Amara tidak akan sanggup andai diminta bertukar tempat dengan Sophie meski cuma dalam hitungan jam. Apalagi saat dia mendengar Brisha bertanya tentang perasaan Sophie terhadap sang ayah.
“Andai bisa, memang pengin banget benci sama orang yang udah nyelakain ibuku sampai kayak begini, Sha. Tapi, apa itu ada gunanya? Benci sama seseorang cuma bikin jiwaku sakit. Hidupku nggak akan bisa nyaman.” Sophie memandang kedua sahabatnya dengan ketenangan yang mengagumkan. Meski dia tidak mampu menahan suaranya yang terdengar bergetar. “Aku akhirnya cuma bisa berterima kasih. Karena tanpa Ayah aku mustahil bisa berada di depan kalian saat ini.”
Kata-kata Sophie itu membuat Amara memeluk sahabatnya. Tenggorokan Amara terasa penuh tapi dia tetap tak bisa menitikkan air mata.
Amara melihat sosok Sophie yang berbeda jauh dari apa yang ditampilkan gadis itu sehari-hari. Keceriaan Sophie benar-benar mendebu, berganti rupa dengan keseriusan yang seharusnya
Amara tidak berselera melakukan aktivitas apa pun di luar olahraga. Dia bahkan sempat membolos kuliah hingga dua hari dan mengabaikan pertanyaan dari Merry. Gadis itu merasa dia berhak untuk berduka sendiri dengan cara yang dipilihnya. Untung saja ibunya sekarang ini jauh lebih pengertian dan tak pernah lagi mendesak atau memaksakan keinginan. Sejak tahu bahwa Amara nyaris mengakhiri hiddupnya, Merry berubah lebih sabar dan menahan diri.“Apa kamu sakit, Mara?” tanya Ika yang sengaja datang ke kamar gadis itu, di pagi kedua Amara membolos. “Kamu belum keluar kamar untuk sarapan. Padahal ini udah lumayan siang. Mau dibawain sarapan ke sini? Saya tadi bikin nasi goreng teri medan.”Air liur Amara seolah berkumpul di mulut saat mendengar menu yang dimasak Ika pagi ini. Dia dan almarhum ayahnya adalah penyuka nasi goreng teri medan. “Nanti aku makan di dapur aja, Mbak. Aku nggak apa-apa, kok. Cuma lagi sedih aja.”Tanpa diminta, A
“Ada apa?” tanya Amara tanpa basa-basi.“Aku nggak sempat ngomong sama kamu kalau aku terpaksa berangkat ke Korea bareng papaku. Maaf, ya. Semua serba terburu-buru. Hapeku ketinggalan di kasur pas lagi beres-beres mau pergi. Baru ngeh waktu udah di bandara. Itu pun gara-gara aku mau nelepon kamu. Kukira ponsel ada di kantong, ternyata nggak ada. Mau balik lagi ke rumah pun udah nggak mungkin. Mau pinjam hape Papa, aku nggak hafal nomormu. Jadinya ya udah, nggak bisa ngabarin sama sekali.”Amara tidak menutupi kekagetannya. “Selama ini kamu pergi ke Korea?”Ji Hwan mengangguk. “Kami menghadiri pemakaman kakak tertua papaku yang tinggal di sana. Beliau mengalami kecelakaan. Tadinya Papa ingin pergi sendiri tapi aku nggak tega. Karena kayaknya Papa lagi sedih banget. Makanya kutemenin. Kami nyampe Jakarta tadi malam. Tadinya mau buru-buru nelepon kamu tapi udah terlalu malam. Kupikir, mending ngomong langsung aja.”
Ji Hwan tersenyum, membuat Amara terkesima. Dia tidak mengira jika ajakannya bisa membuat mata cowok itu berbinar lembut. Kemuramannya agak menyusut. Dan fakta itu membuat Amara tidak mampu menghalau rasa girang yang melanda dadanya. Seketika dia melupakan semua perasaan sakit karena Ji Hwan seolah menghilang selama berhari-hari. Karena kini Amara tahu jawabannya. Dan dia percaya bahwa cowok itu tidak berdusta.“Kamu atau aku yang nyetir?” tanya Ji Hwan. “Aku aja, ya?”“Oke,” balas Amara pendek. Dia menyerahkan kunci mobil yang masih berada di tangan kanannya.Gadis itu setengah memejamkan mata saat berbalik ke arah mobilnya. Dia takut akan berubah pikiran dan membuat keputusan yang bisa mengecewakan Ji Hwan. Entah kenapa, membayangkan bahwa dia akan membuat cowok itu bersusah hati malah menciptakan riak tidak nyaman yang membanjirinya.“Apa kamu cukup hafal jalanan di sini, Ji Hwan?” tanya Amara seraya mema
Ji Hwan bersuara, “Kenapa harus berkali-kali minta maaf, Mara? Aku malah suka kalau kamu banyak bicara. Aku senang kalau kamu mau berbagi banyak hal.”Amara tersipu-sipu lagi. Entah kenapa. Dia bahkan tak kuasa membalas ucapan Ji Hwan. Gadis itu masih menunduk sembari menahan diri agar tak tersenyum lebar.“Makasih karena udah percaya sama aku. Maksudku, karena kamu udah berkenan cerita tentang dosenmu. Aku memang pengin tahu banyak hal tentang kamu, Mara.”Amara benci karena dia kesulitan bicara sebagai respons kata-kata Ji Hwan. Cemas dia malah lebih banyak melontarkan kalimat yang dungu, gadis itu memilih untuk mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Suara ponselnya yang menandakan pesan masuk, sempat menginterupsi. Namun Amara memilih untuk mengabaikannya. Sementara itu, mobil yang dikemudikan Ji Hwan itu pun mulai bergerak meninggalkan area parkir.“Mara, boleh aku minta satu hal?” tanya Ji Hwan tiba-tiba. Amara kembali
Gedung luar milik Griya Cokelat yang menjulang di depan mereka membuat Amara tidak sempat terlalu lama teraduk oleh perasaan tidak nyaman. Hati gadis itu terhibur melihat antusiasme yang ditunjukkan Ji Hwan. Setidaknya hari ini Amara berhasil mengusir kemuraman yang tadi dilihatnya di wajah cowok itu.Amara mengajak Ji Hwan menuju pabrik cokelat yang bisa dimasuki pengunjung. Seorang pemandu langsung menyambut keduanya dengan senyum lebar yang menyiratkan keramahan. Aroma cokelat menggantung di setiap sudut ruangan luas itu.Keduanya menyaksikan bagaimana para pekerja melakukan aktivitasnya untuk membuat aneka penganan berbahan dasar cokelat. Semua kudapan itu bisa didapat di kafe. Jika ingin, pengunjung bahkan bisa memesan ukuran dan bentuk makanan yang diinginkan secara khusus. Sayangnya, Griya Cokelat tidak melayani pembelian secara online. Semua pembeli harus datang ke gedung itu dan memilih sendiri yang mereka inginkan.“Mara, aku lapar,&rdqu
Ji Hwan tidak mampu menggambarkan kelegaan karena Amara tidak menepis tangannya. Barusan ada keberanian gila yang mendorongnya untuk menggenggam jemari langsing Amara. Bukannya Ji Hwan tidak cemas Amara akan memaki atau meninjunya. Atau minimal meninggalkannya sendiri di Griya Cokelat.Meski demikan, Ji Hwan tetap memberanikan diri melakukan aksi itu tanpa pikir panjang. Menurut cowok itu, dia harus mengambil risiko itu jika tidak ingin hubungan mereka cuma jalan di tempat. Dan melihat respons Amara, rasa bahagia yang membanjiri Ji Hwan itu terlalu sulit untuk diuraikan dengan kata-kata.“Dari ini, kamu mau ke mana lagi? Ada tempat lain yang ingin dituju?” tanya Ji Hwan. Cowok itu mengecek arlojinya. Saat itu sudah hampir pukul satu. “Perutku kenyang, tapi aku tetap ingin makan sesuatu yang agak pedas.”Amara tersenyum sembari menatap Ji Hwan. Mereka masih berjalan bersisian menuju area parkir, tempat mobil Amara terparkir. “S
Ji Hwan bukannya tidak gentar dengan perasaannya. Dia belum pernah berhadapan dengan emosi seintens ini. Entah kenapa, Amara begitu berbeda di matanya. Hati cowok itu pun yakin jika dia membutuhkan Amara. Seakan gadis itu menjadi kepingan pelengkap yang akan menyempurnakan sukmanya.Ah, mungkin itu kata-kata gombal yang terdengar murahan. Namun Ji Hwan tak peduli jika memang dianggap demikian. Karena nyatanya, Amara memang sepenting itu baginya. Gadis itu membuatnya merasai emosi yang tak pernah dikecapnya sebelum ini.Perasaan yang aneh dan tak mampu dienyahkan Ji Hwan begitu saja. Terutama setelah makan malam di Wonderful Treehouse malam itu. Melihat Amara bisa bersikap santai membuat perasaan Ji Hwan kian menggemuruh. Tawa dan senyum gadis itu mirip hadiah utama dari sebuah undian berisiko yang nekat diikutinya.“Memangnya di rumahmu sering masak menu Indonesia, ya? Maksudku, waktu kamu ada di Singapura?” tanya Amara lagi.“Iya. Asist
Ji Hwan berharap bahwa Amara tidak serius dengan ucapannya barusan. Awalnya, dia mengira jika gadis itu cuma bercanda. Namun akhirnya dia tahu bahwa Amara tidak sedang bergurau. Apalagi, gadis itu memberi penegasan kemudian.“Hmmm ... iya. Karena kamu kan ngilang begitu aja. Kukira, kamu udah menuntaskan rasa penasaranmu. Kamu udah tahu seperti apa rasanya makan malam denganku, gadis galak yang suka marah tanpa alasan jelas,” imbuh Amara dengan tatapan tertuju ke depan.Ji Hwan terperangah. Dia menoleh ke kiri dan mendapati siluet wajah Amara dengan ekspresi seriusnya. “Kamu kira seperti itu?” tanyanya tak percaya.Amara menggumamkan sesuatu yang ditangkap Ji Hwan sebagai “Iya, tentu saja”. Sekedip kemudian cowok itu tergelak kencang hingga menghabiskan waktu berdetik-detik. Cemas akan konsentrasinya yang terbelah, Ji Hwan akhirnya menepikan mobilnya. Ditatapnya Amara yang tampak serbasalah dengan wajah memerah maksimal.