Cinta menjadi dusta ketika yang terjadi cuma sederet hal-hal yang melukai, mental dan fisik. Dan entah kenapa Brisha membiarkan dirinya terjebak dalam hubungan seperti itu. Amara geram sekali pada Andaru. Di sisi lain, dia juga tak bisa tidak kesal pada Brisha. Seharusnya, sejak melihat tanda-tanda aneh, Brisha sudah berusaha melepaskan diri. Dan bukannya malah cenderung menuruti keinginan pacarnya dan memuaskan ego cowok itu.
“Kita nggak bisa nyalahin si Andaru itu sepenuhnya. Brisha juga ngasih peluang, makanya pacar berengseknya makin ngelunjak,” komentar Sophie. Jika di rumah sakit tadi Sophie tak menyalahkan Brisha, kini sebaliknya.
“Kenapa baru ngomong sekarang? Harusnya tadi kamu juga ngomong di depan Brisha,” protes Amara sembari menoleh ke kiri. Dia akan mengantar Sophie pulang karena hari ini mereka tak memiliki jadwal kuliah.
“Kamu tadi udah cukup galak pas ngomelin Brisha. Kalau aku ikutan juga, takutnya tuh anak malah m
Bagaimana bisa ada orang yang memberi efek semengerikan itu bagi Amara? Dia tidak pernah menduga jika kehadiran Ji Hwan mampu mengakibatkan hal yang tak sederhana itu. Bahkan saat memutuskan hubungan dengan Ji Hwan pun, Amara yakin hatinya akan segera pulih. Namun, siapa sangka jika harapannya itu tidak benar-benar terjadi?Jika diingat lagi, apa yang diucapkannya di depan Ji Hwan tadi, sudah pasti tidak akan termaafkan. Itu dosa terbesar Amara, mengucapkan kalimat-kalimat jahat yang menyiksa Ji Hwan dan dirinya sendiri. Tidak ada lagi jalan untuk kembali.Sepanjang hari itu, Amara benar-benar tersiksa sendiri. Dia tak tahu harus melakukan apa demi meredakan perasaan tak keruan yang memuntir perutnya. Setelah menimbang-nimbang, dia akhirnya bicara dengan Ika saat makan malam. Merry belum pulang dari restoran dan hanya ada mereka berdua di rumah.“Saya sependapat sama Sophie dan Brisha, Mara,” kata Ika setelah mendengar penjelasan Amara. “Kamu p
Amara datang lebih pagi dibanding yang seharusnya. Kuliah baru akan dimulai satu jam lagi. Namun gadis itu merasa tidak sanggup bertahan di rumah lebih lama lagi. Amara ingin segera bertemu dengan Sophie setelah sahabatnya menelepon pagi-pagi.“Kalau kamu lagi nggak ada kerjaan di rumah, mending datang ke kampus lebih pagi, Mara. Biar bisa ngobrol lebih enak,” usul Sophie setelah Amara mengucapkan salam.“Oke,” sahut Amara tanpa pikir panjang.“Kita akan ngebahas soal Ji Hwan. Dan kamu nggak boleh tetap keras kepala seperti kemarin-kemarin,” Sophie mengingatkan.Tadinya, dia berniat untuk menjemput Sophie di rumahnya. Namun Sophie menolak dan meminta mereka bertemu di kampus saja. Karena Sophie ada keperluan dan harus mengantar neneknya ke klinik terlebih dahulu. Sophie bilang, neneknya sedang flu berat.Seharusnya, Amara tiba di kampus setengah jam lagi. Namun dia tak betah berada di rumah sehingga memutuskan un
Amara berusaha keras agar bibirnya merekahkan senyum. Meski saat itu dia sungguh ingin meninggalkan kantin dan berada sejauh mungkin dari Reuben. “Mungkin saya baru mengambil mata kuliah itu dua semester lagi, Pak.”Amara tahu bahwa Reuben tidak terlalu suka disapa “Pak” jika tidak berada di kelas. Kendati demikian, gadis itu tahu bahwa dia harus memasang jarak sejak awal. Amara tidak boleh memberi celah yang bisa disalahartikan oleh Reuben. Lelaki itu sudah matang dan menawan, diidamkan banyak mahasiswi. Bahkan di saat itu, ada sekelompok mahasiswi di meja lain yang berbisik-bisik sembari melirik ke arah mereka. Namun mau bagaimana lagi, Amara tidak memiliki setitik pun ketertarikan pada sang dosen.“Oh, begitu,” kata Reuben. “Kamu ada kuliah jam berapa, Mara?”“Jam sepuluh, Pak.”Andai Ji Hwan adalah Reuben, alangkah indahnya dunia ini. Beban yang sedang menggelayuti Amara pasti akan musn
Amara sangat ingin mengernyit, sebagai isyarat bahwa dia tidak nyaman dengan kata-kata Reuben. Akan tetapi, seseorang menyelamatkannya dari keharusan memberi respons dan merasa jengah di waktu bersamaan. Sophie memasuki kantin, melihat ke berbagai penjuru, hingga melambai penuh semangat setelah menemukan Amara.“Halo Pak, apa kabar? Tumben tidak pesan roti bakar dan malah makan banyak camilan. Lagi pengin nambah lemak ya, Pak?” sapa Sophie riang. Gadis itu menarik kursi kosong di sebelah kanan Amara dan duduk dengan napas agak terengah.Kelegaan Amara sepertinya terbaca dengan jelas oleh sepasang mata tajam milik Reuben. Lelaki itu cuma bertahan kurang dari dua menit sebelum akhirnya pamit untuk meninggalkan Amara dan Sophie. Reuben beralasan dia harus segera mengajar. Amara menatap kepergian Reuben dengan perasaan lega yang membuat bahunya melorot.“Apa yang udah kulewatkan?” tanya Sophie seraya meraih gelas minuman milik Amara. &l
Sophie malah menepuk punggung tangan Amara yang berada di atas meja. “Yeee, bukannya ngejawab malah melamun,” protesnya. “Mara, cuma ngasih tau doang. Plis ya, jangan sok gengsi. Telat banget kalau sekarang mendadak jaim. Tadi malam, siapa yang ngebangunin aku di jam yang nggak manusiawi?” cerocos Sophie lagi.Amara mengulum senyum mendengar kata-kata sahabatnya. “Nggak sekalian aja ngomong pakai TOA, Soph? Biar semua orang dengar.”Sophie kembali menyeringai. Amara tahu, tak ada gunanya menyoal tentang suara Sophie yang memang selalu paling kencang dibanding yang lain.“Apa rencanamu terkait Ji Hwan, Mara?” Sophie bertanya lagi.Yang ditanya malah menggeleng. “Entahlah, aku nggak berhasil mikirin sesuatu yang genius. Aku juga nggak yakin kalau Ji Hwan mau maafin aku. Kemarin, omonganku udah kelewatan banget. Ji Hwan pasti tersinggung berat.” Amara mendesah.Sophie melepaskan sedotan yang
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben