Sejak berusaha memulihkan diri dari trauma yang dialaminya, Amara tidak pernah mengira jika suatu saat nanti dia akan memiliki kekasih seperti teman-teman sebayanya. Bagaimana bisa dia yang ketakutan setengah mati tiap kali mendapati ada kaum adam yang menatapnya lebih dari dua detik, mempunyai pacar? Itu sama sekali tak masuk akal. mimpi lama tentang menggandeng pasangan yang dicintainya sudah mati dari benak Amara.
Hingga kemudian Ji Hwan masuk ke dalam hidup Amara. Setelah berbagai hal yang terjadi di antara mereka, di mata Amara, Ji Hwan adalah sosok cowok yang paling tepat untuk mendampinginya. Ji Hwan mungkin salah satu manusia paling sabar dan tenang yang pernah ditemui gadis itu. Sikap seperti itu sangat dibutuhkan Amara agar membuatnya lebih santai.
“Makasih ya, Ji Hwan. Karena kamu mau terima aku apa adanya,” kata Amara. “Semoga kamu nggak nyesal nantinya.”
“Hush! Kamu ngomong apaan, sih? Nggak ada yang namanya nyesal,&rdq
Brisha yang terlihat salah tingkah dan tak nyaman itu pun buru-buru membuat bantahan. “Bukan gitu, Sophie! Kalian jangan....”“Ah, ngake deh, Sha! Kami nggak akan tersinggung, kok!” Amara bersekongkol dengan Sophie.“Jadi, siapa cowok malang itu?” goda Sophie seraya memajukan tubuh. Isyarat bahwa dia sedang menunggu jawaban Brisha dengan serius. Amara pun melakukan hal yang sama. Sementara wajah Brisha memerah parah.“Hmmm, okelah. Dia memang cowok yang malang.” Brisha tampak malu. “Dia temanku di les Bahasa Jerman. Namanya Andaru. Nanti aku akan ngenalin dia sama kalian berdua, ya. Awas aja kalau kalian berani nge-bully dia.”“Aku dan Amara bukan tukang bully,” Sophie tak terima. “Si malang Andaru ini udah berapa lama jadi cowokmu, Sha? Apa kamu yakin sengaja nyembunyiin berita besar ini bukan karena dua sahabatmu masih jomlo?”Amara menengahi, ti
“Jangan mengomentari tampangnya!” Brisha memperingatkan. “Aku tau, dia nggak sekeren Ji Hwan. Tapi mau gimana lagi, aku jatuh cinta padanya.”Tawa Amara dan Sophie meledak lagi. Sementara Brisha tampak salah tingkah. Mungkin baru menyadari bahwa kata-katanya terdengar menggelikan.“Kamu itu ngomong apa, sih? Ji Hwan dan Andaru itu nggak bisa dibanding-bandingin, masing-masing punya kelebihan sendiri. Yang penting, kalian semua happy to the max,” sergah Sophie setelah tawanya reda. “Dan karena selama ini kamu udah merahasiakan dengan sengaja siapa pacarmu, kamu kudu dapat hukuman, Sha. Minimal kamu harus mentraktir kami berdua seminggu penuh. Berlaku mulai besok. Dilarang keras protes!” tandas Sophie.“Setuju. Dan nggak ada tawar-menawar,” imbuh Amara setia kawan.“Hei, mana bisa begitu!” protes Brisha. “Aku berhak dong merasa keberatan.”“Maaf ya, kam
Amara lega karena Reuben tak berkomentar apa pun. Hanya menyapa belaka. namun ternyata kelegaan Amara itu terlalu dini. Sebab, esok paginya, dia dicegat oleh Reuben saat baru keluar dari mobilnya. Amara tak mengira jika dia akan bertemu mantan dosennya di area parkir. Entah lelaki itu sengaja menunggunya atau tidak, Amara tak berani menuduh.“Kamu sekarang pacaran sama anak Fakultas Ilmu Komputer ya, Mara?” tanya Reuben blak-blakan. Amara terpana karena tak mengira Reuben akan mengajukan pertanyaan tanpa basa-basi itu.“Iya, Pak,” Amara membenarkan. Jujur adalah yang terbaik. Lagi pula, gadis itu tak melihat alasan mengapa dia harus menyembunyikan fakta itu dari Reuben.“Kenapa dulu kamu nggak ngasih kesempatan untuk saya?”Amara menjawab tanpa bertele-tele. “Karena saya nggak punya perasaan apa pun sama Bapak. Kalau itu bikin Bapak tersinggung, saya minta maaf.”“Kamu nggak perlu minta maaf. Sa
“Baguslah kalau gitu,” aku Sophie. “Aku nggak mau kamu juga berubah jadi kayak Brisha. Pokoknya, kalau ada tanda-tanda yang nggak beres, ngomong sama aku, ya? Jangan disimpan sendiri,” pesan Sophie sungguh-sungguh. “Buatku, cinta itu harus pakai logika. Nggak boleh ada istilah cinta buta.”Amara setuju dengan opini Brisha. “Betul.”“Kalau punya pacar cuma akan nyusahin dan bikin kita harus berubah, buat apa?” kata Sophie lagi. “Masa kita harus bikin pacar hepi dengan ngikutin semua kemauan dia. Sementara kenyamanan kita ada di nomor sekian.”Amara mendesah, “Aku beneran sedih ngeliat Brisha. Baru pacaran satu setengah bulan sama Andaru, udah mulai berubah.”Andaru yang berhasil menaklukkan hati Brisha ternyata seorang pencemburu parah. Brisha tidak leluasa menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya karena Andaru boleh dibilang memonopoli waktunya di luar jam kuliah. Per
Amara juga sudah pernah mendengar cerita itu dan benar-benar merasa tidak nyaman karenanya. Gadis itu baru akan berkomentar ketika seseorang tahu-tahu sudah berdiri di sebelah kanannya.“Halo, Heartling.”Amara sudah pernah mengajukan protes karena Ji Hwan memberi nama panggilan yang membuat jantungnya nyaris lepas dari tempatnya. Akan tetapi, cowok itu bersikeras bahwa Amara adalah orang terpenting yang pantas mendapat panggilan sayang.“Ji Hwan, kamu kan hari ini libur? Kenapa ada di kampus?” Amara bergeser, memberi tempat duduk untuk pacarnya.“Aku ada sedikit urusan di kampus. Sekalian mampir ke sini. Kamu apa kabar?”Amara berpura-pura cemberut. “Jangan lebay, deh! Kita baru ketemu dua hari yang lalu. Kalau ada kabar luar biasa, aku pasti udah nelepon atau mengirimimu pesan.”“Udah dong, Mara. Jangan protes melulu. Punya pacar sebaik Ji Hwan, malah bawel,” sergah Sophi
Pertanyaan Ji Hwan itu tak mampu langsung dijawab oleh Amara. Meski ingin, dia tak bisa langsung menyatakan persetujuan. Berbeda dengan Sophie yang tak keberatan membuat keputusan saat itu juga.“Aku sih, oke, Ji Hwan. Asalkan Amara juga pergi,” ujarnya sambil mengangguk mantap.“Makasih, Soph. Cuma ada om, tante, dan sepupu-sepupu dari keluarga papaku.” Ji Hwan mengalihkan tatapan ke arah Amara dan menatap gadis itu dengan penuh harap.“Nggg, nanti kukabarin lagi, ya? Aku belum tau apa bakalan bisa datang atau nggak, Ji Hwan. Karena aku nggak tau apa keluargaku punya acara atau sebaliknya,” respons Amara. Itu jawaban paling aman untuk saat ini.Sophie membuka mulut sebelum Ji Hwan merespons. “Lagian, tahun baru masih dua mingguan lagi, kan? Mudah-mudahan Amara nggak ada acara apa pun.”Sebelum mereka berpisah, Ji Hwan sempat bicara pada Amara dengan suara pelan. “Kuharap kamu
Selama beberapa detik, Amara merasa lumpuh. Dia tak mampu melakukan apa pun kecuali mengerjap. Gadis itu tak sanggup bergerak untuk keluar dari mobil. Padahal, pintu sudah terentang dan Cello tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya bergerak. Cowok itu tak memegang tangan Amara, misalnya. Cello cuma menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa diterjemahkan maknanya oleh Amara.“Kamu sengaja nyari masalah? Nggak takut kalau aku beneran lapor polisi? Kenapa kamu seenaknya masuk ke dalam mobilku? Dulu kan kamu udah janji kalau bakalan ninggalin Jakarta,” cerocos Amara begitu dia mampu untuk membuka mulut.“Aku tau, Mara. Apa pun yang kuomongin, nggak akan bikin kamu mau maafin aku. Atau ngubah hubungan kita supaya bisa kayak dulu lagi. Tapi, menurutku, tinggal di Australia sama sekali nggak ngeberesin masalah kita. Aku tersiksa karena banyak alasan. Mulai dari rasa bersalah karena pernah gelap mata dan bikin kesalahan fatal sama kamu. Sampai ninggalin tang
Seperti biasa, Sophie langsung mengendus ada yang tidak beres dengan sahabatnya begitu mereka bertemu. “Kamu kenapa? Berantem sama Ji Hwan?” tebaknya.“Kami belum pernah berantem,” aku Amara.“Jadi, kamu kenapa?” ulang Sophie. “Kamu agak pucat dan keliatan suntuk, Mara.”Amara mendesah. Dia memeriksa jam tangan dan tahu bahwa dirinya tak punya waktu untuk membahas apa yang terjadi beberapa jam silam dengan Sophie.“Nanti aja deh ceritanya. Kelasnya udah mau dimulai,” katanya. Kalimat Amara baru saja tuntas saat dosen yang akan mengajar memasuki ruang kelas. “Tuh, kan! Pak Amri udah datang. Mari kita belajar,” dia mencoba bergurau.Selama mengikuti perkuliahan, Amara kehilangan konsentrasi. Hal yang sama pun terjadi saat kuliah pertamanya tadi. Wajah dan kata-kata Cello berputar di benak Amara terus-menerus. Gadis itu juga menyesal karena tak melakukan apa pun.Semestinya