Ji Hwan tidak pernah merasakan kelegaan sekaligus rasa senang demikian besar hanya karena seseorang memuji masakannya. Yah, meski kali ini dia hanya memasak menu simpel yang bumbu-bumbunya sudah disiapkan dan tak membutuhkan keahlian khusus.
Tanpa bermaksud sombong, Ji Hwan cukup tahu bahwa dirinya berbakat untuk urusan memasak. Entah berapa banyak teman dan keluarga yang menyarankan agar dia berkarier sebagai seorang chef profesional saja. Sayang, Ji Hwan jauh lebih tertarik untuk menekuni dunia komputer. Baginya, kemampuan memasak seseorang tak harus dijadikan sebagai pilihan karier. Karena bagi cowok itu, memasak hanya sekadar hobi belaka.
“Aku senang banget kalau kamu suka, Mara,” ucapnya kemudian. Ji Hwan bukannya tidak menyadari ekspresi kaku yang tercetak di wajah Amara setelah gadis itu memberi pujian tadi. Akan tetapi, Ji Hwan memilih untuk berpura-pura tidak tahu saja. Tebakannya, Amara merasa tak nyaman karena bicara dengan lepas dan men
Amara menggeleng dengan bibir mengulas senyum. Ji Hwan memikirkan sesuatu yang mungkin berlebihan tapi tak kuasa untuk dilenyapkannya. Dia mulai yakin bahwa cahaya matahari pun bisa kalah menyilaukan jika dibanding dengan senyum cerah Amara yang merayap hingga ke matanya. Gadis itu begitu menawan jika saja tak berekspresi murung.“Sebelum Amara cuti kuliah, banyak cowok-cowok di fakultas kita yang naksir dia. Aku dengar cerita dari teman-teman, sih,” beri tahu Ronan beberapa bulan silam. “Tapi memang Amara nyantai banget. Nggak ada yang ditanggapi. Tapi setelah cuti, anaknya jadi beda banget. Nggak tau kenapa.”“Aku yakin sih, banyak cowok yang suka Amara,” kata Ji Hwan kala itu. “Tapi apa memang dulunya dia cewek yang santai? Nggak pendiam dan murung kayak sekarang?”“Aku kan cuma dengar cerita dari beberapa teman. Nggak tau jelasnya juga. Tapi Brisha kan memang udah temenan sama Amara lumayan lama. Brisha p
Ucapan Amara itu membuat Ji Hwan melongo. “Mengajak cewek? Astaga!” sergah Ji Hwan cepat. Cowok itu buru-buru menggeleng.“Itu apa maksudnya?” Amara tampak kebingungan. Ji Hwan segera menyadari bahwa kata-katanya tidak akan dimengerti dengan baik oleh si pendengar. Karena dia tidak menggunakan kalimat yang lengkap.“Maksudku, aku nggak pernah ngajak cewek lain ke sini atau ke restoran unik lainnya. Selama ini, aku bahkan nggak terpikir untuk melakukan hal kayak begini. Tapi tadi aku mendapat ide untuk mengajakmu ke tempat yang istimewa. Minimal, bisa jadi tempat yang akan kamu ingat dalam waktu lama. Tentunya dalam hal yang positif. Pokoknya, aku pengin bikin kamu hepi.”Wajah Amara tampak memerah. Bahkan di bawah sinar lampu yang tidak benderang pun Ji Hwan bisa melihat dengan jelas. Dia mulai berpikir apakah kata-katanya terlalu berlebihan? Cowok itu memaki dirinya sendiri yang gagal memilih kalimat netral. Di depan Amara, s
“Kamu juga melakukan hal yang sama. Maksudku, aku juga ingin mendengar ceritamu. Supaya impas,” ucap Amara.Ji Hwan mengangguk tanpa berpikir dua kali. Dia tak memiliki rahasia yang harus disimpan. Lagi pula, hidup Ji Hwan tidak pernah meleati hal-hal yang dramatis. Mungkin, gelombang paling tinggi dalam dunianya adalah saat orangtuanya bercerai. Karena itu, dia merespons dengan antusias. “Itu hal yang mudah banget, Mara. Jadi, tentu aja aku setuju. Asal nanti kamu nggak bosan aja dengar ceritaku. Eh, tapi kamu yang dapat giliran pertama, ya?”Amara menyesap minumannya sekali lagi sebelum mulai bercerita. Seakan ingin menenangkan kegugupan yang mungkin melandanya. Ji Hwan menunggu dengan kesabaran yang bahkan mengagetkan untuk dirinya sendiri.“Namaku Amara Izabel. Saat ini umurku baru dua puluh satu tahun. Aku cewek biasa yang tidak punya keterampilan mengesankan di bidang tertentu. Prestasi di sekolahku pun biasa aja. Aku punya du
Ji Hwan mengabaikan kalimat terakhir gadis itu. Katanya,” Aku dan adik tiriku nggak akrab karena tinggal berjauhan. Aku merasa itu salah satu faktor utamanya. Sejak kami pindah ke Singapura, aku cuma beberapa kali ketemu sama Mama. Aku sih nggak tau pasti alasan orangtua cerai, Mara. Tapi, setelah mereka pisah, hubungan mama dan papaku nggak bisa dibilang baik-baik aja. Memang, nggak sampai saling menjelekkan atau rebutan hak asuh anak, sih. Cuma jadi kaku banget dan ngaruh ke aku dan kakakku.”Amara manggut-manggut. “Aku nggak bisa ngebayangin gimana rasanya kalau orangtua bercerai. Tapi pasti sakit banget untuk anak-anaknya. Karena mau nggak mau dipaksa milih untuk tinggal dengan salah satunya. Entah karena keputusan pengadilan atau kesepakatan di antara pasangan yang memilih pisah.”Ji Hwan setuju dengan ucapan Amara itu. Namun, dia tak mungkin membahas bahwa orangtuanya bercerai karena sang ibu berselingkuh dengan teman lama yang kini
Amara baru menyadari apa yang sudah diucapkannya setelah Ji Hwan pulang. Dia sempat berdiri terpaku di halaman, menyaksikan punggung Ji Hwan menghilang di kegelapan malam. Hingga ponselnya berbunyi lagi untuk kesekian kalinya. Dan saat melihat nama Sophie tertera di layar, Amara segera menjawabnya.“Aku udah pulang ke rumah dalam keadaan luar biasa baik dan tak kurang suatu apa pun,” canda Amara. “Semuanya aman terkendali. Jadi, kamu bisa berhenti mencemaskanku sekarang, Soph. Makasih banget, ya.”“Kamu cuma mau bilang itu? Nggak ada laporan lengkap?” sindir Sophie. Gadis itu tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya. Dan itu berhasil memancing tawa geli Amara.“Aku masih harus ngadepin interogasi mamaku karena tadi belum pulang waktu aku pergi. Jadi, energiku pasti bakalan terkuras. Giliranmu besok aja, ya?”“Mana aku sabar nunggu sampai besok, Mara,” keluh Sophie.Setelah “tawar-m
Jika dipikir lagi, entah alasan apa yang membuat Amara bisa merasa nyaman di depan Ji Hwan. Meski awalnya dia sempat merasa menyesal karena naik ke boncengan cowok itu, perasaan itu cuma mampu bertahan kurang dari tiga menit. Setelahnya, merasakan angin menampar wajahnya dan meski posisi duduknya tidak benar-benar nyaman, Amara mulai bisa menikmati perjalanan itu.“Aku beneran nggak nyangka kalau makan malam bareng Ji Hwan ternyata memang mengasyikkkan. Tadinya kukira nggak akan betah sama sekali,” gumam Amara lagi. “Awalnya, tetap mau pergi karena nggak enak aja udah dua kali janji. Masa harus dibatalin lagi? Untungnya semua lancar dan aku mungkin akan nyesal kalau tadi nggak pergi bareng Ji Hwan,” ocehnya panjang.Diam-diam gadis itu mengulum senyum karena dia bisa bicara sepanjang itu pada diri sendiri.Amara sampai letih membolak-balikkan tubuh seraya mencari alasan yang paling logis untuk semua yang terjadi malam itu. Sayangnya dia g
Amara tidak bisa terlelap sempurna malam itu. Hingga dia merasa gemas pada diri sendiri. Seharusnya, saat ini dia bisa bermimpi indah dan bukan malah mengulang-ulang adegan saat berada di restoran Wonderful Treehouse hingga ratusan kali. Mata gadis itu akhirnya terpejam menjelang pukul dua dini hari. Namun Amara sudah bangun begitu pagi dan memutuskan untuk berolahraga.“Ketimbang cuma melamun nggak jelas, mending olahraga. Biar seksi,” komentar Amara pada diri sendiri sembari tertawa kecil. Setelah mencuci muka dan mengenakan pakaian olahraga, gadis itu mulai melakukan pemanasan.Saat melakukan side-plank reach throughs, Amara tersungkur ke lantai. Entah bagaimana, dia kehilangan keseimbangan dan konsentrasi. Menjerit tertahan, Amara sempat mengira tangan kanannya terkilir atau patah. Untung saja dugaannya tidak terbukti.Kejadian itu cukup memadamkan niatnya untuk terus mengeluarkan keringat. Padahal dia baru berolahraga sekitar dua puluh
Amara terkesima oleh informasi itu. “Aku nggak tahu soal itu,” kepalanya menggeleng. “Memang sih, aku tahu Ji Hwan harus bikin reservasi dulu sampai memilih menu. Jadi pas datang ke sana, semuanya udah disiapin.”Sophie tampak puas karena sudah mengagetkan sahabatnya. “Aku langsung nyari info setelah kamu nyebutin nama restoran itu tadi malam. Tapi nggak banyak info yang kudapat. Trus aku tadi sempat nanya-nanya sama beberapa teman SMA. Ini baru dapat jawaban yang lumayan lengkap.”Brisha mencibir, jelas tampak sebal dengan kesombongan Sophie yang menggemaskan. “Jadi, kami harus berterima kasih karena kamu udah berbaik hati berbagi informasi penting itu pada kami, ya?” sindirnya. Bukannya merasa bersalah, Sophie malah tergelak.“Ya, begitulah kira-kira. Masih ada info-info menarik lainnya, sih. Kalian beneran pengin tau?” godanya.“Ya udah, kami akan nyari info dari orang lain aja. Mungkin