Amara menutup mulut dengan tekad bulat, sehingga dia tidak akan menunjukkan ekspresi terkejut dengan bibir ternganga. Kian banyak kata-kata yang terlontar dari bibir Ji Hwan, kian terpana saja Amara karenanya. Suara ponsel kembali menginterupsi. Kali ini Amara memutuskan untuk menjawab. Sophie benar-benar menepati janji dengan ketepatan yang membuat takjub.
“Mara, kamu di mana? Mama baru pulang dan satpam bilang kamu pergi bareng seorang cowok. Mama mau nanya Ika tapi dia lagi ke supermarket dan belum ketemu Mama. Nggak terjadi sesuatu, kan?” Suara cemas Merry langsung menusuk telinga Amara. Dia mengira Sophie yang menelepon sehingga tidak memerhatikan nama yang tertera di layar.
“Sebentar, Ma,” pinta Amara. Dia pamit pada Ji Hwan dengan isyarat, beranjak dari kursi yang didudukinya dan agak menjauh dari meja makan.
Suara ibunya dipenuhi kecemasan. Itu bukan hal yang aneh. Karena sejak kembali ke Jakarta, tak sekalipun Amara pernah mening
“Oh, syukurlah. Aku betul-betul hepi kalau kamu suka.” Ji Hwan bersandar seraya menarik napas lega. “Omong-omong, aku punya pengakuan, Mara.”“Apa?” Amara kembali menggigit hamburgernya. Dia benar-benar harus meralat opini tentang menu yang tadinya dianggap tidak menarik sama sekali. Mungkin karena makanan bernama hamburger itu bukan menu yang dianggapnya istimewa. Apalagi, Amara tak asing dengan santapan ini karena ayahnya sendiri membangun restoran hamburger.Amara menyukai hamburger tapi bukan dalam kadar luar biasa. Bahkan sejak kembali ke Jakarta, ini kali pertama dia kembali mencicipi menu itu. Meski selama ini sesekali Amara masih mengunjungi restoran keluarganya. Namun dia sudah lama tak menikmati menu utama yang disajikan di sana.“Tadi katanya punya pengakuan buatku,” cetus Amara setelah menyadari bahwa Ji Hwan tak juga angkat bicara.“Sejak menjemputmu tadi, dadaku rasanya hampir rontok. Aku
Ji Hwan tidak pernah merasakan kelegaan sekaligus rasa senang demikian besar hanya karena seseorang memuji masakannya. Yah, meski kali ini dia hanya memasak menu simpel yang bumbu-bumbunya sudah disiapkan dan tak membutuhkan keahlian khusus.Tanpa bermaksud sombong, Ji Hwan cukup tahu bahwa dirinya berbakat untuk urusan memasak. Entah berapa banyak teman dan keluarga yang menyarankan agar dia berkarier sebagai seorang chef profesional saja. Sayang, Ji Hwan jauh lebih tertarik untuk menekuni dunia komputer. Baginya, kemampuan memasak seseorang tak harus dijadikan sebagai pilihan karier. Karena bagi cowok itu, memasak hanya sekadar hobi belaka.“Aku senang banget kalau kamu suka, Mara,” ucapnya kemudian. Ji Hwan bukannya tidak menyadari ekspresi kaku yang tercetak di wajah Amara setelah gadis itu memberi pujian tadi. Akan tetapi, Ji Hwan memilih untuk berpura-pura tidak tahu saja. Tebakannya, Amara merasa tak nyaman karena bicara dengan lepas dan men
Amara menggeleng dengan bibir mengulas senyum. Ji Hwan memikirkan sesuatu yang mungkin berlebihan tapi tak kuasa untuk dilenyapkannya. Dia mulai yakin bahwa cahaya matahari pun bisa kalah menyilaukan jika dibanding dengan senyum cerah Amara yang merayap hingga ke matanya. Gadis itu begitu menawan jika saja tak berekspresi murung.“Sebelum Amara cuti kuliah, banyak cowok-cowok di fakultas kita yang naksir dia. Aku dengar cerita dari teman-teman, sih,” beri tahu Ronan beberapa bulan silam. “Tapi memang Amara nyantai banget. Nggak ada yang ditanggapi. Tapi setelah cuti, anaknya jadi beda banget. Nggak tau kenapa.”“Aku yakin sih, banyak cowok yang suka Amara,” kata Ji Hwan kala itu. “Tapi apa memang dulunya dia cewek yang santai? Nggak pendiam dan murung kayak sekarang?”“Aku kan cuma dengar cerita dari beberapa teman. Nggak tau jelasnya juga. Tapi Brisha kan memang udah temenan sama Amara lumayan lama. Brisha p
Ucapan Amara itu membuat Ji Hwan melongo. “Mengajak cewek? Astaga!” sergah Ji Hwan cepat. Cowok itu buru-buru menggeleng.“Itu apa maksudnya?” Amara tampak kebingungan. Ji Hwan segera menyadari bahwa kata-katanya tidak akan dimengerti dengan baik oleh si pendengar. Karena dia tidak menggunakan kalimat yang lengkap.“Maksudku, aku nggak pernah ngajak cewek lain ke sini atau ke restoran unik lainnya. Selama ini, aku bahkan nggak terpikir untuk melakukan hal kayak begini. Tapi tadi aku mendapat ide untuk mengajakmu ke tempat yang istimewa. Minimal, bisa jadi tempat yang akan kamu ingat dalam waktu lama. Tentunya dalam hal yang positif. Pokoknya, aku pengin bikin kamu hepi.”Wajah Amara tampak memerah. Bahkan di bawah sinar lampu yang tidak benderang pun Ji Hwan bisa melihat dengan jelas. Dia mulai berpikir apakah kata-katanya terlalu berlebihan? Cowok itu memaki dirinya sendiri yang gagal memilih kalimat netral. Di depan Amara, s
“Kamu juga melakukan hal yang sama. Maksudku, aku juga ingin mendengar ceritamu. Supaya impas,” ucap Amara.Ji Hwan mengangguk tanpa berpikir dua kali. Dia tak memiliki rahasia yang harus disimpan. Lagi pula, hidup Ji Hwan tidak pernah meleati hal-hal yang dramatis. Mungkin, gelombang paling tinggi dalam dunianya adalah saat orangtuanya bercerai. Karena itu, dia merespons dengan antusias. “Itu hal yang mudah banget, Mara. Jadi, tentu aja aku setuju. Asal nanti kamu nggak bosan aja dengar ceritaku. Eh, tapi kamu yang dapat giliran pertama, ya?”Amara menyesap minumannya sekali lagi sebelum mulai bercerita. Seakan ingin menenangkan kegugupan yang mungkin melandanya. Ji Hwan menunggu dengan kesabaran yang bahkan mengagetkan untuk dirinya sendiri.“Namaku Amara Izabel. Saat ini umurku baru dua puluh satu tahun. Aku cewek biasa yang tidak punya keterampilan mengesankan di bidang tertentu. Prestasi di sekolahku pun biasa aja. Aku punya du
Ji Hwan mengabaikan kalimat terakhir gadis itu. Katanya,” Aku dan adik tiriku nggak akrab karena tinggal berjauhan. Aku merasa itu salah satu faktor utamanya. Sejak kami pindah ke Singapura, aku cuma beberapa kali ketemu sama Mama. Aku sih nggak tau pasti alasan orangtua cerai, Mara. Tapi, setelah mereka pisah, hubungan mama dan papaku nggak bisa dibilang baik-baik aja. Memang, nggak sampai saling menjelekkan atau rebutan hak asuh anak, sih. Cuma jadi kaku banget dan ngaruh ke aku dan kakakku.”Amara manggut-manggut. “Aku nggak bisa ngebayangin gimana rasanya kalau orangtua bercerai. Tapi pasti sakit banget untuk anak-anaknya. Karena mau nggak mau dipaksa milih untuk tinggal dengan salah satunya. Entah karena keputusan pengadilan atau kesepakatan di antara pasangan yang memilih pisah.”Ji Hwan setuju dengan ucapan Amara itu. Namun, dia tak mungkin membahas bahwa orangtuanya bercerai karena sang ibu berselingkuh dengan teman lama yang kini
Amara baru menyadari apa yang sudah diucapkannya setelah Ji Hwan pulang. Dia sempat berdiri terpaku di halaman, menyaksikan punggung Ji Hwan menghilang di kegelapan malam. Hingga ponselnya berbunyi lagi untuk kesekian kalinya. Dan saat melihat nama Sophie tertera di layar, Amara segera menjawabnya.“Aku udah pulang ke rumah dalam keadaan luar biasa baik dan tak kurang suatu apa pun,” canda Amara. “Semuanya aman terkendali. Jadi, kamu bisa berhenti mencemaskanku sekarang, Soph. Makasih banget, ya.”“Kamu cuma mau bilang itu? Nggak ada laporan lengkap?” sindir Sophie. Gadis itu tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya. Dan itu berhasil memancing tawa geli Amara.“Aku masih harus ngadepin interogasi mamaku karena tadi belum pulang waktu aku pergi. Jadi, energiku pasti bakalan terkuras. Giliranmu besok aja, ya?”“Mana aku sabar nunggu sampai besok, Mara,” keluh Sophie.Setelah “tawar-m
Jika dipikir lagi, entah alasan apa yang membuat Amara bisa merasa nyaman di depan Ji Hwan. Meski awalnya dia sempat merasa menyesal karena naik ke boncengan cowok itu, perasaan itu cuma mampu bertahan kurang dari tiga menit. Setelahnya, merasakan angin menampar wajahnya dan meski posisi duduknya tidak benar-benar nyaman, Amara mulai bisa menikmati perjalanan itu.“Aku beneran nggak nyangka kalau makan malam bareng Ji Hwan ternyata memang mengasyikkkan. Tadinya kukira nggak akan betah sama sekali,” gumam Amara lagi. “Awalnya, tetap mau pergi karena nggak enak aja udah dua kali janji. Masa harus dibatalin lagi? Untungnya semua lancar dan aku mungkin akan nyesal kalau tadi nggak pergi bareng Ji Hwan,” ocehnya panjang.Diam-diam gadis itu mengulum senyum karena dia bisa bicara sepanjang itu pada diri sendiri.Amara sampai letih membolak-balikkan tubuh seraya mencari alasan yang paling logis untuk semua yang terjadi malam itu. Sayangnya dia g