"Xiaoyi, kamu harus menikah dengan salah satu laki-laki dari kandidat yang nenek pilih," ucapnya.
Deg.
Jantung seakan berhenti berdetak, napas terasa tertahan, hati terasa sakit. Bagaimana bisa nenek menyuruhku menikahi seorang pria yang tidak aku kenal sama sekali?
Beliau datang tiba-tiba hanya untuk menyuruhku menikah?
"Aku tidak mau," jawabku, langsung menolak.
Nenek sudah pasti marah mendengar penolakanku. Aku tidak peduli. Kebahagiaan dan masa depan, hanya kita yang bisa menentukan.
"Xiaoyi," geram nenek seakan ingin menelanku hidup-hidup.
"Kamu adalah penerus Grup Annhua. Setelah usiamu mencapai 23 tahun, semua tanggung jawab Annhua akan diserahkan ke tanganmu." Ternyata, demi harta warisan ayah, nenek sampai memaksaku menikah.
Beberapa bulan ini, nenek memang selalu mengenalkan beberapa pria kepadaku. Semua langsung kutolak, tanpa melihat dan memperhatikan siapa orangnya.
Liu Fannyi tidak suka dipaksa. Selalu bertindak sesuai keinginan sendiri. Meski begitu, aku tidak pernah melakukan hal yang mencoreng nama baik keluarga Liu.
Awalnya kupikir nenek melakukan Itu karena usiaku yang memang sudah seharusnya menikah, tapi ternyata aku salah.
"Xiaoyi, itu adalah peraturan perusahaan. Jika kamu tidak segera menikah di usia 23 tahun, maka dewan direksi akan menghapus namamu dari penerus Grup Annhua," jelas nenek.
"Aku tidak peduli, Nek. Menikah itu bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dilakukan, harus ada ikatan yang terjalin diantara kedua pasangan," protesku.
"Kamu bisa mengenalnya setelah kalian menikah nanti." Nenek terus membujukku.
"Besok, kamu harus bertemu dengan laki-laki itu. Jika terus menolak, namamu akan dihapus dari keluarga Liu," ancamnya.
"Xiaoyan, bantu saya mengawasi Xiaoyi. Jangan sampai dia bertindak sesuka hati. Selain itu, beri penilaianmu mengenai laki-laki itu," titah nenek pada Kak Zao.
"Baik, Nyonya Chen." Seperti biasa, Kak Zao tidak pernah menolak setiap perintah yang nenek ucapkan. Apa pun itu, bagaimanapun bahayanya, dia akan melakukan semua.
Aku tidak mau mempedulikannya. Kak Zao sama saja dengan nenek. Tanpa menunggu lagi, kulangkahkan kaki menaiki tangga menuju kamar.
..
"Ayah, haruskah aku menikah sekarang?" tanyaku dalam hati.
Foto Tuan Liu Fanzi terbingkai rapi, berdiri kokoh di atas nakas. Ya, nama ayahku adalah Liu Fanzi. Dia tidak memakai marga yang sama dengan nenek, mungkin ayah mengikuti marga kakek. Karena aku sendiri tidak pernah melihat foto kakek, namanya pun tidak tau.
Aku tau, keinginan ayah sejak dulu adalah melihatku duduk di kursi Direktur Utama Grup Annhua. Selain itu, sebelum meninggal dia juga mengatakan ingin sekali melihatku menikah dengan orang yang dicintai.
Tapi yang nenek lakukan sekarang, tidak seperti keinginan ayah. ' Menikahlah dengan orang yang kamu cintai' itulah kata terakhir yang ayah ucapkan.
Sedangkan hatiku telah berlabuh pada satu orang. Dia yang selalu ada dan menemaniku sejak kecil, menjadi teman, kakak, ayah, ibu, semua ada dalam dirinya.
Meskipun aku sendiri belum bisa memastikannya, apakah perasaan yang aku rasakan ini adalah cinta atau hanya rasa kagum semata.
Apa pun itu, aku tidak ingin menikah dengan pria yang tidak dikenal.
Tok-tok-tok.
"Xiaoyi, tolong buka pintunya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan," pinta Kak Zao. Mungkin nenek sudah pulang, karena Kak Zao berani mengetuk pintu kamarku.
Dulu, saat ayah masih ada, Kak Zao tidak pernah berani mengetuk pintu kamarku. Dia selalu menunggu dan duduk di ruang tengah, menungguku keluar kamar lalu mengatakan hal yang ingin dia sampaikan.
Aku tak bergeming, sama sekali tidak berniat menjawab apalagi membukakan pintu untuknya. Kak Zao sama saja, dia bahkan tidak membela saat aku dipaksa menikah.
Cukup lama, beberapa menit tidak terdengar ketukan pintu. Kupikir Kak Zao sudah pergi dari sana dan kembali ke kamarnya.
Ceklek.
Terdengar suara jendela yang tengah dibuka. Aku yang masih berbaring, langsung bangkit dan melihat asal suara itu.
Tidak ada apa pun, aku mengecek setiap pintu dan jendela yang menuju balkon. Semua terkunci rapat, lalu apa yang kudengar barusan? Apa mungkin salah dengar?
Masih penasaran, aku justru membuka jendela, melongokkan kepala untuk melihat sekitar. Tidak ada yang mencurigakan, tidak mungkin ada maling, bukan?
Rumah ini dijaga ketat oleh beberapa penjaga. Cctv juga menempati setiap sudut rumah, baik di dalam maupun di luar.
Meyakinkan diri bahwa itu hanyalah pendengaranku yang salah. Kembali menutup jendela dan tirai.
"Aaaa-happh." Sebuah tangan membekap mulutku tiba-tiba. Hampir saja tendangan maut melayang ke arah pelaku.
"Sssttt, jangan berisik," titah Kak Zao.
Pandangan kami bertemu dalam jarak yang sangat dekat. Jantungku berdegup kencang bak genderang perang. Aku sedikit gemetar karena sentuhan tangannya.
Ini bukan kali pertama Kak Zao menyentuhku. Sentuhan biasa seringkali kudapatkan, terutama saat dia membangunkanku dari tidur. Namun kali ini, sentuhannya terasa berbeda. Tangan satunya menopang tubuhku, sedang yang satunya lagi masih berada di posisi awal yakni menutup mulutku.
Tidak ada yang terjadi selanjutnya, kami hanya saling memandang dengan pikiran menerawang. Mencoba menjadi cenayang untuk mengetahui isi hati seseorang.
Guk-guk.
Suara hewan peliharaan tetangga menggangu keindahan. Sontak melepaskan pegangan dan menjauh beberapa langkah.
"Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu terkejut," ucapnya.
Tidak langsung kujawab permintaan maaf Kak Zao. Mendekat ke arah sofa kecil di sudut kamar, duduk di atasnya sambil merilekskan perasaan.
Kulihat dia juga duduk di salah satu kursi, tidak jauh dari tempatku berada. Memang ada beberapa kursi kecil di kamarku, sengaja diletakkan terpisah agar suasananya terasa berbeda meski di satu ruangan.
Kamarku sangatlah besar, jarak antara kursi kecil dengan tempat tidur cukup jauh. Selain itu, masih ada meja rias, meja belajar yang kugunakan saat kuliah dulu. Dua lemari besar juga tak kalah saing, dengan cermin yang menjulang tinggi menampakkan keindahan setiap pantulan sosok yang berdiri di depannya.
Foto diriku juga turut andil di dalam kamar, ada beberapa yang terpampang di sana dengan ukuran yang hampir mendekati aslinya. Cantik, memang cantik. Kulirik diriku di cermin, entah apa yang kubayangkan saat ini.
"Ada apa?" Deheman kecil sengaja kulakukan untuk menetralkan diri sebelum bertanya.
"Kenapa kamu tidak membuka pintu?" tanya Kak Zao.
"Tidak ingin," jawabku asal.
"Kenapa kamu tidak pernah bersikap dewasa? Kamu langsung pergi begitu saja, padahal Nyonya Chen masih berada di sana." Ada rasa kecewa saat mendengar pertanyaan yang dia layangkan. Apa yang sebenarnya ingin dia tanyakan? Sampai memanjat tangga menerobos masuk ke kamarku. Apa hanya itu saja?
"Apa Kak Zao berhak menilaiku seperti itu?" Meski hubungan kami cukup dekat, itu bukan berarti dia bisa menilaiku sesuka hati.
"Aku, aku ini sedang menyelamatkanmu. Kenapa kamu selalu saja berpikir di satu sisi?" protesnya.
"Lalu dari sisi mana aku harus berpikir? Kak Zao sendiri tidak pernah membelaku di depan nenek, bagaimana bisa menyelamatkanku?" Aku terdiam. Tidak pernah terbayangkan akan mengatakan hal seberani itu kepadanya.
bersambung...
"Sudahlah, aku batalkan saja acara pernikahan kita," ucap Kak Zao, berlalu meninggalkan kamarku."Pernikahan kita? Maksudnya?" tanyaku sedikit bingung.Kak Zao tak mengindahkan panggilanku, dia terus berjalan menuruni anak tangga hingga sampai di depan kamarnya."Mungkin akan lebih baik kalau kamu menikahi laki-laki yang dipilih oleh Nyonya Chen," serunya sebelum memasuki kamar.Apa maksud ucapannya? Nenek memintaku untuk menikahi laki-laki dari Negara X atau Kak Zao? Mengapa pula Kak Zao bersedia menerima permintaan nenek, benarkah dia sedang menyelamatkanku?Beruntung sekali yang menjadi keturunan seorang cenayang, dia bisa menuruni bakat untuk mengetahui isi hati dan pikiran seseorang. Tidak perlu menerka-menerka, tidak perlu membayangkan, semua akan terlihat hanya dengan kemampuan dan bakat.Kembali kubaringkan tubuh di ranjang empuk yang menjadi alas tidurku setiap malam. Pikiranku terus melanglangbuana entah ke mana. Apa tujuan nenek s
Pagi itu, Kak Zao membawaku ke sebuah restoran. Dia duduk cukup jauh dari tempatku berada, posisinya sangat pas untuk mengawasi gerak-gerikku.Kak Zao memintaku untuk menghampiri seorang pria di meja nomor 13, ternyata sebelumnya mereka telah janjian lebih dulu.Wajah memang tampan, karir juga mapan, hanya satu yang kurang dari pria di hadapanku ini, dia bukanlah pria idaman.Terlalu banyak bicara, senyumnya terlihat sekali dibuat-buat. Aku tidak menyukai pria yang seperti itu. Salah satu kreteria pria idamanku itu harus cuek dan dingin, tapi adakalanya bersikap romantis dan perhatian.Tidak harus setiap hari, yang pasti pria itu bisa menempatkan suasana romance di situasi yang tepat."Hhh, sudah berapa jam sih ini? Mau sampai kapan dengerin ceramah?" keluhku dalam hati.Kulirik Kak Zao yang terus mengawasi di belakang pria membosankan ini, tidak ada reaksi. Ingin sekali kuakhiri acara yang tidak jelas, tapi apa daya, Kak Zao pasti melapor p
Kami berdua kembali ke rumah setelah mengunjungi makam ayah. Ada perasaan lega setelahnya."Bagaimana? Sudah lebih baik?" tanya Kak Zao, menghampiriku.Kubaringkan diriku di sofa ruang tengah, tidak ada perasaan tak nyaman atau malu saat Kak Zao melihat tingkahku. Cuek saja, tidak perlu menganggapnya benar-benar ada, karena dia sendiri juga begitu."Baik apanya? Aku masih kesal, kenapa Kak Zao bilang kalau pria itu adalah pria yang baik?" protesku, tidak setuju dengan kesimpulan yang diambil Kak Zao saat di rumah nenek tadi.Kak Zao langsung membawaku ke rumah nenek setelah menemui pria di restoran itu. Karena nenek sudah meminta Kak Zao untuk memberikan pendapatnya, sudah pasti langsung dilaporkan segera."Kenapa?" tanyanya."Kenapa Kak Zao bilang? Harusnya jawab saja dia bukan pria yang baik," kataku, merubah posisi menjadi duduk dan menyilangkan tangan di depan dada."Aku selalu berkata jujur. Lagipula, pria itu adalah cucu dari sa
Meninggalkan ruangan Wakil Direktur dengan perasaan tak menentu. Beberapa orang masih berada di lobi, karena di sanalah mereka bekerja.Masih tersenyum dan menunduk hormat padaku, tak berniat mengindahkannya. Aku terus berjalan tanpa mempedulikan mereka, ataupun anggapan mereka nantinya.Melewati pintu utama, supir telah menyambutku di sana. Memberiku hak istimewa dengan membukakan pintu.Tidak tau mengapa ada perasaan kecewa dan sedih yang kurasakan. Aku memang menyukainya, tapi tidak tau akan seperti ini jika mendengar penolakan seperti itu dari Kak Zao.Sepanjang perjalanan, aku mencoba meyakinkan diri, tidak akan bergantung lagi pada Kak Zao mulai hari ini.Saat itu, netra menangkap sosok pria yang kukenal. Dia tengah berdiri di toko bunga. Pikiranku melayang, untuk siapa bunga itu?Kembali teringat ucapan Kak Zao akan adanya seseorang yang datang mengunjungiku malam ini. Mungkinkah dia orangnya? Astaga, bertemu pria itu lagi.Kul
Langkah pun berhenti saat namaku dipanggil seorang pria. Tidak asing memang, karena baru beberapa jam aku mendengar suara itu. "Xiaoyi," panggilnya lagi, karena melihatku yang masih berdiam diri di tempat, tanpa menoleh ataupun melanjutkan langkah. "Silahkan duduk, akan kuambilkan minum dulu." Suara Kak Zao terdengar di tengah kebisuan. Saat Kak Zao pergi ke dapur, aku berjalan mengendap mulai menaiki anak tangga. Baru saja dua langkah, suara pria itu kembali memanggil namaku. "Duduk di sini, temani aku," pintanya. "Direktur Yi, maaf. Saya harus bersiap dulu," balasku bernada sopan. "Tidak perlu bersiap, aku harus terbiasa melihatmu dalam keadaan seperti ini," ucapnya, sukses membuatku bertanya dalam hati. Aku tak menggubris permintaannya tadi, segera melanjutkan langkah melewati semua anak tangga yang masih tersisa banyak. Namun, panggilan Kak Zao terpaksa membuatku duduk di samping pria itu beberapa menit kemudian. Wa
Ekspresi bingung tergambar di wajah Yi Feilan. Dia tidak mengerti akan ucapanku tadi."Jadi, maksudnya? Kamu suka atau ... ""Suka," jawabku langsung dan singkat."Aku ... "Suara Kak Zao menghentikan percakapan kami. Entah apa yang tadi ingin Yi Feilan katakan. Dia langsung diam setelah Kak Zao berada di sana."Kak Zao," sapaku."Kak Zaoyan," ucap Yi Feilan, juga menyapa Kak Zao."Bagaimana? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Kak Zao, duduk di sebelah Yi Feilan."Tidak ada, hanya bicara hal biasa," jawab Yi Feilan. Kulihat wajahnya memerah saat menjawab pertanyaan Kak Zao. Apa yang dia pikirkan saat mengatakan hal itu?"Baiklah. Aku sudah menelfon Nyonya Chen, dia minta agar pernikahan kalian dipercepat," terang Kak Zao."Dipercepat? Maksudnya?" tanyaku. Tidak percaya nenek melakukan hal tersebut. Mengambil keputusan untuk mempercepat pernikahan cucunya sendiri.Oke, orang bilang rasa suka dan sayang itu bi
Hari pernikahan tinggal beberapa jam lagi. Pengambilan cincin nikah, mencoba gaun pengantin juga foto pre-wedding sudah selesai dilakukan.Feilan mengantarku pulang ke rumah seperti biasa. Tidak ada yang terjadi, aku pun tidak merasa ada yang salah.Malam itu Feilan pulang setelah meminum teh di rumah. Pukul 8 malam tepatnya. Hari masih belum terlalu malam untuknya main sebentar. Namun, kami sudah lelah seharian kesana-kemari dengan berbagai acara.Dengan terpaksa, aku pun memintanya untuk pulang agar bisa beristirahat lebih awal."Aku pulang dulu ya," pamit Feilan."Iya, hati-hati di jalan. Telfon aku kalau sudah sampai rumah," balasku, mengulum senyum."Jangan tidur terlalu malam. Kalau ke taman belakang, jangan tiduran di kursi ayunan ya. Aku pulang, nanti kutelfon," ucap Feilan."Iya, iya. Dah," balasku, melambaikan tangan pada laki-laki yang esok hari akan resmi menjadi suamiku.Aku masih tidak menyangka, perjodohan yang a
Di hadapanku berbaring Feilan yang dimasukkan ke dalam peti. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia kami. Siang ini adalah hari pernikahanku dengan Feilan. Laki-laki yang dijodohkan, tanpa terasa menjadi pelabuhan.Feilan sangat tampan. Dia memakai setelan jas putih, yang seharusnya digunakan saat pengucapan janji pernikahan.Wajahnya tersenyum, sama seperti terakhir kali kami bertemu. Aku masih mengingatnya dengan jelas, saat dia berbalik menatapku, memberikan senyum khasnya lalu memelukku. Pelukan terakhir yang kurasakan dari kehangatan tubuhnya."Feilan," ucapku. Masih tidak rela meninggalkannya sendiri di dalam sana.Seharusnya tadi malam kuizinkan saja dia menginap di rumah. Dengan begitu, kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi."Kasihan ya, seharusnya hari ini mereka menikah""Iya, tapi tau tidak? Katanya kalau wanita ditinggal pergi sebelum hari pernikahan, wanita itu akan membawa kesialan untuk keluarganya""Yang benar?"