“Udah delapan bulan, Co. Awalnya, aku disuruh ke Medan. Karena katanya aku bakalan sekolah sambil kerja di sana. Baru sehari di Medan, tau-tau aku dibawa ke sini. Waktu itu, ada tiga orang cewek lain yang juga sama kayak aku. Sampai di sini, kami diajak ke salon untuk potong rambut. Dibeliin baju, parfum, sepatu, sampai tas. Aku kan cuma bawa pakaian seadanya, nggak terlalu bagus juga. Karena keluargaku hidupnya susah. Jangankan beli baju bagus, untuk makan aja kesulitan, Co.”
Perasaanku makin tak keruan. Apalagi ketika Nilla bercerita tentang hari-hari yang harus dilaluinya selama berada di kota kesayanganku ini. Nilla dilarang menghubungi keluarga, belum lagi keharusan untuk melayani sejumlah pria hidung belang setiap harinya. Jika ketahuan membangkang, harus siap mendapat hukuman. Masih menurut Nilla, dipukuli sudah menjadi hal yang lumrah baginya dan teman-temannya.
“Kami berdelapan, semua tinggal satu rumah kos-kosan. Bos dan istrinya yang jadi i
Gurauan Levi mencairkan ketegangan yang terentang di udara. Tawa geliku pun pecah. Begitu juga dengan Marco dan Nilla.“Kurasa, kami semua memang kekurangan gizi, Bang. Bukan cuma aku aja,” gumam Nilla setelah tawanya reda. Suara lirihnya membuatku makin sedih. “Karena tiap hari kami cuma dikasih makan maksimal dua kali. Itu pun lebih sering pakai tahu, tempe, atau tumisan sayur doang,” imbuh gadis itu lagi.Levi meringis sambil kembali menoleh ke belakang. “Umurmu berapa, sih?”“Baru masuk enam belas tahun, Bang.”“Enam belas?” ulang Levi, tak percaya. Tatapan tak berdayanya kemudian diarahkan kepadaku. Sementara aku cuma bisa menggeleng pasrah, tanda tak habis pikir.“He-eh. Aku anak sulung, punya adik tiga. Makanya pengin sekolah supaya bisa biayain adik-adikku. Aku nggak mau hidup susah terus.” Nilla menghela napas. Kepalanya menempel di bahuku. “Selama di sini, semua
“Aku mau cuci muka dulu, ya?” kata Levi, memecah kesunyian. “Butuh air dan udara segar supaya tetap waras. Aku salut sama kamu, Co. Udah sering ketemu cewek-cewek kayak Nilla, tapi kamu bisa tetap santai.”“Santai apaan? Kepaksa, tau! Karena aku nggak boleh pingsan atau muntah di depan mereka. Yang ada, mereka malah nggak mau terbuka kalau aku kagetan,” Marco beralasan.Levi mengacungkan jempol kanannya. “Marco memang nggak ada lawan. Beruntung kamu Nef, punya pacar langka kayak gini. Sebelas dua belas sama orang utan. Harus dilestarikan. Jadi, tolong jangan sakiti sahabatku, ya?”“Astaga,” aku mengerjap. Sementara Marco hanya geleng-geleng kepala, tak sanggup marah pada Levi yang sudah menjauh dengan langkah-langkah panjang. Marco sempat berbalik untuk kembali ke mobil. Dia mengambilkan tas selempangku yang masih tergeletak di jok mobil, sebelum menutup pintunya. Aku bahkan lupa sudah meninggalkan task
Banyak yang terjadi dalam hidupku selama liburan semester ini. Mulai dari menunggui kelahiran Noni hingga membantu menyelamatkan Nilla yang kini menetap di Puan Derana. Tiap kali aku ke sana, gadis itu langsung menemuiku dengan wajah semringah. Eh, jangan lupa hal terpenting yang juga terjadi padaku. Yaitu, memiliki pacar.Kondisi Sonya sudah membaik. Dia tak lagi mengurung diri di kamar. Meski tak pernah menyusui Noni karena ASI-nya tak lagi keluar, gadis itu makin rajin menggendong putrinya. Sonya bahkan sudah ahli mengganti popok, membuat susu, hingga menenangkan Noni jika rewel. Itu fakta yang sangat menggembirakan.“Kayaknya pelan-pelan Sonya mulai bisa menerima Noni ya, Co,” kataku pada Marco. Cowok itu mengangguk untuk membenarkan.“Memang. Perkembangannya pelan tapi bagus. Semua orang senang karena Sonya sekarang lebih tenang dan santai. Keliatan juga kalau dia mulai sayang sama Noni,” ujar Marco.“Iya. Aku ikut hepi
Aku benar-benar bersyukur karena tidak ada kendala berarti. Dosen pembimbingku adalah Bu Tiur Sidabutar yang gampang dihubungi dan tak pernah keberatan jika diajak berdiskusi. Beliau orang yang sangat kooperatif dan selalu bicara dengan suara lembut. Tanpa bermaksud rasis, itu adalah fakta yang bertolak belakang dibanding tipikal orang Batak pada umumnya, terutama yang tinggal di Sumatera Utara. Aku sendiri yang sama sekali tak memiliki darah Batak, tak bisa bicara dengan suara pelan.Bu Tiur bukan tipe dosen rewel yang banyak menuntut. Judul, tema, dan isi bab yang kuajukan langsung disetujui. Hanya ada sedikit koreksi agar isi skripsiku lebih fokus dan tajam, tidak melebar ke mana-mana.Sebenarnya, aku sempat cemas setengah mati sebelum semester baru dimulai. Pasalnya, aku sudah mendengar banyak cerita horor dari kakak tingkatku di masa lalu, tentang kesulitan menyusun skripsi. Seringnya terganjal pada restu dosen pembimbing. Bahkan, menentukan judul saja bisa memaka
“Aku ceroboh luar biasa hari ini. Beberapa kali aku malah kayak ngasih poin untuk Dito. Kontrol bolaku pun jelek. Tadi kamu liat sendiri, kan? Lebih dari sekali kubiarin bola jatuh di lapangan karena mengira posisinya ada di luar garis. Ternyata nggak. Netting-ku pun parah, gagalnya terlalu sering.”“Aku nggak setuju. Buatku, kamu udah berusaha semaksimal mungkin. Berjuang mati-matian. Kadang, faktor X memang nggak bisa dijelasin, Co. Hari ini, Dewi Fortuna berpihak sama Dito,” gumamku pelan.Cliff yang datang menonton bersama Joyce, memiliki cara yang lebih jitu untuk menghibur Marco. Setelah kami meninggalkan gedung olahraga sore itu, dia mentraktir kami semua untuk makan malam. Awalnya, cowok itu mengusulkan untuk makan di restoran steak yang baru dibuka. Lokasinya tak terlalu jauh dari toko roti legendaris di Pematangsiantar, Roti Ganda. Namun, Levi menolak usul itu mentah-mentah.“Ngapain sih makan steak
Kami akhirnya makan malam di restoran padang yang letaknya tak terlalu jauh dari kampus, duduk berenam mengelilingi meja yang dipenuhi makanan menggiurkan. Sebenarnya, restoran berlabel Lamak Bana itu tidak khusus menyajikan menu ala padang. Melainkan juga masakan melayu. Namun, para cowok memilih tempat itu dengan alasan jaraknya yang tak terlalu jauh.Karena itu, aku menyantap sayuran berbeda. Alih-alih mencicipi daun singkong rebus dan gulai kapau, aku memilih anyang pakis yang juga tersedia.Setelah mulai makan, barulah aku tahu alasan Levi mengajukan usul yang sempat ditentang Cliff tadi. Baru paham juga mengapa mereka memilih Lamak Bana yang notabene menyiapkan masakan yang tak terlalu pedas untuk lidahku.Marco memang tak punya waktu untuk terus memikirkan kekalahannya dari Dito karena cowok itu terlalu sibuk melawan rasa pedas di mulutnya. Menyantap komposisi nasi padang dengan rendang daging sebagai lauk utama yang sengaja dipilihkan oleh Yu
“Mulai sekarang, aku bakalan sering ngajak kamu ke resto padang,” gurauku pada Marco. Kami baru tiba di depan gerbang Rumah Borju. “Ide Levi beneran keren. Betemu karena pertandingan tadi udah berkurang, kan?”Marco tertawa kecil. “Iya, sih. Itu cara aneh yang udah lama kulupain. Dulu, anak-anak taunya nggak sengaja. Aku pun nggak ingat awalnya seperti apa. Sejak itu, mereka sering ngajak makan nasi padang tiap kali aku beneran bete. Levi juga benar, dulu aku gampang kesal. Kadang cuma gara-gara hal sepele, bisa gondok setengah mati. Tapi setelah ikut ngurusin Puan Derana, jadi lebih tenang. Aneh, ya?”Aku tak pernah tahu fakta itu. Namun, aku menghargai karena Marco mau berbagi informasi itu padaku. “Nggak aneh,” kataku. “Tiap orang punya cerita uniknya sendiri. Tapi, aku masih nggak sanggup ngebayangin kayak apa rasanya makan rendang dipadu dengan meses. Apa nggak enek?”“Mungkin lidahku ini mem
Alisku bertaut. “Aku nggak punya nomornya.”“Aku punya.” Vicky mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.“Kalau memang ada perlu, mending kamu aja yang telepon. Aku sungkan karena memang nggak kenal akrab.” Mendadak, aku teringat pada Thea. “Atau, mending Thea aja yang ngontak Bang Redho.”Vicky menggeleng. “Kalau Thea bisa, aku nggak bakalan minta tolong sama kamu. Siapa tau, kali ini dia mau ngangkat teleponnya. Kalau iya, ntar aku yang ngomong.”Kalimat Vicky memang benar. Dia tak perlu minta bantuanku jika Thea tak memiliki kendala apa pun untuk mengontak pacarnya sendiri. Hal itu justru membuatku makin penasaran. Namun, mengajukan banyak pertanyaan pun tak ada artinya. Belum tentu Vicky mau memuaskan rasa ingin tahuku.“Berapa nomornya?” Aku akhirnya mengalah. Kukeluarkan gawaiku dari dalam tas selempang. Vicky menyebutkan angka-angkanya, aku mengulangi sekali lagi sebelum me