Pertanyaan itu membuat Amara sempat menahan napas. “Maksudnya ‘serius’ itu apa, Ma? Kalau itu artinya kami bakalan segera nikah atau minimal bertunangan, itu salah besar. Umur kami baru berapa, sih? Nggak kepikiran sampai ke sana. Tapi aku sih ngejalanin hubungan ini bukan untuk iseng doang. Artinya, aku akan pegang komitmen dengan sungguh-sungguh, Ma. Nggak akan selingkuh, contohnya.” Gadis itu mencebik ke arah ibunya. “Ah, kadang aku jadi merasa serbasalah. Pacaran, salah. Nggak pacaran pun salah juga.”
Merry mengacak-acak rambut putrinya hingga Amara mengajukan protes dan menjauhkan kepalanya.
“Jangan salah paham, Nak! Mama hepi banget karena kamu akhirnya bisa jatuh cinta, nggak fobia kalau berhadapan sama cowok. Tapi, apa kamu yakin kalau Ji Hwan memang yang terbaik?” tanya Merry dengan nada hati-hati. “Eh, tapi ini nggak ada kaitannya soal acara malam tahun baru nanti lho, ya. Izinnya tetap berlaku
Setelah Merry pulang, Sophie dan Amara diajak ke halaman samping yang luas dan diperkenalkan dengan para sepupu Ji Hwan yang sudah datang. Ronan juga sudah datang dan sedang duduk di salah satu kursi lipat yang nyaman. Melihat sepupu Brisha itu membuat Amara kian tenang karena ada orang lain yang dikenalnya selain Sophie dan sang pacar.“Brisha beneran nggak ikutan? Ada acara apa di rumahnya, sih?” tanya Sophie begitu bertemu Ronan. Yang ditanya malah menggeleng dengan raut muram.“Nggak ada acara apa-apa. Palingan Brisha mau tahun baruan bareng pacarnya. Anak itu makin nggak asyik sekarang ini,” komentar Ronan.“Nggak asyik gimana?” Amara balik bertanya.“Aku udah nggak bisa bolak-balik main ke rumahnya kayak dulu. Brisha ngingetin kalau aku jangan terlalu sering ke sana. Trus kalau agak lama dikit di rumahnya, buru-buru disuruh pulang. Bisa nebak alasannya?” Ronan menatap Sophie dan Amara bergantian.
Sejak sore sebenarnya Amara sudah dilanda kecemasan yang memberi efek mirip obat pencahar bagi perutnya. Dia tahu kalau kemampuannya menyesuaikan diri dengan orang-orang baru tergolong mengkhawatirkan. Amara takut dia akan membuat Ji Hwan merasa tidak nyaman saat diperkenalkan dengan keluarga cowok itu. Atau bahkan sampai malu. Amara bahkan sempat tergoda ingin membawa beberapa buah lolipop.Seperti biasa, Sophie memilih menjadi penyelamat yang berusaha membuat Amara lebih percaya diri. Entah berapa banyak kalimat penyemangat yang diucapkan gadis itu sejak datang ke rumah Amara. Hingga Amara tahu bahwa dia tidak punya pilihan selain menepati janjinya pada Ji Hwan.“Masa-masa ngemut lolipop itu berlalu ribuan tahun silam, Mara. Anggap aja sebagai masa transisi dari Amara yang suka cemas jadi Amara yang berani. Percaya sama aku, semua bakalan baik-baik aja tanpa kendala berarti. Kalaupun ada sedikit masalah, ada aku yang bakalan selalu nemenin kamu.”A
Sebagai tuan rumah, Ji Hwan dan ayahnya sudah menyediakan aneka makanan yang memanjakan lidah. Meski Amara dan Sophie mengaku sudah kekenyangan, tak membuat keduanya berhenti mengunyah. Apalagi saat disajikan aneka cake potong ukuran kecil yang baru datang belakangan. Amara bahkan ketagihan setelah mencoba sepotong cake cokelat berkaramel. Belum lagi aneka buah dan salad dalam beberapa mangkuk ukuran besar.“Kenapa tiap setengah jam ada makanan baru?” komentar Sophie sambil melahap cake vanila bertabur kacang mede.“Mungkin ini bagian dari menjamu tamu ala keluarga Ji Hwan,” sahut Amara asal-asalan. “Perutku beneran udah penuh tapi mulutku nggak bisa berhenti mengunyah.”“Sama,” komentar Sophie dengan mulut penuh.Perhatian Amara teralihkan karena Ji Hwan mendatangi mereka dengan sebuah piring berisi jagung dan sosis panggang. Ronan menggantikan cowok itu mengurusi barbeque
“Serius? Kalau kamu beneran tertarik, ntar kita praktik di sini atau di mana pun kamu mau, Soph,” respons Ji Hwan, ikut antusias. Amara mendadak merasa tidak nyaman. Wajahnya berubah muram hanya dalam waktu sepersekian detik.“Kenapa kamu kok malah cemberut, Heartling?” tanya Ji Hwan dengan suara lembut. Saat itu Sophie kembali beranjak dari kursinya untuk mengambil camilan lagi.“Aku tau kamu bakalan ngomong apa. Tapi kadang aku tetap merasa agak terganggu karena nggak punya kemampuan oke urusan dapur. Aku nggak kayak Sophie. Dia jago masak. Kadang aku....”Ji Hwan tidak memberi kesempatan kepada Amara untuk menggenapi kalimatnya. “Oke, Sophie jago masak. Trus, apa masalahnya? Tiap orang punya kelebihan masing-masing. Juga kekurangan. Kamu itu udah sempurna, Mara. Kamu sempurna karena punya kekurangan.”Amara terhibur dengan cara Ji Hwan membangkitkan semangatnya. Senyumnya merekah kemudian, mengusir rasa t
“Nanti, kita bisa ngeliat kembang api dengan leluasa dari halaman belakang. Ada semacam gazebo yang cukup tinggi di sana. Papaku suka duduk di sana saat sore atau malam hari,” beri tahu Ji Hwan. Cowok itu bangkit dari kursinya. “Aku masih harus ngurusin daging panggang dan sebagainya sampai setengah jam ke depan. Kalau kamu pengin sesuatu, ngomong aja ya, Heartling.”“Oke,” jawab Amara sembari menahan jengah. Diam-diam dia berdoa semoga tak ada sepupu Ji Hwan yang mendengar panggilan sayang dari cowok itu untuknya. Gadis itu merasakan senggolan di lengan kiri setelah Ji Hwan menjauh.“Gimana rasanya, Mara?” tanya Sophie tanpa menjelaskan lebih lanjut.“Gimana apanya?” Amara menaikkan alis sambil menatap sahabatnya.“Gimana rasanya bolak-balik merasa jengah karena dirayu Ji Hwan? Mukamu dari tadi berubah warna melulu. Sebentar merah sebentar normal,” komentar Sophie dengan nada santai.
“Kamu kedinginan, ya? Kenapa tadi nggak bawa jaket?” tanya Ji Hwan penuh perhatian. “Atau, mau kupinjemin jaket bersih?”Amara menggeleng seraya melihat sekilas ke arah kemeja sweter tipis dengan lengan panjang yang membungkus tubuhnya. “Aku nggak kedinginan dan bajuku udah memadai.” Amara agak mendongak ke kiri, mengalihkan tatapannya ke arah Ji Hwan. “Aku cuma penasaran. Apa kamu punya obsesi sama rambutku, ya?” kelakarnya.Cowok itu menyipitkan mata sekilas sebelum menjawab dengan suara rendah agar cuma Amara yang mendengarnya. “Ya, tentu aja. Bukan cuma sama rambutmu, sih. Tapi sama cewek yang namanya Amara Izabel. Satu paket lengkap.”Amara tersenyum simpul. “Eh, iya, baru ingat. Kamu nggak ngomong hal-hal aneh tentang kita sama papa dan keluarga besarmu, kan?” Itu pertanyaan yang sudah mengendap sejak Amara baru menginjakkan kaki di rumah bergaya kolonial tersebut.“Hal an
Sophie dan Ronan sedang mengobrol dengan beberapa orang sepupu Ji Hwan, tepat di sebelah alat pemanggang. Amara tak ingin mengganggu sahabatnya. Karena itu, dia langsung melewati pintu yang sudah dibukakan oleh Ji Hwan.Setelah melewati ambang pintu, Amara langsung berhadapan dengan ruang makan yang didominasi warna dawn glow. Ji Hwan menunjuk salah satu pintu yang tertutup dengan tangan kanannya yang bebas.“Heartling, kamar mandinya yang itu. Aku tunggu di sini, ya?”Amara mengangguk. Dia melangkah ke arah pintu kamar mandi. Di belakangnya, Amara mendengar ponsel Ji Hwan berbunyi. Lelaki itu bicara di gawainya selama beberapa saat.“Heartling, kalau kamu udah kelar dari kamar mandi, langsung keluar lagi aja, ya? Aku mau ke halaman samping sebentar. Ini ada yang datang nganterin makanan dari mamaku.”“Oke,” sahut Amara sebelum menutup pintu kamar mandir yang ternyata cukup luas itu. Gadis itu bertahan d
Ji Hwan menatap Amara dengan perasaan bingung. Kening cowok itu berkerut. Bukan pertanyaan Amara yang mengusiknya. Melainkan karena sikap gadis itu yang tak biasa. Dia bisa memindai wajah gadisnya yang memucat meski Amara tak memandang ke arahnya. Rasa tidak nyaman dalam sekedip pun bersarang di dadanya. Namun dia harus menjawab pertanyaan Amara lebih dahulu sebelum mencari tahu perubahan sikap Amara yang begitu jelas.“Kamu kenal Cello?” tanyanya. “Aku nggak tau kalau kamu kenal dia. Maaf ya, harusnya tadi kalian kukenalin. Cello tadi datang untuk nganterin makanan dari Mama. Padahal aku udah bilang sama Mama, nggak perlu repot-repot karena di sini udah banyak makanan. Tapi Mama udah pesan dan kurirnya salah antar. Bukannya diantar ke sini, malah dikirim ke alamat pemesan. Alhasil, Cello terpaksa nganterin ke sini walau udah tengah malam gini.”Ji Hwan menatap ke depan, ke arah kembang api yang sedang menghiasi langit. Jika mereka naik ke gazeb