Share

Part 2

"Xiaoyi, kamu harus menikah dengan salah satu laki-laki dari kandidat yang nenek pilih," ucapnya.

Deg.

Jantung seakan berhenti berdetak, napas terasa tertahan, hati terasa sakit. Bagaimana bisa nenek menyuruhku menikahi seorang pria yang tidak aku kenal sama sekali?

Beliau datang tiba-tiba hanya untuk menyuruhku menikah?

"Aku tidak mau," jawabku, langsung menolak.

Nenek sudah pasti marah mendengar penolakanku. Aku tidak peduli. Kebahagiaan dan masa depan, hanya kita yang bisa menentukan.

"Xiaoyi," geram nenek seakan ingin menelanku hidup-hidup.

"Kamu adalah penerus Grup Annhua. Setelah usiamu mencapai 23 tahun, semua tanggung jawab Annhua akan diserahkan ke tanganmu." Ternyata, demi harta warisan ayah, nenek sampai memaksaku menikah.

Beberapa bulan ini, nenek memang selalu mengenalkan beberapa pria kepadaku. Semua langsung kutolak, tanpa melihat dan memperhatikan siapa orangnya.

Liu Fannyi tidak suka dipaksa. Selalu bertindak sesuai keinginan sendiri. Meski begitu, aku tidak pernah melakukan hal yang mencoreng nama baik keluarga Liu.

Awalnya kupikir nenek melakukan Itu karena usiaku yang memang sudah seharusnya menikah, tapi ternyata aku salah.

"Xiaoyi, itu adalah peraturan perusahaan. Jika kamu tidak segera menikah di usia 23 tahun, maka dewan direksi akan menghapus namamu dari penerus Grup Annhua," jelas nenek.

"Aku tidak peduli, Nek. Menikah itu bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dilakukan, harus ada ikatan yang terjalin diantara kedua pasangan," protesku.

"Kamu bisa mengenalnya setelah kalian menikah nanti." Nenek terus membujukku.

"Besok, kamu harus bertemu dengan laki-laki itu. Jika terus menolak, namamu akan dihapus dari keluarga Liu," ancamnya.

"Xiaoyan, bantu saya mengawasi Xiaoyi. Jangan sampai dia bertindak sesuka hati. Selain itu, beri penilaianmu mengenai laki-laki itu," titah nenek pada Kak Zao.

"Baik, Nyonya Chen." Seperti biasa, Kak Zao tidak pernah menolak setiap perintah yang nenek ucapkan. Apa pun itu, bagaimanapun bahayanya, dia akan melakukan semua.

Aku tidak mau mempedulikannya. Kak Zao sama saja dengan nenek. Tanpa menunggu lagi, kulangkahkan kaki menaiki tangga menuju kamar.

..

"Ayah, haruskah aku menikah sekarang?" tanyaku dalam hati.

Foto Tuan Liu Fanzi terbingkai rapi, berdiri kokoh di atas nakas. Ya, nama ayahku adalah Liu Fanzi. Dia tidak memakai marga yang sama dengan nenek, mungkin ayah mengikuti marga kakek. Karena aku sendiri tidak pernah melihat foto kakek, namanya pun tidak tau.

Aku tau, keinginan ayah sejak dulu adalah melihatku duduk di kursi Direktur Utama Grup Annhua. Selain itu, sebelum meninggal dia juga mengatakan ingin sekali melihatku menikah dengan orang yang dicintai.

Tapi yang nenek lakukan sekarang, tidak seperti keinginan ayah. ' Menikahlah dengan orang yang kamu cintai' itulah kata terakhir yang ayah ucapkan.

Sedangkan hatiku telah berlabuh pada satu orang. Dia yang selalu ada dan menemaniku sejak kecil, menjadi teman, kakak, ayah, ibu, semua ada dalam dirinya.

Meskipun aku sendiri belum bisa memastikannya, apakah perasaan yang aku rasakan ini adalah cinta atau hanya rasa kagum semata.

Apa pun itu, aku tidak ingin menikah dengan pria yang tidak dikenal.

Tok-tok-tok.

"Xiaoyi, tolong buka pintunya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan," pinta Kak Zao. Mungkin nenek sudah pulang, karena Kak Zao berani mengetuk pintu kamarku.

Dulu, saat ayah masih ada, Kak Zao tidak pernah berani mengetuk pintu kamarku. Dia selalu menunggu dan duduk di ruang tengah, menungguku keluar kamar lalu mengatakan hal yang ingin dia sampaikan.

Aku tak bergeming, sama sekali tidak berniat menjawab apalagi membukakan pintu untuknya. Kak Zao sama saja, dia bahkan tidak membela saat aku dipaksa menikah.

Cukup lama, beberapa menit tidak terdengar ketukan pintu. Kupikir Kak Zao sudah pergi dari sana dan kembali ke kamarnya.

Ceklek.

Terdengar suara jendela yang tengah dibuka. Aku yang masih berbaring, langsung bangkit dan melihat asal suara itu.

Tidak ada apa pun, aku mengecek setiap pintu dan jendela yang menuju balkon. Semua terkunci rapat, lalu apa yang kudengar barusan? Apa mungkin salah dengar?

Masih penasaran, aku justru membuka jendela, melongokkan kepala untuk melihat sekitar. Tidak ada yang mencurigakan, tidak mungkin ada maling, bukan?

Rumah ini dijaga ketat oleh beberapa penjaga. Cctv juga menempati setiap sudut rumah, baik di dalam maupun di luar.

Meyakinkan diri bahwa itu hanyalah pendengaranku yang salah. Kembali menutup jendela dan tirai.

"Aaaa-happh." Sebuah tangan membekap mulutku tiba-tiba. Hampir saja tendangan maut melayang ke arah pelaku.

"Sssttt, jangan berisik," titah Kak Zao.

Pandangan kami bertemu dalam jarak yang sangat dekat. Jantungku berdegup kencang bak genderang perang. Aku sedikit gemetar karena sentuhan tangannya.

Ini bukan kali pertama Kak Zao menyentuhku. Sentuhan biasa seringkali kudapatkan, terutama saat dia membangunkanku dari tidur. Namun kali ini, sentuhannya terasa berbeda. Tangan satunya menopang tubuhku, sedang yang satunya lagi masih berada di posisi awal yakni menutup mulutku.

Tidak ada yang terjadi selanjutnya, kami hanya saling memandang dengan pikiran menerawang. Mencoba menjadi cenayang untuk mengetahui isi hati seseorang.

Guk-guk.

Suara hewan peliharaan tetangga menggangu keindahan. Sontak melepaskan pegangan dan menjauh beberapa langkah.

"Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu terkejut," ucapnya.

Tidak langsung kujawab permintaan maaf Kak Zao. Mendekat ke arah sofa kecil di sudut kamar, duduk di atasnya sambil merilekskan perasaan.

Kulihat dia juga duduk di salah satu kursi, tidak jauh dari tempatku berada. Memang ada beberapa kursi kecil di kamarku, sengaja diletakkan terpisah agar suasananya terasa berbeda meski di satu ruangan.

Kamarku sangatlah besar, jarak antara kursi kecil dengan tempat tidur cukup jauh. Selain itu, masih ada meja rias, meja belajar yang kugunakan saat kuliah dulu. Dua lemari besar juga tak kalah saing, dengan cermin yang menjulang tinggi menampakkan keindahan setiap pantulan sosok yang berdiri di depannya.

Foto diriku juga turut andil di dalam kamar, ada beberapa yang terpampang di sana dengan ukuran yang hampir mendekati aslinya. Cantik, memang cantik. Kulirik diriku di cermin, entah apa yang kubayangkan saat ini.

"Ada apa?" Deheman kecil sengaja kulakukan untuk menetralkan diri sebelum bertanya.

"Kenapa kamu tidak membuka pintu?" tanya Kak Zao.

"Tidak ingin," jawabku asal.

"Kenapa kamu tidak pernah bersikap dewasa? Kamu langsung pergi begitu saja, padahal Nyonya Chen masih berada di sana." Ada rasa kecewa saat mendengar pertanyaan yang dia layangkan. Apa yang sebenarnya ingin dia tanyakan? Sampai memanjat tangga menerobos masuk ke kamarku. Apa hanya itu saja?

"Apa Kak Zao berhak menilaiku seperti itu?" Meski hubungan kami cukup dekat, itu bukan berarti dia bisa menilaiku sesuka hati.

"Aku, aku ini sedang menyelamatkanmu. Kenapa kamu selalu saja berpikir di satu sisi?" protesnya.

"Lalu dari sisi mana aku harus berpikir? Kak Zao sendiri tidak pernah membelaku di depan nenek, bagaimana bisa menyelamatkanku?" Aku terdiam. Tidak pernah terbayangkan akan mengatakan hal seberani itu kepadanya.

bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status