“Heartling, ada apa? Kalian mau ke mana? Jangan pulang dulu, kira harus ngobrol,” katanya tanpa basa-basi. “Apa kamu kenal Cello?”
Sophie yang lebih dulu berhenti dan memandang Ji Hwan dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. Amara masih berusaha terus melangkah dan melepaskan tangannya dari genggaman Ji Hwan. Akan tetapi, kemudian Sophie turut menahan tangan kanannya yang bebas. Sehingga Amara tak memiliki pilihan lain kecuali berhenti melangkah.
“Kamu harus ngasih tau Ji Hwan, Mara. Jangan langsung pergi aja,” kata Sophie pelan.
“Ada apa sih sebenarnya? Kenapa kalian mau buru-buru pergi? Kalian mau ke mana? Ini bahkan baru lewat tengah malam.” Ji Hwan berusaha keras menekan dalam-dalam rasa panik yang mulai menyedotnya. “Aku akan nganterin kalian. Jangan cuma pergi berdua.”
Ketika Amara membalikkan tubuh, Ji Hwan terkelu karena melihat pipi gadis itu kembali dipenuhi air mata. Dia mendekat
“Kamu nggak tau sama sekali apa yang dilakuin Cello? Kamu nggak dengar beritanya dari mamamu? Kamu nggak tau kenapa dia sampai pindah ke Austalia?” Amara balik bertanya dengan nada dingin yang tak pernah didengar Ji Hwan sebelumnya. Bahkan saat Amara bersikap judes padanya, nada gadis itu tak seperti sekarang.Pertanyaan Amara itu membuat Ji Hwan makin yakin apa yang akan didengarnya dari Amara. Dia benar-benar tak pernah membayangkan dirinya dan Amara akan melewati ini semua. Namun dia tetap bersuara, menghalau rasa takut yang melemaskan tulang-tulang cowok itu. “Aku beneran nggak tau apa pun. Mama nggak pernah bilang apa-apa terkait Cello. Kayak kubilang tadi, aku nggak dekat sama Cello dan jarang banget ketemu dia. ”Amara bersuara dengan kebencian yang terpentang jelas di wajahnya dan membuat tengkuk Ji Hwan terasa dingin. “Kalau gitu, biar aku yang ngasih tau sama kamu. Cello, adik tirimu yang hebat itu, adalah orang yang udah memerko
Sophie nyaris tidak bicara selama bermenit-menit. Untungnya mereka tak kesulitan untuk menemukan taksi. Amara merasa bersyukur karena mereka tidak melalui area macet. Supir taksi mengetahui jalan memotong yang akan membuat mereka lebih cepat sampai di rumah Amara. Tangan gadis itu saling meremas dengan gerakan gugup yang kentara.Amara tidak tahu bagaimana dia bisa bertahan seperti tadi, tetap berdiri di depan Ji Hwan tanpa kehilangan keseimbangan atau malah pingsan. Bahkan, Amara masih mampu melontarkan beberapa kalimat yang menyakitkan dan menyembilu. Bukan cuma untuk Ji Hwan melainkan juga bagi dirinya sendiri.Namun Amara tidak bisa menahan diri karena kejutan yang terjadi malam ini. Semua ini terlalu berat untuk ditanggung. Kejutan yang sama sekali tak pernah diduga oleh gadis itu. Mana pernah dia menyangka jika dirinya dan cowok yang dicintai Amara itu akan terhubung dengan cara seperti ini? Bukankah ini rasanya begitu kejam?“Aku beneran n
“Amara, aku tau kamu belum tidur. Mungkin, sampai pagi pun kita berdua nggak akan bisa tidur,” desah Sophie pelan. “Maaf, aku nggak bisa berpura-pura kalau tadi nggak terjadi apa pun. Menurutku, mending kita bahas apa yang terjadi tadi. Aku pengin banget bantuin kamu, andai memang bisa. Tapi kurasa menutup mulut bukanlah cara terbaik.”Amara tahu bahwa Sophie memiliki kelugasan yang tidak dipunyai oleh dirinya dan Brisha. Sophie yang santai dan tampak selalu gembira itu punya kekuatan untuk membuat orang tak mampu menampik keinginannya. Entah gadis itu menyadari kelebihannya itu atau sebaliknya. Jika Sophie sudah bertekad untuk sesuatu, maka Amara tahu tak ada gunanya melawan dan membantah.“Kamu mau ngomong apa?” Amara masih tidak bergerak. Suaranya terdengar serak karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Dia sudah berjuang mati-matian untuk meredam suara isakannya.“Aku tau kamu nangis sejak tadi,” Sophie ber
Karena tak juga bisa meredakan emosinya yang masih bergelora, Amara menarik napas panjang. Mengikuti apa yang dilakukan Sophie, Amara juga membalikkan badan. Seluruh sarafnya seakan menjerit-jerit meminta penuntasan. Kemarahan dan tangisnya tampaknya belum cukup memadai. Namun Amara juga tahu dia tak mungkin menumpahkan segalanya di depan Sophie. Selain itu, dia juga tidak tahu harus melakukan apa supaya merasa lega.Apa sebaiknya dia berolahraga hingga benar-benar ada tulangnya yang patah atau cedera permanen? Namun sepertinya hal itu pun tak akan membuat suasana hatinya membaik.Amara meraba matanya yang bengkak dan nyeri. Menangis sekian lama tidak juga meringankan dadanya. Sedih, kecewa, marah, rasa kehilangan, semua menggelinding jadi satu. Dia tidak tahu kepada siapa harus menumpahkan kemarahannya.“Aku nggak pernah ngelewatin pengalaman kayak kamu, Mara. Jadi, aku nggak tau pasti rasanya kayak apa. Tapi di sini, aku udah ketemu banyak orang dengan p
Hidup bagi Amara berubah kacau dan rumit. Dia larut dalam masalahnya yang mirip tornado, nyaris lumat oleh rasa perih yang mencengkeram. Gadis itu mengabaikan Sophie yang berusaha untuk mengajaknya bicara. Amara bukannya tidak tahu kalau kata-katanya sudah melukai Sophie saat sahabatnya itu menginap, sepulang dari rumah Ji Hwan. Namun dia sedang tak kuasa untuk berempati, apalagi meminta maaf.“Kamu kenapa, Mara? Kayaknya lagi banyak pikiran,” kata Ika suatu pagi, beberapa hari setelah tahun baru. Perempuan itu memilih bertahan menjadi asisten di rumah Amara sambil sesekali membantu kakek dan nenek gadis itu. Karena memang tak banyak kewajiban yang harus dikerjakan perempuan itu.Merry dan Amara sepakat untuk tak terlalu bergantung lagi pada asisten rumah tangga setelah Ayu diberhentikan. Amara bertanggung jawab untuk masalah kebersihan seisi rumah. Pakaian kotor pun dikirim ke penyedia jasa laundry. Ika memastikan tersedia makanan untuk disa
Saat itu, tenggorokan Amara terasa nyeri karena aneka emosi yang seakan bergumpal di sana. Baru mendengar Ji Hwan bicara saja, dia sudah tak bisa menahan ledakan yang seolah mengancam kepala dan dadanya. Bayangan masa lalu itu kembali memenuhi pelupuk matanya. Tampaknya, tak ada gunanya bicara berdua dengan Ji Hwan. Karena Amara kesulitan memandang Ji Hwan sebagai sosok merdeka yang sama sekali tak terkait dengan Cello. Di mata Amara, keduanya adalah satu paket yang tak terpisahkan.“Ji Hwan, apa pun yang mau kamu omongin, sama sekali nggak akan mengubah keadaan. Cello udah ngelakuin hal jahat sama aku. Aku benci sama dia setengah mati. Mungkin, kamu atau siapa pun nggak akan bisa paham perasaanku kayak apa. Asal kamu tau, sebelum tahun baru, aku dan Sophie pernah datang ke kantor mamamu. Kubilang, kalau suatu saat Cello sengaja datang untuk ketemu aku lagi, pilihannya cuma dua. Aku atau dia yang mati,” ucap gadis itu kasar. “Jadi, dari situ kamu udah bisa d
“Mamaku berselingkuh waktu masih jadi istri papaku. Mama hamil Cello dan ngaku sama Papa kalau itu bukan darah dagingnya. Itulah sebabnya Papa memilih cerai dan memenangkan hak asuhku dan kakakku. Waktu kejadian itu, aku masih kecil banget. Umurku belum dua tahun. Aku bisa dibilang nggak punya memori soal Mama. Dulu, aku bahkan ngira kalau pengasuhku adalah mamaku.“Itulah sebabnya aku nggak pernah ngebahas detail tentang perceraian orangtuaku sama kamu atau yang lain. Karena aku pun kesulitan untuk paham akan pilihan yang dibuat Mama. Kalau udah nggak bisa bertahan atau jatuh cinta sama orang lain sampai rela ngorbanin rumah tangganya sendiri, kenapa nggak ngomong baik-baik sama Papa? Kenapa malah berselingkuh sampai hamil segala?”Amara tertegun mendengar penuturan Ji Hwan itu. Katanya, “Kamu pasti bohong, kan? Kamu sengaja ngarang cerita tentang semua itu?””Ji Hwan menggeleng. “Untuk apa aku bohong sama kamu? Bila pe
Jika Amara mengira bahwa Ji Hwan akan menyerah setelah mendengar kata-kata menyakitkan yang terlontar dari bibirnya, gadis itu salah besar! Karena setelah kedatangan Ji Hwan ke rumah Amara, cowok itu masih berusaha menemuinya dua kali lagi.Akan tetapi, semua celah yang memungkinkan mereka bisa berkomunikasi dengan layak, ditutup oleh Amara. Gadis itu tidak memberi kesempatan kepada Ji Hwan untuk membela diri. Mereka bertengkar dengan kata-kata yang menyakitkan, minimal dari sisi Amara. Sebenarnya, tidak bisa disebut bertengkar karena hanya Amara yang emosi dan Ji Hwan cuma menjawab dengan sabar dan sopan.Pembelaan Sophie terhadap Ji Hwan kian membuat perasaan Amara terluka. Menurut sahabatnya, Ji Hwan tak pantas dihukum untuk kesalahan yang tidak dilakukannya. Amara tidak sependapat sama sekali.“Kenapa kamu keras kepala banget, sih, Mara?” Sophie tampak mulai kehabisan kesabaran. “Apa sih dosa Ji Hwan sampai dia pantas kamu maki-maki kayak g