Share

Part 4

Pagi itu, Kak Zao membawaku ke sebuah restoran. Dia duduk cukup jauh dari tempatku berada, posisinya sangat pas untuk mengawasi gerak-gerikku.

Kak Zao memintaku untuk menghampiri seorang pria di meja nomor 13, ternyata sebelumnya mereka telah janjian lebih dulu.

Wajah memang tampan, karir juga mapan, hanya satu yang kurang dari pria di hadapanku ini, dia bukanlah pria idaman.

Terlalu banyak bicara, senyumnya terlihat sekali dibuat-buat. Aku tidak menyukai pria yang seperti itu. Salah satu kreteria pria idamanku itu harus cuek dan dingin, tapi adakalanya bersikap romantis dan perhatian.

Tidak harus setiap hari, yang pasti pria itu bisa menempatkan suasana romance di situasi yang tepat.

"Hhh, sudah berapa jam sih ini? Mau sampai kapan dengerin ceramah?" keluhku dalam hati.

Kulirik Kak Zao yang terus mengawasi di belakang pria membosankan ini, tidak ada reaksi. Ingin sekali kuakhiri acara yang tidak jelas, tapi apa daya, Kak Zao pasti melapor pada nenek. Kalau si wanita tua mengetahui ulahku, beliau pasti akan terus mengomel sepanjang hari di rumah.

Kulihat Kak Zao memberikan kode, aku harus mendengarkan dan menanggapi pria ini? Astaga, Kak Zao benar-benar menyebalkan.

"Hmm-hhhhhh." Kutarik napas pelan, membuang dengan kasar.

"Xiaoyi, ada apa? Kamu lapar?" tanya pria di depanku.

Halooo, siapa dia? Berani banget panggil Xiaoyi.

"Iya lah, sudah satu jam dengerin ceramah," jawabku ketus.

Tanpa sengaja melihat ke arah Kak Zao yang memang duduk jauh di depanku, dia membelalakkan netra. Namun, tidak membuatku gentar. Aku justru membalas tingkahnya lebih tajam, semakin berani membuat ulah.

"Maaf, profesi kamu itu pendongeng atau penceramah?" tanyaku, sengaja membuat kesal.

"Maaf, bukan keduanya," elak pria itu.

"Jadi?"

"Direktur Utama di salah satu perusahaan ternama," ucap pria itu membenarkan.

"Ooo, begitu." Aku hanya membalas sekenanya, tidak berniat meneruskan lagi.

Pria di depanku bertanya, tipe pria yang aku sukai itu seperti apa?

"Simple saja. Cuek, dingin, sedikit berbicara, paham situasi kapan harus perhatian atau tidak. Satu lagi, tampan itu, bonus." Aku menjawab telak pertanyaan yang dia ajukan. Kupikir sudah berhenti bertanya, tapi justru semakin berani melanjutkan.

"Jadi, kamu tidak menyukai pria yang kaya, mapan juga tampan?" lanjut pria itu.

"Betul. Seperti yang aku bilang, tampan itu bonus. Kalau kaya, buat apa? Kekayaan keluarga Liu tidak akan pernah habis dimakan 10 keturunan, 2 tanjakan." Sengaja kubuat jawaban yang membuatnya kesal, tapi pria itu malah tertawa kecil.

Jujur, senyumnya memang manis. Saat dia menunjukkan tawa kecil seperti itu, tampak gigi gingsul di sebelah kanan yang membuat siapa pun yang melihatnya bakal kena penyakit gula-gula.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kamu lucu, aku suka," jawabnya.

Deg.

Niat hati ingin membuat pria kandidat nenek lari terbirit-birit, malah jadi low spirit.

Mendengar jawabannya, mengapa ada rasa yang berbeda? Apa mungkin aku mulai jatuh hati?

"Tidak, tidak. Xiaoyi, kamu tidak boleh lengah," batinku.

Sesaat menutup netra, kenapa jadi terpesona? Kulihat pria di depanku masih menyimpulkan senyum, menyembunyikan gigi gingsul seakan membuatku ingin terus melihat tawa kecilnya tadi.

Setelah hampir 2 jam lamanya interogasi, akhirnya selesai juga. Pria itu meminta maaf karena harus pergi lebih awal, ada sesuatu yang mendesak di kantornya.

"Hmm-hhhhh." Aku menarik napas lega.

Jujur, sebenarnya bukan lega karena terbebas dari semua pertanyaan yang dia ajukan. Melainkan lega karena bebas dari gigi gingsul yang terus mengintip sejak tadi.

"Kamu lucu, aku suka." Pernyataan itu teringat begitu saja di dalam benak.

"Xiaoyi," panggil seseorang yang kukenal.

Suaranya menghilangkan sedikit senyum di hatiku.

"Kenapa?" tanyaku. Kak Zao duduk di depanku, tepat menggantikan posisi pria itu.

"Aku lihat, sepertinya dia pria baik-baik. Dilihat dari cara bicaranya, sangat meyakinkan," ucap Kak Zao mengambil kesimpulan sendiri.

"Lihat darimana? Orang yang Kak Zao lihat itu aku," kataku.

"Memang benar, yang ada dalam pandanganku cuma kamu, tapi ekspresi yang kamu tunjukkan mengisyaratkan seperti itu." Lagi-lagi Kak Zao mengambil kesimpulan yang tidak jelas.

"Sudahlah, lebih baik kita pulang sekarang," ajakku, berlalu meninggalkan restoran.

Aku duduk di kursi depan, samping Kak Zao. Memang seperti itu. Aku tidak mau duduk di belakang layaknya nona muda yang manja.

Kunyalakan radio untuk mengusir sepi. Sepanjang perjalanan dari restoran ke rumah nenek, lalu pulang ke rumah, Kak Zao hanya diam.

Sebenarnya aku membenci sikap cuek dan dinginnya Kak Zao, karena dulu dia tidak seperti itu. Terkadang, aku melihat seperti ada sosok ayah dalam diri Kak Zao. Mungkin karena aku terlalu merindukan ayah.

"Kita pergi ke makam ayah," ucapku tiba-tiba, lalu mematikan lagu sendu yang terdengar di radio.

Kak Zao tidak bertanya mengapa, atau menjawab ucapanku. Kulihat, dia memutar kemudi menuju jalan ke arah pemakaman.

Tanpa sengaja melihat ke arah kaca mobil, tampak bayanganku bersama ayah sewaktu kecil. Beliau selalu duduk di kursi belakang saat bersamaku, tidak pernah mengemudikan mobil sendiri. Ayah bilang, ingin selalu bermain denganku sepanjang perjalanan, ke mana pun tujuannya.

Aku tersenyum kecil, tapi sesuatu terasa menetes membasahi pipi. Aku menangis. Sudah 2 tahun sejak kepergian ayah, tidak pernah sekalipun aku meneteskan air mata.

Uluran tangan tampak menyodorkan selembar tisu. Kak Zao, dia tau saat di mana situasi harus memperhatikanku.

Aku mengambilnya, mengusap pelan pipi putih yang terbalut sedikit blush on.

Kucoba menahan tangis, tidak ingin pecah begitu saja.

"Ayah," lirihku, duduk bersimpuh di samping makam ayah.

Hiks-hiks.

"Maaf." Hanya kata itu yang mampu terucap. Meski sudah berjanji di depan ayah untuk tidak menangis, tapi kenyataannya sekarang. Air mata ini tidak sanggup kucegah, meski berusaha menguatkan hati sejak di perjalanan tadi.

Bayang wajah ayah saat berusaha menahan sakit di depanku, kembali teringat. Beliau bersimbah darah saat aku mengantarnya ke Rumah Sakit.

Ayah terkena beberapa tembakan, tampak luka di sekujur tubuh. Sakit, pasti sakit sekali. Namun, ayah tidak pernah mengeluhkannya. Ayah bahkan selalu tersenyum sepanjang perjalanan.

Berkali-kali mengingatkanku untuk mematuhi setiap perkataan nenek, karena ayah tau kami selalu berdebat setiap kali bertemu. Kak Zao, ayah juga memintanya untuk menjaga dan selalu ada di dekatku, kapan pun membutuhkannya.

Aku tidak menangis saat itu, sama sekali. Itu permintaan ayah dan harus kuturuti.

"Maaf." Lagi-lagi hanya kata itu yang mampu keluar. Tangis ini tidak sanggup aku tahan seperti waktu itu.

Kak Zao memelukku, pelukan pertama kali yang dia berikan. Karena saat ayah pergi, dia tidak melakukannya. Namun, ada perasaan hangat dan nyaman yang kurasakan, seperti pelukan ayah dulu.

Apa mungkin Kak Zao adalah sosok pengganti ayah untukku? Atau dia memang khusus ditakdirkan untuk selalu menemaniku sepanjang hidup ini?

bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status