menunggu Chiara dengan bersandar pada kap mobilnya. Ya, pria itu memutuskan untuk menemui kekasihnya secara langsung, dia tidak tahan jika harus berlama-lama membiarkan masalah semakin berlarut-larut di dalam hubungan asmara keduanya.Dan tak lama sosok yang ditunggu itu sudah menampakkan diri. Chiara berjalan pelan dengan wajah muram, di sisi kanan ada Selena yang menggandeng tangannya, dan di belakang punggungnya ada sosok Evan. Sepasang kekasih itu terlihat seperti bodyguard yang siap siaga menjaga sang gadis jelita.Ketika tatapan mereka bertiga menangkap presensi dirinya, tak perlu berpikir panjang, Nardo segera melangkah menghampiri, meraih lengan kiri kekasihnya sebelum gadis itu berhasil menghindar."Chia, tunggu!" cegahnya. Nardo bisa melihat jika kedua bola mata gadis manis itu bergerak gusar saat menatapnya. "Lepaskan aku, Kak!" lirih Chiara. Getar lemah suara kekasihnya semakin mencabik
Jarum jam yang berdetak konstan menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Jarum pendeknya berada di tengah-tengah antara angka 11 dan 12, waktu hampir menunjukkan tengah malam. Meski sudah menuju dini hari, namun pria itu masih belum mampu terlelap. Mata biru itu menatap menerawang pada langit-langit kamarnya, dengan posisi terbaring di atas ranjang, dengan kedua lengan sebagai bantalan. Ya, hanya berbaring saja. Sebab pikiran Nardo sedang melanglang buana ke mana-mana, tentu yang paling mendominasi adalah pada kejadian siang tadi.'Setidaknya ANAK KECIL ini berusaha melindungi gadis yang dia sayangi. Bukan seperti pria dewasa yang satu ini, bisanya hanya membuat kekasihnya menangis!'Ucapan penuh emosi Evan kembali menggema di kepala, membuat sanubari si pria terasa nyeri."Sejahat itukah aku?" dia bertanya pada sunyi. Selanjutnya Nardo tampak memejamkan mata pedih.'Kalau Kakak tidak bisa membuat Chia bahagia, setidaknya jangan menyakiti dia.'Lagi-lagi kalimat yang Evan ucap tadi
"Mau bilang apa?" Chiara melipat tangan di depan dada, tanpa sedikit pun melihat padanya.Ya, pada akhirnya Nardo benar-benar berhasil menemui sang kekasih, hanya berdua, bersandar pada kap mobilnya di depan gerbang rumah si gadis jelita."Aku minta maaf," ungkap pria itu seraya menundukkan kepala."Untuk?""Karena aku salah menyebut nama perempuan lain saat melamar kamu. Tapi, aku tidak ada maksud apa-apa, Sayang. Aku berani bersumpah!" Nardo kembali mengangkat kepala, menatap sisi wajah Chiara yang berdiri di sisinya."Kamu pikir aku akan percaya?" Chiara balas menatapnya, lengkap dengan tawa sinis. Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban karena memang Nardo sudah tahu jawabannya. Dia memang bersalah, dan dia mengakuinya. Dan Chiara tidak akan mudah percaya."Oke. Aku akan jujur padamu." Ucapan Nardo sukses memancing perhatian Chiara. Gadis itu menatap lekat pada mata biru kekasihnya, menanti kalimat selanjutnya. "Aku teringat Naomi, cuma sekilas. Momen yang kita lalui malam itu