Amara tidak bisa terlelap sempurna malam itu. Hingga dia merasa gemas pada diri sendiri. Seharusnya, saat ini dia bisa bermimpi indah dan bukan malah mengulang-ulang adegan saat berada di restoran Wonderful Treehouse hingga ratusan kali. Mata gadis itu akhirnya terpejam menjelang pukul dua dini hari. Namun Amara sudah bangun begitu pagi dan memutuskan untuk berolahraga.
“Ketimbang cuma melamun nggak jelas, mending olahraga. Biar seksi,” komentar Amara pada diri sendiri sembari tertawa kecil. Setelah mencuci muka dan mengenakan pakaian olahraga, gadis itu mulai melakukan pemanasan.
Saat melakukan side-plank reach throughs, Amara tersungkur ke lantai. Entah bagaimana, dia kehilangan keseimbangan dan konsentrasi. Menjerit tertahan, Amara sempat mengira tangan kanannya terkilir atau patah. Untung saja dugaannya tidak terbukti.
Kejadian itu cukup memadamkan niatnya untuk terus mengeluarkan keringat. Padahal dia baru berolahraga sekitar dua puluh
Amara terkesima oleh informasi itu. “Aku nggak tahu soal itu,” kepalanya menggeleng. “Memang sih, aku tahu Ji Hwan harus bikin reservasi dulu sampai memilih menu. Jadi pas datang ke sana, semuanya udah disiapin.”Sophie tampak puas karena sudah mengagetkan sahabatnya. “Aku langsung nyari info setelah kamu nyebutin nama restoran itu tadi malam. Tapi nggak banyak info yang kudapat. Trus aku tadi sempat nanya-nanya sama beberapa teman SMA. Ini baru dapat jawaban yang lumayan lengkap.”Brisha mencibir, jelas tampak sebal dengan kesombongan Sophie yang menggemaskan. “Jadi, kami harus berterima kasih karena kamu udah berbaik hati berbagi informasi penting itu pada kami, ya?” sindirnya. Bukannya merasa bersalah, Sophie malah tergelak.“Ya, begitulah kira-kira. Masih ada info-info menarik lainnya, sih. Kalian beneran pengin tau?” godanya.“Ya udah, kami akan nyari info dari orang lain aja. Mungkin
Pertanyaan Sophie itu membuat pipi Amara terasa terbakar. Namun kali ini dia memutuskan tidak akan menceritakan semua yang terjadi pada kedua sahabatnya tanpa menyisakan sepotong kecil rahasia yang bisa dikenangnya sendiri.“Kami nggak berkencan,” dia meralat sekali lagi. “ Dan aku sama sekali nggak tau apakah Ji Hwan bakalan mau ngajak aku keluar lagi kapan-kapan. Kalian kan tau sendiri kalau aku ... selalu kesulitan untuk bersikap santai. Kurasa, Ji Hwan kapok.”Amara tidak bisa memungkiri jika ada yang terasa terpilin di perutnya setelah kalimatnya dituntaskan. Dia buru-buru mengalihkan perhatian dengan pura-pura merogoh tas, mencari-cari sesuatu.Gadis itu sangat bersyukur ketika sebuah panggilan di ponsel Sophie menginterupsi. Brisha dan Amara hanya menyaksikan punggung Sophie menjauh. Tampaknya sahabat mereka itu membutuhkan privasi untuk bicara di telepon genggamnya. Padahal biasanya Sophie tak pernah menjauh jika harus menerima te
“Aku harus segera masuk kelas, Sha” kata Amara dengan suara pelan. Gadis itu meraih tasnya yang berada di atas pangkuan. Di saat bersamaan Sophie membalikkan tubuh. Untuk sesaat, Amara menangkap kemuraman di wajah sahabatnya itu. Namun hanya dalam waktu sekedip, Sophie sudah bersikap seperti biasa. Amara mulai yakin bahwa barusan dia sudah salah lihat.“Sophie, sudah hampir pukul sepuluh, nih!” Amara menunjuk ke arah jam tangannya.“Oke,” komentar Sophie pendek.“Dan kalian berdua ninggalin aku sendiri,” gerutu Brisha sambil ikut berdiri. “Tega!”“Boleh juga kalau kamu mau menyusup ke kelas kami, Sha. Tinggal pilih tempat duduk di belakang aja. Kamu bisa numpang tidur di kelas. Dosennya Pak Awang Satria, tertarik?” saran Sophie dengan penuh semangat.Amara dan Sophie serempak terbahak saat melihat reaksi Brisha. Gadis itu menunjukkan penolakannya dengan jelas, menggeleng
Tingkah Ji Hwan membuat Amara bertanya-tanya. Setelah gadis itu bersedia memberi kesempatan langka yang membuat mereka melewatkan makan malam berdua, Ji Hwan justru tiba-tiba menghilang. Seakan-akan cowok itu sudah menuntaskan rasa penasarannya karena berhasil membuat Amara menghabiskan waktu dengannya. Dan ketika memikirkan fakta itu, entah kenapa Amara menjadi sedih dan muram.“Apa memang kayak begitu? Ji Hwan selama ini cuma merasa penasaran karena aku dianggap susah untuk ditaklukkan atau semacamnya?” tanya Amara pada diri sendiri.Akan tetapi, gadis itu kemudian tidak punya waktu untuk lebih jauh mencemaskan soal Ji Hwan meski hanya sementara. Karena Sophie tiba-tiba datang dengan sebuah kebenaran yang menggunturkan isi benak Amara dan Brisha. Kebenaran yang selama ini tak diketahui oleh keduanya.Dua hari setelah perbincangan penuh canda dan interogasi tentang makan malam Amara bersama Ji Hwan, Sophie meminta kedua sahabatnya datang ke rumahnya
Selama proses pemakaman hari itu, mereka nyaris tak berbincang. Sophie duduk di dekat jenazah ibunya yang ditutupi kain batik. Doa-doa dan lantunan ayat suci mengalun dari berbagai penjuru mata angin. Amara tersiksa oleh rasa penasaran yang menyandera jiwanya. Namun dia mustahil mengajukan beragam pertanyaan di saat itu, kan?“Aku punya setumpuk pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku. Mirip gasing,” bisik Brisha dengan suara rendah.“Aku pun sama,” sahut Amara. “Selama ini Sophie nggak pernah ngomongin soal ibunya. Aku taunya dia tinggal bareng neneknya. Makanya aku sempat ngira kalau ibunya memang udah nggak ada.”“Aku juga mikirnya kayak gitu,” dukung Brisha. “Ah, Sophie kayaknya punya rahasia yang disembunyiin. Eh, kamu tau yang mana bokapnya, Mara?”Amara memandang ke sekeliling. Sejak tadi dia tak melihat ada pria yang secara usia pantas menjadi ayah Sophie dan berada di dekat gadis itu.
Sophie malah menelentang di ranjangnya yang tidak terlalu besar itu. Brisha dan Amara mengikutinya, berbaring berdesakan mengapit sang nona rumah. Kamar yang dinding-dindingnya dicat putih itu terperangkap dalam keheningan selama beberapa detik nan panjang.“Aku nggak pernah nyangka kalau suatu hari akan membahas masalah ini sama orang lain. Kalian mungkin nggak akan percaya kalau kubilang bahwa aku seumur hidup nggak punya teman akrab. Sampai aku kenal kalian berdua,” aku Sophie dengan lancar.Amara mencerna informasi itu dengan ketidakpercayaan yang begitu kental. Bagaimana bisa gadis supel yang selalu riang seperti Sophie tidak mempunyai sahabat sama sekali? Dia masih ingat kali pertama bertemu dengan Sophie. Gadis itu menyapanya tanpa canggung dan terus berusaha mendekati Amara meski mendapat penolakan berkali-kali.Seakan bisa membaca isi benak Amara, Sophie pun berujar, “Waktu ketemu kamu, aku beneran pengin jadi temenmu, Mara. Aku sendir
Amara bisa melihat adegan demi adegan yang melibatkan dirinya dan Cello di masa lalu. Empedunya seakan naik dan memberikan rasa pahit menakutkan yang bertahan di tenggorokan. Kisah ibunda Sophie mirip dengan yang dialami Amara. Deja vu.“Kamu yakin, Soph?” Otak Amara tidak bisa menemukan kalimat lain. Brisha bahkan menutup mulut dengan suara tertahan.Sophie akhirnya duduk di depan kedua sahabatnya. Wajahnya tampak muram dengan bayangan gelap di bawah matanya. Sophie yang biasanya selalu tampil cenderung rapi, bahkan tidak memedulikan rambutnya yang kusut dan sepertinya tidak tersentuh sisir lebih dari sehari.“Ibuku diperkosa pacarnya. Tapi kasusnya beda sama kamu, Mara. Ibu nyembunyiin semuanya sampai usia kandungannya nyaris lima bulan. Janinnya adalah aku.”Bibir Amara terbuka. Brisha malah mulai terisak dengan suara rendah. Amara juga sangat ingin bisa seperti itu, menumpahkan rasa sedihnya dengan pantas. Bayangan per
Entah berapa lama Amara termangu dengan pikiran tak keruan. Mana pernah gadis itu membayangkan jika Sophie yang santai dan ceria itu menyimpan rahasia getir yang mematikan. Dia tidak tahu bagaimana Sophie bisa bertahan selama ini. Karena gadis itu menyiratkan bahwa dia tidak memiliki problem besar dalam hidup. Siapa pun yang melihat dan mengenal Sophie, pasti mengira bahwa gadis itu selalu bahagia.Ah, inilah contoh nyata bahwa sampul tak selalu mencerminkan isi.Terlahir sebagai anak korban perkosaan yang nyaris tidak pernah merasakan kasih sayang orangtua, tidak terbayangkan rasanya. Amara sangat yakin, tidak akan ada kata-kata penghiburan yang bisa menenangkan sahabatnya. Terlalu banyak rasa sakit yang sudah ditanggung Sophie. Amara cuma bisa merasa takjub bagaimana Sophie bisa melewatkan hari demi harinya selama ini.“Kakek meninggal nggak lama setelah aku lahir. Jadi, aku pun nggak pernah kenal kakekku sendiri. Sejak dulu cuma ada Nenek. Aku pun nggak