Seperti biasa, Sophie langsung mengendus ada yang tidak beres dengan sahabatnya begitu mereka bertemu. “Kamu kenapa? Berantem sama Ji Hwan?” tebaknya.
“Kami belum pernah berantem,” aku Amara.
“Jadi, kamu kenapa?” ulang Sophie. “Kamu agak pucat dan keliatan suntuk, Mara.”
Amara mendesah. Dia memeriksa jam tangan dan tahu bahwa dirinya tak punya waktu untuk membahas apa yang terjadi beberapa jam silam dengan Sophie.
“Nanti aja deh ceritanya. Kelasnya udah mau dimulai,” katanya. Kalimat Amara baru saja tuntas saat dosen yang akan mengajar memasuki ruang kelas. “Tuh, kan! Pak Amri udah datang. Mari kita belajar,” dia mencoba bergurau.
Selama mengikuti perkuliahan, Amara kehilangan konsentrasi. Hal yang sama pun terjadi saat kuliah pertamanya tadi. Wajah dan kata-kata Cello berputar di benak Amara terus-menerus. Gadis itu juga menyesal karena tak melakukan apa pun.
Semestinya
Sophie terdiam selama beberapa saat. “Kamu harus lapor polisi, Mara. Orang kayak gitu jangan dibiarin. Aku kok cemas dia bakalan nguntit kamu ke mana-mana.”“Soph, jangan nakut-nakutin, dong!” Amara bergidik.“Astaga, aku nggak nakut-nakutin! Tapi itu kan mungkin terjadi,” Sophie membela diri. “Kalau kamu berniat mendatangi rumah orangtua si Monster untuk ngelaporin kelakuan anaknya, aku ikut. Atau, kalau kamu mau lapor ke polisi, aku pun ikut.”Kata-kata Sophie itu memberi ide pada Amara. “Kenapa selama ini aku nggak pernah terpikir untuk ngomong sama orangtuanya Cello, ya? Waktu dia pertama kali datang ke sini, mamaku yang ketemu sama mereka. Padahal, harusnya aku bisa ikutan. Karena masalah yang mereka bahas itu berkaitan sama hidupku.”Sophie beranjak dari tempat duduknya. “Yuk, kita keluar dulu. Sebentar lagi kelasnya akan dipakai. Aku nggak mau kita diusir dari sini,” selorohnya
Amara menyetir setenang yang dia bisa. Ide untuk bertemu dengan Connie tak pernah terpikir sebelumnya. Amara sendiri tidak tahu apa yang akan ditemukannya nanti. Dia cuma bisa berharap semoga orangtua Cello mau berusaha lebih keras untuk menjauhkan putra mereka dari Amara.“Kamu kenal baik sama mamanya si Monster, ya?” tanya Sophie setelah mobil yang mereka tumpangi menjauh dari halaman parkir Fakultas Ilmu Komunikasi.“Kenal baik, malah. Karena udah lama temenan sama dia, kenal sama orangtuanya sejak lama. Sesekali, aku main ke rumahnya bareng temen-temen yang lain. Terakhir kali ketemu Tante Connie, waktu keluarga si Monster datang ke rumahku untuk ngebahas rencana pernikahan dan sebagainya itu,” ungkap Amara.Gadis itu tetap menatap ke depan, meruahkan konsentrasinya ke jalanan. Sophie terdiam beberapa saat sebelum kembali buka suara.“Apa korban perkosaan itu memang sulit banget dapat keadilan ya, Mara?”Pert
Connie tampak benar-benar terperanjat. “Apa? Cello datang ke kampusmu lagi?”Amara tidak tahu apakah perempuan itu memang benar-benar tidak mengetahui tingkah putra kesayangannya atau hanya berpura-pura. “Iya, Tante. Ini yang kedua kalinya. Yang pertama, beberapa bulan lalu. Tante dan Mama pernah ngomongin masalah itu, kan?”“Iya, Mara. Waktu itu Tante nggak tau kalau Cello balik ke sini. Sekarang pun kondisinya sama. Tante kira dia masih di Australia. Kemarin itu, Tante dan Om nyari dia keliling Jakarta, akhirnya ketemu. Tante udah wanti-wanti supaya Cello jangan bikin ulah lagi. Dia harus balik ke Australia sesuai janji yang udah disepakati,” urai Connie dengan wajah pucat. “Cello udah janji kalau dia nggak akan bikin semua orang kecewa lagi. Tapi nyatanya? Dia malah balik lagi ke Jakarta.”“Tante beneran nggak tau dia sekarang ada di mana?” Amara ingin memastikan.“Nggak tau sama sekali,
Kalimat Amara memeranjatkan Connie. Hilang sudah senyum yang tadi menghiasi bibir perempuan itu dan berganti dengan ekspresi kaget yang memucatkan wajahnya. Connie duduk di kursinya dengan agak terhuyung. Butuh beberapa saat bagi perempuan itu untuk menenangkan diri.Sementara Amara duduk setenang mungkin sambil menatap wajah perempuan yang dulu begitu dihormatinya itu. Amara sendiri tidak tahu dari mana asal keberaniannya mengucapkan kalimat yang bisa dianggap bernada ancaman itu. Mungkin karena gadis itu sudah lelah menjadi korban dan ingin membela dirinya sendiri. Dia tak bisa bergantung pada orang lain meski itu ibunya sendiri.Merry sudah melakukan segalanya yang dia bisa. Namun ternyata Cello masih nekat muncul di depan Amara. Dari obrolan singkat dengan Connie barusan, dia setuju dengan ucapan Sophie. Bahwa tampaknya Connie tak terlalu menganggap serius kejahatan berat yang sudah dilakukan oleh putra kesayangannya.“Mara, kamu mengancam Tante?&rdquo
Amara berjuang untuk tidak langsung merespons dengan frontal meski sebagian kata-kata Connie sudah membuat hati gadis itu terluka. Dia juga berjuang untuk menarik napas panjang demi untuk menenangkan diri. Karena hanya dengan pikir jernih sajalah Amara bisa memberi respons yang sesuai dengan keinginannya. Kali ini, dia bertekad untuk memastikan Connie mengetahui opini Amara sejelas mungkin.“Tante, sekarang saya bisa bicara?” tanya Amara dengan nada datar.“Silakan, Mara.” Connie sempat mengerling ke arah Sophie. “Tante rasa, lebih baik kita ngobrol berdua aja. Itu jauh lebih baik karena ini masalah keluarga.”Amara nyaris tertawa mendengar kata-kata perempuan yang pernah begitu dihormatinya itu. Mengapa baru sekarang Connie mencemaskan kehadiran Sophie? Kenapa tidak sejak awal kedatangan mereka ke bank ini?“Sophie tetap di sini aja, Tante. Karena saya nggak nyembunyiin apa pun di depan dia. Sophie tau semua yang
Setelah meninggalkan kantor Connie, Amara baru menyadari bahwa bahunya mendadak terasa jauh lebih ringan dibanding biasa. Tanpa ragu, dia memberi tahu Sophie tentang perasaannya. Sang sahabat merespons dengan menguraikan dugaan yang ada di kepalanya.“Mungkin karena akhirnya kamu bisa ngomong mewakili diri sendiri secara langsung, Mara. Apalagi, kalau diingat, kata-katamu di depan Tante Connie itu, lumayan pedas. Eits, jangan kira aku merasa kalau kamu kelewatan. Sama sekali nggak. Responsmu tadi udah pas banget. Memang harus dijawab kayak gitu. Aku aja tadi udah gatal pengin komen saking nggak nyangkanya. Kok bisa kasusmu dibilang ‘maksa tidur’, sih? Kenapa bisa nggak ada empatinya gitu sama korban? Padahal sesama cewek,” cerocos Sophie dengan nada tinggi.Amara membenarkan kata-kata Sophie dalam hati. Namun dia menahan diri untuk tak langsung berkomentar. Gadis itu menghela napas terlebih dahulu. Karena di saat yang sama, perbincangannya denga
Wajah Amara terasa membara. “Calon mertua apaan? Masih jauhhhhh,” komentarnya.Sophie berubah serius saat mengajukan pertanyaan baru. “Kamu cemas nggak dikasih izin atau gimana?”“Aku juga nggak terlalu paham sama perasaanku,” sahut Amara. “Memang sih, ada rasa khawatir kalau nggak akan dikasih izin sama Mama. Kalau kejadiannya kayak gitu, aku bingung gimana jelasinnya ke Ji Hwan. Selain itu, aku sendiri nggak tau apa kira-kira memang nggak ada masalah kalau ngabisin malam tahun baruan bareng pacar?”Sophie malah tergelak, membuat Amara mengernyit. Dia menoleh ke kiri selama dua detik. Sahabatnya masih tertawa geli. “Apa yang lucu?” Suara Amara bernada protes.“Ya lucu, dong! Apanya yang salah kalau kamu ngabisin malam tahun baru bareng Ji Hwan? Toh, ada aku yang bakalan jadi satpam dan jagain kamu sepanjang malam. Lagian, acaranya di rumah Ji Hwan, dengan keluarga besarnya juga. Yang akan
Amara menggeleng karena merasa sebaliknya. Dia melirik Sophie yang berada di dalam mobil sejak dua menit silam. Seharusnya saat ini Amara sudah menyetir untuk mengantar sahabatnya pulang andai tidak berpapasan dengan Ji Hwan. Sophie langsung minta izin lebih dulu masuk ke dalam mobil demi memberi privasi pada Amara dan sang pacar.“Nantilah kita pikirkan lagi,” kata Amara akhirnya.“Tapi malam tahun baru hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku cuma pengin kamu ikut. Sama sekali nggak asyik kalau kamu nggak ada, Heartling,” Ji Hwan tampak muram. “Tamunya nggak banyak, cuma keluarga papaku doang. Nggak ada acara khusus, Cuma melewatkan malam pergantian tahun bersama. Aku juga ngundang Ronan dan Brisha. Sayangnya, Brisha nolak dan bilang bakalan bikin acara sama keluarganya.”Amara mulai terbiasa dengan panggilan sayang ala Ji Hwan itu. Dia pun menyukainya meski Amara tidak tahu persis maknanya. Hanya saja, gadis itu merasa menjadi