Share

Part 3

"Sudahlah, aku batalkan saja acara pernikahan kita," ucap Kak Zao, berlalu meninggalkan kamarku.

"Pernikahan kita? Maksudnya?" tanyaku sedikit bingung.

Kak Zao tak mengindahkan panggilanku, dia terus berjalan menuruni anak tangga hingga sampai di depan kamarnya.

"Mungkin akan lebih baik kalau kamu menikahi laki-laki yang dipilih oleh Nyonya Chen," serunya sebelum memasuki kamar.

Apa maksud ucapannya? Nenek memintaku untuk menikahi laki-laki dari Negara X atau Kak Zao? Mengapa pula Kak Zao bersedia menerima permintaan nenek, benarkah dia sedang menyelamatkanku?

Beruntung sekali yang menjadi keturunan seorang cenayang, dia bisa menuruni bakat untuk mengetahui isi hati dan pikiran seseorang. Tidak perlu menerka-menerka, tidak perlu membayangkan, semua akan terlihat hanya dengan kemampuan dan bakat.

Kembali kubaringkan tubuh di ranjang empuk yang menjadi alas tidurku setiap malam. Pikiranku terus melanglangbuana entah ke mana. Apa tujuan nenek sebenarnya?

"Xiaoyi, Xiaoyi. Sini sama ayah, kita main ke tempat yang indah." Saat itu tawa ayah selalu menemani setiap hariku.

Indahnya masa kecil, selalu ayah berikan yang terbaik untukku. Meski seorang Nona Muda, aku tidak selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Ayah kerap kali memilah apa-apa saja yang menjadi keinginanku. Jika membawa dampak yang baik, beliau pasti menurutinya. Jika tidak, maka dengan susah payah ayah akan membujukku dengan semua alasan aneh buatannya.

"Ayah," teriakku.

Terbangun di tengah malam, memimpikan masa kecil dulu. Namun, berujung tragedi mengerikan yang menimpa ayah.

Keringat mengalir deras dari kening hingga leher. Kuusap pelan, mengingat setiap kejadian sewaktu kecil, jauh sebelum Kak Zao datang ke rumah, kehidupan juga hatiku.

"Ayah. Fannyi kangen, Yah," lirihku saat melihat foto kami berdua. Ayah menggendongku di punggung kekarnya, itu adalah foto yang diambil nenek saat aku berusia 5 tahun.

Gadis mungil dengan rambut kepang, penuh tawa ceria dalam gendongan sang ayah. Bermain di taman bunga dihiasi balon air yang ditiup sang nenek.

Itulah aku, Liu Fannyi. Meski selama 23 tahun hidupku tanpa adanya kasih sayang seorang ibu, tidak kurasakan karena ayah selalu berusaha menjadi sosok kedua orang tua.

Ceklek.

"Xiaoyi, ada apa?" tanya Kak Zao.

Dia menghampiriku di tengah malam, nampak raut cemas terlihat di wajah. Kak Zao duduk di tepi ranjang menghadap ke arahku, mengusap pelan bulir air yang membasahi pipi.

Ternyata Kak Zao sedang berusaha menenangkanku. Ini sudah menjadi tugasnya untuk selalu melindungi dan menjagaku dari bahaya apa pun.

Masih kutatap wajah cemasnya, tak mempedulikan sikap lembutnya tadi. Kini, wajah itu telah berpaling ke arah lain.

"Kamu memimpikan Tuan Liu?" tanyanya, bak cenayang yang menebak mimpiku dengan begitu pas.

"Iya," jawabku singkat. Tidak ada kata yang bisa kuucapkan, aku bingung harus bagaimana menanyakan hal yang dia bahas semalam.

"Sudah berapa kali?" Lanjutnya, terdengar seperti orang yang sedang menginterogasi.

"Baru kali ini. Setelah 2 tahun ayah pergi, sekalipun tidak pernah memimpikannya." Jujurku.

"Tidak apa-apa, tidurlah lagi. Aku akan menjagamu," ucapnya, kemudian duduk di kursi panjang yang berada dekat pintu balkon.

"Sudah? Begitu saja? Kenapa dia tidak menghiburku seperti dalam film? Memeluk dan menenangkanku," batinku, merasa kecewa.

Kembali kubaringkan diri, bersembunyi di balik hangatnya selimut. Sedikit mengintip ke arah pria yang duduk di sana dengan tegap, mengawasiku.

Tidak bisa, ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus bertanya pada nenek. Apa maksud ucapan Kak Zao dan tujuan nenek datang ke rumah.

Kuputar otak, mencari ide, merangkai rencana. Kak Zao tidak akan membiarkanku pergi ke rumah nenek seorang diri. Kalau tidak menyuruh pengawal, pasti dia sendiri yang pergi mengikutiku.

Namun, aku tidak pernah ke rumah utama tempat nenek tinggal. Beliau selalu datang ke rumah tanpa membiarkanku pergi mengunjunginya.

Pernah beberapa kali, ayah membawaku ke rumah utama saat kecil. Anak usia 3 sampai 5 tahun, mana ingat jalan ke sebuah rumah yang jaraknya cukup jauh. Lagipula, saat itu aku selalu tertidur sebelum sampai ke rumah nenek.

Apa yang harus kulakukan? Selain Kak Zao, siapa lagi yang tau jalan ke sana?

"Ya, Ketua Pengurus Rumah, Pak Han pasti tau jalannya. Ayah bilang, Pak Han sudah bekerja di sini jauh sebelum aku lahir. Beliau juga sempat ikut nenek di rumah utama," batinku, menyeringai setelah mendapat ide brilian.

"Cepat tidur, jangan menghayal hal-hal yang tidak jelas." Suara teguran Kak Zao menghilangkan kesenanganku.

"Ish, apaan sih," gumamku, komat-kamit dengan bibir meliuk-liuk.

Mencoba menutup netra, harus terlelap sebelum Kak Zao kembali mengomel. Meski suka, jika terus diomeli kesal juga.

Ulang tahunku yang ke-23 tinggal dua bulan lagi. Itu artinya, aku harus menikah satu bulan sebelum hari itu. Yang benar saja, seorang penerus Grup Annhua menikahi pria yang tidak dicintai.

Saat acara sakral, pasti akan ada banyak media yang meliput. Tidak mungkin menunjukkan muka masam di depan kamera, sedangkan untuk tersenyum aku tidak sudi karena di sampingku berdiri pria asing.

Nenek benar-benar membuatku sakit kepala. Seharusnya bilang dulu satu tahun atau setengah tahun sebelumnya. Dengan waktu setengah tahun, mungkin saja aku sudah mendapatkan calon yang sesuai dengan selera dan hatiku.

Nenek sungguh keterlaluan, kalaupun ingin menjodohkanku seharusnya memberi foto dan informasi mengenai pria itu. Bukannya langsung ketemu tanpa tau menau.

Kembali terlelap, kurasakan seseorang menutupi tubuhku dengan selimut, suara pintu yang terbuka lalu tertutup masih tertangkap indera.

Tok-tok-tok

"Nona Liu," panggil seseorang.

Aku masih mengantuk, biarkan saja dia terus mengetuk pintu dan berbicara tak jelas.

Benar, orang di luar sana masih saja mengetuk pintu dan memanggil namaku. Berani juga seorang pelayan mengganggu tidurku.

"Bagaimana? Dia masih belum bangun?" Suara pria yang kukenal terdengar sedang berbincang dengan pelayan itu.

"Belum, Tuan Zhang," jawab si pelayan.

"Kamu kembali saja, biar dia aku yang urus," balas Kak Zao.

Tok-tok-tok

"Xiaoyi, aku tau kamu sudah bangun. Buka pintu atau langsung didobrak?" tanyanya bernegosiasi.

Kak Zao ini, kenapa aku semakin kesal kepadanya. Sikapnya yang sekarang tidak seperti dulu saat ayah masih ada. Apa mungkin ini sifat aslinya? 

Kubuka pintu, tidak ingin pintu itu rusak hanya karena hal sepele.

"Kak Zao sudah rapih? Mau ke mana?" tanyaku.

"Sekarang kamu mandi dan bersiap, kita berangkat setengah jam lagi." Kak Zao mendorongku masuk ke kamar mandi, jam berapa sekarang? Aku harus mandi pagi-pagi begini?

"Segera mandi. Kalau tidak selesai dalam setengah jam, aku akan tetap membawa keluar bagaimanapun penampilanmu," tegasnya.

"Kak Zao sudah diracuni wanita tua itu. Bagaimana bisa dia bersikap seperti itu padaku? Jauh lebih galak dari si wanita tua," batinku merutuki perubahan sikap Kak Zao.

"Cepat mandi, jangan bergumam atau mengomel dalam hati." Kak Zao tau aku sedang membicarakannya, dia itu tangan kanan ayah, suruhan nenek atau cenayang?

bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status