Val segera keluar dari lobi gedung. Ia berjalan cepat dan berusaha mengalihkan pikiran dari percakapan tentang kencan Saga.
“Val?” Sebuah suara muncul dari mobil yang berhenti di depan lobi, tempat Val berdiri. Sosok Arion muncul dari jendela yang terbuka.
“Rion? Bukannya kamu nggak balik kantor lagi habis makan siang?” tanya Val heran.
“Iya, tapi ada titipan di lobi, jadi aku mengambilnya.” Arion menunjuk bungkusan di jok samping. “Kamu nggak sama Saga?”
“Oh, aku ada urusan lain. Saga juga bilangnya mau pergi,” jawab Val jujur.
Tiba-tiba Arion turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Val. “Masuklah, kuantar.”
Val tergugu mendapat perlakuan seperti ini lagi dari Arion. Sejenak ia ragu. Benaknya memikirkan seorang yang lain, tapi hatinya berkata, bahwa untuk saat ini dia bukan milik siapa-siapa selain dirinya sendiri. Dia masih bebas.
Arion melihat keraguan itu,
Otak Saga berputar cepat memikirkan segala kemungkinan yang membuat hal ini terjadi. Ingatannya sampai pada saat ia mengantar sang ibu bertemu teman lamanya.Tak butuh waktu lama bagi Saga untuk mengerti. Rupanya wanita yang ia temui waktu itu adalah orang tua Val. Ia juga menduga, sang ibulah yang merencanakan dan mengatur semua ini.“Mamamu, dan … mamiku … saling mengenal?” Hanya itu yang sanggup Saga ucapkan sambil mengembalikan ponsel Val.Val menerimanya dengan gugup dan menjawab, “Se-sepertinya begitu.”Hening kembali menyela. Bingung tidak tahu harus bersikap bagaimana. Perasaan senang dan terkejut, bercampur jadi satu. Tidak ada yang menyangka semuanya akan terjadi seperti ini.“Jangan-jangan telepon di tangga itu ….” Kalimat yang meluncur bersamaan dari bibir mereka, menjelaskan semuanya. Hari itu mereka telah mendapat permintaan yang sama dari ibu masing-masing.“Jadi &
“Kenapa? Kak Val kaget, ya?” Kaira mengedipkan mata.Val bergantian memandang Kaira dan Saga. “Ja-jadi … kalian ….”“Iyaaa!” Kaira mengangguk senang. “Jadi, Kak Val nggak perlu cemburu sama aku, ya! Kelakuan kita memang begini!”Val mendelik menuntut jawaban dari Saga yang berusaha melepaskan diri dari Kaira.“Kau nggak pernah bertanya dengan benar,” jawabnya kikuk, kemudian tertawa geli bersama sang adik.Val merasa sangat malu sekali mengingat selama ini ia telah salah paham. Ingin sekali ia menyembunyikan diri di kolong tempat tidur, karena tidak berpikir lebih jauh dan larut dalam pikiran gilanya sendiri.Mendadak Val tersadar. Jadi … ciuman yang waktu itu … nggak apa-apa, ‘kan? Dadanya kembali berdesir.“Ayo, duduk! Kak Val yang punya rumah, kok malah bengong saja!” ujar Kaira membuyarkan lamunan Val.“K
“Sudah kubilang aku nggak cemburu!” Val menutup pintu mobil dengan keras saat mereka sudah sampai di tempat parkir apartemen.“Tapi, wajahmu merah!” Saga mengejar gadis itu sambil tertawa.Val berjalan cepat-cepat menuju lobi apartemennya. Ia sangat kesal sekali karena Saga membahas hal itu lagi sepanjang perjalanan dari rumah orang tuanya.Saga berhasil menyamai langkah Val dengan mudah. Gadis itu tidak peduli dan segera masuk ke dalam lift. Ketika Saga ingin masuk, Val menahannya.“Sana pulang! Kamu membuatku marah saja!” usirnya. Ia menekan tombol lantai tujuannya dan membiarkan pintu perlahan menutup.Herannya, Saga tidak memaksa masuk. Ia hanya tersenyum mengamati Val hingga tidak terlihat lagi, kemudian kembali ke apartemennya dengan senang.Val menatap pantulan dirinya di dinding lift. Desah pelan lolos dari bibirnya. Kejadian beberapa hari terakhir ini, berputar-putar dalam benaknya. Semuanya terja
Saga memang sudah merencanakan akan membuat nasi goreng. Ia sengaja menggoda gadis itu lagi, yang justru menjadi senjata makan tuan dengan permintaannya yang tidak masuk akal.“Kau duduk manis saja di situ. Biar aku yang menyiapkannya. Waktu aku sakit, kau sudah membuatkan makanan untukku. Ini sebagai balasannya.” Sambil berkata begitu, Saga mulai mengeluarkan nasi putih yang sudah ia siapkan sebelumnya, telur, daging ayam, dan beberapa bumbu tambahan.“Oh! Aku nggak perlu membantu sama sekali, ‘kan?” Val duduk bertopang dagu di meja.“Iya. Kau diam saja. Oh, wajan di mana? Talenan? Pisau?” Saga sibuk mencari di laci dan lemari dapur Val.Val tertawa lalu mengambil peralatan yang dibutuhkan. Pada akhirnya, dia juga turut membantu Saga mencuci dan memotong bahan-bahan. Meski Saga menolak, tapi ia tetap bersikeras melakukannya.“Aku kasihan sama dapurku.” Begitu jawaban Val.Pagi itu, di da
Saga mengusap puncak kepala Val sebelum berkata, “Kau siap-siap, ya? Tiga puluh menit lagi aku tunggu di lobi.” “Hah? A-apa ma─” Kecupan singkat di kening, menambah kebingungan Val. Bahkan setelah Saga keluar dari apartemennya, gadis itu masih membeku di tempat. “Val, sadar, Val!” Gadis itu menepuk-nepuk kedua pipinya lalu bersiap-siap seperti yang Saga minta. Tak lama, keduanya sudah berada dalam perjalanan ke bagian Timur kota. “Mau ke mana kita?” tanya Val. “Kau lihat saja nanti.” Melihat Saga tidak menjawab pertanyaannya, gadis itu cemberut. “Kamu mau menculikku lagi seperti dulu?” “Kau yang sukarela ikut.” “Huh!” Saga tertawa. “Membuat bahan untuk kelanjutan ceritamu,” terangnya. Wajah Val memerah. “Kenapa kamu bisa tahu?” Laki-laki itu tertawa kecil. “Tentu saja karena aku ada di dalamnya. Kalau kutanya langsung padamu, kau nggak akan menjawabnya.” “Memang ….” Val tidak bisa
“Oh … Rara pernah menceritakannya sedikit.” Val mengangguk. “Teman kuliahku. Awalnya hanya murni berteman. Dia juga membantuku dan Arion saat merintis perusahaan. Hanya dua tahun bertahan, tiba-tiba dia menghilang setelah pertengkaran kami.” “Pasti kamu yang salah.” “Enak saja!” “Kamu tahu ‘kan istilah ‘women is always right’?” “Oke, oke, demi gadis kesayanganku supaya nggak ngambek lagi, aku menyerah deh. Capek juga berdebat denganmu.” “Kenapa kamu menceritakannya padaku?” Pertanyaan Val membuat keduanya saling bertatapan. “Aku nggak ingin menyembunyikan apa pun darimu. Aku ingin kau mendengarnya langsung dariku.” “Kukira kamu sudah berkencan dengan banyak wanita. Ternyata baru satu.” Val mengalihkan wajah. “Kau balas dendam rupanya.” Keduanya lalu tergelak bersama. Kemudian, gelap mulai turun dan lampu-lampu dinyalakan. Kios-kios makanan pun satu per satu membuka dagangannya ya
Lama waktu berlalu dan Val belum kembali dari mengambil minum, membuat Saga heran lalu menoleh. Betapa terkejutnya ia melihat Val terduduk di lantai dengan kepala terkulai dan gelas kosong di dekatnya. “Val!” Bergegas Saga berlari dan mengguncang tubuh Val. “Val! Kau kenapa?” Pandangan Saga tertuju pada gelas di lantai dan botol di dekat lemari dapur yang terbuka. “Astaga! Dia minum ini? Berapa banyak yang dia minum?” Saga panik. “Val! Bangun, Val!” Ia berusaha menyadarkan gadis yang masih bergeming itu. Setelah beberapa kali usaha, perlahan kepala Val terangkat. Sorot matanya tidak jelas, dan ia tersenyum miring. Seruannya pun terdengar aneh. “Saagaaa …! Sagaaa … kok kamu ada banyak siiih …? Ada satu, dua, lima … dan, semuanya milikkuuu …!” Cara bicara Val yang sudah tidak jelas alias meracau itu menunjukkan dirinya sedang mabuk berat. “Gawat! Kau mabuk, Val! Kau minum berapa banyak?” Saga berusaha membawa Val berdiri, tapi tubuhnya m
Ucapan Arion membuat mata Saga berkilat marah. “Kau …!” desisnya. Arion terkekeh sambil melepas cengkeraman Saga di bajunya. Sahabatnya ini memang berbeda dari yang lain. Di saat semua pria di lingkungannya berganti-ganti pasangan atau sudah melakukannya, hanya Saga yang tidak pernah menyentuh wanita di luar batas sekalipun itu kekasihnya sendiri. “Aku tahu kamu bukan orang seperti itu. Aku menghargainya. Dan, aku bersyukur akhirnya kalian saling mengakui. Kalian sangat beruntung.” Arion mengangguk saat pelayan meletakkan pesanannya. Ia pun meneguknya sedikit. Keduanya diam sambil menatap cangkir kopi masing-masing. “Kalian akan menikah? Kapan?” “Entahlah, kami belum membahasnya lagi.” Arion mengangguk. Kedua pria itu pun menghabiskan waktu di café hingga menjelang subuh. Sementara itu, Val masih terlelap di kamar Saga yang nyaman. Saga masih tetap berada di café setelah Arion meninggalkannya subuh tadi. Meskipu