Semburat cahaya menerangi indera. Rona kegelapan tersingkir segera. Menapaki jalan kasar guna membangkitkan keberanian yang besar.
Cantik, pintar, memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Calon penerus Grup Annhua, perusahaan terbesar di Negara C. Itulah aku, Liu Fannyi.
Tidak ada pria yang tidak tergila-gila dan tidak kagum padaku. Hampir semua pria menyukaiku, tapi tidak ada satupun dari mereka yang berani mendekat.
Status keluarga membuat mereka enggan untuk bersahabat. Meski terpikat dengan pesonaku, semuanya mundur sebelum mencoba.
"Xiaoyi." Laki-laki gagah, berbadan kekar nan rupawan itu menghampiriku di taman belakang rumah.
Aku selalu menikmati indahnya senja di tempat itu, setiap sore meluangkan waktu meski hanya sesaat. Menghirup harum bunga yang selalu menunjukkan eksotismenya. Harum, indah berwarna-warni.
"Hm," jawabku singkat.
Sore ini aku berbaring di sebuah kursi ayunan, hal yang selalu kulakukan sejak kecil bersama ayah. Beliau adalah sosok yang penyayang, lemah lembut dan perhatian pada putri tunggalnya.
Meski begitu, di luar sana ayahku terkenal dengan ketegasan, wibawa yang besar juga kegigihannya di setiap hal.
"Nyonya Chen mengirimkan beberapa laki-laki, mereka semua ada di ruang utama." Pria tampan yang selalu berdiri di samping, menemani dan melindungiku selama 14 tahun ini, memiliki nama Zhang Zaoyan.
"Wanita tua itu melakukan hal yang kuno. Aku tidak mau, usir saja semuanya," pintaku pada Kak Zao, panggilan yang kubuat untuknya.
Zhang Zaoyan datang ke rumah saat usiaku 9 tahun, dia yang berumur 14 tahun terlihat sangat imut, tampan dan sangat manis saat sedang tersenyum.
Ayah tidak pernah bercerita tentang siapa Zhang Zaoyan itu, siapa keluarganya dan dari kalangan mana dia berasal. Hanya satu yang pasti, dia selalu ada di sampingku sejak datangan ke rumah.
Memang dia yang perhatian atau karena tugasnya untuk selalu ada untukku. Namun, sejak kecil aku selalu mengaguminya. Rasa kagum itu perlahan berubah menjadi sayang, seperti yang kurasakan saat ini.
"Xiaoyi, semua laki-laki itu didatangkan langsung dari Negara X. Dengan kamu mengusir mereka, hanya akan membuat Nyonya Chen semakin marah," tuturnya.
"Biarkan saja, aku tidak peduli. Lebih baik Kak Zao segera bersiap, karena malam ini kita akan pergi ke suatu tempat," kataku pada Kak Zao.
"Mau ke mana?" tanyanya.
"Pokoknya ada, Kak Zao hanya perlu bersiap," tegasku.
Matahari senja masih menampakkan keindahan, hangat sinarnya membuatku enggan untuk beranjak.
"Xiaoyi, Xiaoyi," panggil Kak Zao beberapa kali sambil mengguncang tubuhku.
Setelah Kak Zao pergi, ternyata aku ketiduran di taman belakang. Senja telah berganti gelap-gulita, hangat sinar mentari berganti dinginnya udara malam.
Tidak ada yang berani membangunkanku. Semua pelayan merasa segan, karena sebelumnya aku sudah berpesan untuk tidak menggangguku selama berbaring di atas hangatnya busa tipis kursi ayunan.
Selain Kak Zao, tidak ada lagi yang berani berbicara langsung kepadaku setelah kepergian ayah.
Dulu, ayah yang selalu mengomel jika aku ketiduran di sana. Beliau yang pertama mengajak justru sering melarangku untuk duduk, apalagi sampai berbaring di kursi ayunan. Hanya satu alasannya, ayah tidak mau aku ketiduran sedangkan tidak ada yang berani membangunkan.
Ayah selalu bilang cuaca malam tidak baik untuk seorang gadis. Namun, aku selalu mematahkan prinsipnya dengan jawaban yang dibuat asal-asalan. Meski begitu, terkadang ayah tersenyum bahkan mengiyakan jawaban asalku itu.
"Mmmhh, Kak Zao, ada apa?" gumamku mencoba membuka netra, tapi terasa berat sekali.
"Ini sudah malam, jangan tidur di sini," terangnya.
"Iya, nanti aku pindah. Astaga, jam berapa sekarang?" tanyaku tersentak, mengingat hal yang kukatakan pada Kak Zao tadi sore.
"Hampir jam 9 malam," jawabnya.
"Kak Zao, kenapa tidak membangunkanku?" protesku karena seharusnya Kak Zao melakukannya sejak tadi.
"Maaf, tadi sedang ada urusan di luar. Kenapa tidak bangun sendiri? Sebagai seorang gadis kamu harusnya bisa bangun tanpa bantuan orang lain, termasuk aku." Terdengar ada beban disetiap kata yang dia ucapkan.
Mungkinkah aku menjadi beban baginya? Tapi, ayah sendiri yang memintanya untuk menjagaku, orang yang membawanya menuju posisi sekarang. Kak Zao juga menyetujuinya saat itu.
"Sudahlah, acaranya juga tidak begitu penting. Tidak perlu diributkan," kataku, berlalu meninggalkan taman menuju kamar.
"Astaga." Aku tersentak kaget dengan orang yang ada di ruang tengah. Kehadirannya di rumah ini dapat dipastikan bukan hal yang baik. Aku tau sifatnya, beliau hanya akan datang jika ada hal penting saja.
"Kak Zao, sengaja tidak membangunkanku karena wanita tua ini akan datang ke rumah? Awas saja, aku tidak akan mengampuninya," gerutuku dalam hati.
"Nyonya Chen" seru Kak Zao. Tampaknya dia juga tidak mengetahui kedatangan nenek ke rumah.
Wanita tua yang kumaksud adalah nenekku. Ibu dari ayah, beliau orang yang baik, hanya saja terkadang suka seenaknya sendiri dalam memutuskan segala hal.
"Kenapa tidak menghubungi lebih dulu? Saya pasti akan menjemput Nyonya Chen," ucap Kak Zao.
"Tidak apa-apa, saya bisa datang bersama supir," jawab Nenek.
Kegiatan yang ingin kulanjutkan dengan pindah ke kamar, harus terhenti karena kedatangan Nenek. Dengan terpaksa aku duduk di sofa sebelahnya.
Dulu saat aku masih kecil, selain ayah, nenek adalah orang yang juga berperan dalam membimbing dan menjagaku. Beliau selalu datang ke rumah saat pagi, lalu pulang setelah makan malam.
Heran juga, nenek tidak pernah mau menginap di rumah barang semalam. Padahal di rumah utama, beliau juga tinggal seorang diri. Hanya ditemani Bibi Zhou dan dua penjaga rumah.
Aku tidak pernah membujuknya untuk tinggal, karena sejak kecil entah kenapa aku sangat tidak menyukainya. Sifatnya yang galak, banyak larangan, dan masih ada sifat lainnya yang aku tidak sukai. Meski begitu, beliau selalu datang ke rumah setiap hari. Hingga tiba pada hari di mana Kak Zao datang, nenek sudah jarang sekali datang ke rumah.
Setelah 2 tahun ayah meninggal, bisa dihitung berapa kali nenek mengunjungiku. Namun, aku sama sekali tidak khawatir ataupun kecewa. Justru senang jika nenek tidak ke rumah, karena aku tidak harus mendengar ocehannya yang membuat telinga gatal.
"Xiaoyan, kamu juga duduk," pinta nenek pada Kak Zao.
Nenek membuat panggilan sendiri, sama seperti yang kulakukan pada Kak Zao. Kami bahkan sempat berdebat hanya karena nama panggilan orang lain.
"Sudah. Xiaoyi, kamu bisa panggil Zaoyan dengan Kak Zao. Ibu juga bisa memanggil Zaoyan dengan Xiaoyan, semua terserah kalian." Ayah melerai dan membuat keputusan untuk kami berdua saat itu.
Kak Zao yang saat itu baru memasuki rumah keluarga Liu, hanya diam saja melihat tingkahku dan nenek.
"Baik," jawab Kak Zao mengikuti perintah nenek. Dia pun duduk di sofa yang berhadapan langsung denganku.
Nenek terlihat serius, entah apa yang akan dia katakan malam ini. Sudah pasti, itu bukan sesuatu yang baik.
bersambung...
"Xiaoyi, kamu harus menikah dengan salah satu laki-laki dari kandidat yang nenek pilih," ucapnya.Deg.Jantung seakan berhenti berdetak, napas terasa tertahan, hati terasa sakit. Bagaimana bisa nenek menyuruhku menikahi seorang pria yang tidak aku kenal sama sekali?Beliau datang tiba-tiba hanya untuk menyuruhku menikah?"Aku tidak mau," jawabku, langsung menolak.Nenek sudah pasti marah mendengar penolakanku. Aku tidak peduli. Kebahagiaan dan masa depan, hanya kita yang bisa menentukan."Xiaoyi," geram nenek seakan ingin menelanku hidup-hidup."Kamu adalah penerus Grup Annhua. Setelah usiamu mencapai 23 tahun, semua tanggung jawab Annhua akan diserahkan ke tanganmu." Ternyata, demi harta warisan ayah, nenek sampai memaksaku menikah.Beberapa bulan ini, nenek memang selalu mengenalkan beberapa pria kepadaku. Semua langsung kutolak, tanpa melihat dan memperhatikan siapa orangnya.Liu Fannyi tidak suka dipaksa. Selalu bert
"Sudahlah, aku batalkan saja acara pernikahan kita," ucap Kak Zao, berlalu meninggalkan kamarku."Pernikahan kita? Maksudnya?" tanyaku sedikit bingung.Kak Zao tak mengindahkan panggilanku, dia terus berjalan menuruni anak tangga hingga sampai di depan kamarnya."Mungkin akan lebih baik kalau kamu menikahi laki-laki yang dipilih oleh Nyonya Chen," serunya sebelum memasuki kamar.Apa maksud ucapannya? Nenek memintaku untuk menikahi laki-laki dari Negara X atau Kak Zao? Mengapa pula Kak Zao bersedia menerima permintaan nenek, benarkah dia sedang menyelamatkanku?Beruntung sekali yang menjadi keturunan seorang cenayang, dia bisa menuruni bakat untuk mengetahui isi hati dan pikiran seseorang. Tidak perlu menerka-menerka, tidak perlu membayangkan, semua akan terlihat hanya dengan kemampuan dan bakat.Kembali kubaringkan tubuh di ranjang empuk yang menjadi alas tidurku setiap malam. Pikiranku terus melanglangbuana entah ke mana. Apa tujuan nenek s
Pagi itu, Kak Zao membawaku ke sebuah restoran. Dia duduk cukup jauh dari tempatku berada, posisinya sangat pas untuk mengawasi gerak-gerikku.Kak Zao memintaku untuk menghampiri seorang pria di meja nomor 13, ternyata sebelumnya mereka telah janjian lebih dulu.Wajah memang tampan, karir juga mapan, hanya satu yang kurang dari pria di hadapanku ini, dia bukanlah pria idaman.Terlalu banyak bicara, senyumnya terlihat sekali dibuat-buat. Aku tidak menyukai pria yang seperti itu. Salah satu kreteria pria idamanku itu harus cuek dan dingin, tapi adakalanya bersikap romantis dan perhatian.Tidak harus setiap hari, yang pasti pria itu bisa menempatkan suasana romance di situasi yang tepat."Hhh, sudah berapa jam sih ini? Mau sampai kapan dengerin ceramah?" keluhku dalam hati.Kulirik Kak Zao yang terus mengawasi di belakang pria membosankan ini, tidak ada reaksi. Ingin sekali kuakhiri acara yang tidak jelas, tapi apa daya, Kak Zao pasti melapor p
Kami berdua kembali ke rumah setelah mengunjungi makam ayah. Ada perasaan lega setelahnya."Bagaimana? Sudah lebih baik?" tanya Kak Zao, menghampiriku.Kubaringkan diriku di sofa ruang tengah, tidak ada perasaan tak nyaman atau malu saat Kak Zao melihat tingkahku. Cuek saja, tidak perlu menganggapnya benar-benar ada, karena dia sendiri juga begitu."Baik apanya? Aku masih kesal, kenapa Kak Zao bilang kalau pria itu adalah pria yang baik?" protesku, tidak setuju dengan kesimpulan yang diambil Kak Zao saat di rumah nenek tadi.Kak Zao langsung membawaku ke rumah nenek setelah menemui pria di restoran itu. Karena nenek sudah meminta Kak Zao untuk memberikan pendapatnya, sudah pasti langsung dilaporkan segera."Kenapa?" tanyanya."Kenapa Kak Zao bilang? Harusnya jawab saja dia bukan pria yang baik," kataku, merubah posisi menjadi duduk dan menyilangkan tangan di depan dada."Aku selalu berkata jujur. Lagipula, pria itu adalah cucu dari sa
Meninggalkan ruangan Wakil Direktur dengan perasaan tak menentu. Beberapa orang masih berada di lobi, karena di sanalah mereka bekerja.Masih tersenyum dan menunduk hormat padaku, tak berniat mengindahkannya. Aku terus berjalan tanpa mempedulikan mereka, ataupun anggapan mereka nantinya.Melewati pintu utama, supir telah menyambutku di sana. Memberiku hak istimewa dengan membukakan pintu.Tidak tau mengapa ada perasaan kecewa dan sedih yang kurasakan. Aku memang menyukainya, tapi tidak tau akan seperti ini jika mendengar penolakan seperti itu dari Kak Zao.Sepanjang perjalanan, aku mencoba meyakinkan diri, tidak akan bergantung lagi pada Kak Zao mulai hari ini.Saat itu, netra menangkap sosok pria yang kukenal. Dia tengah berdiri di toko bunga. Pikiranku melayang, untuk siapa bunga itu?Kembali teringat ucapan Kak Zao akan adanya seseorang yang datang mengunjungiku malam ini. Mungkinkah dia orangnya? Astaga, bertemu pria itu lagi.Kul
Langkah pun berhenti saat namaku dipanggil seorang pria. Tidak asing memang, karena baru beberapa jam aku mendengar suara itu. "Xiaoyi," panggilnya lagi, karena melihatku yang masih berdiam diri di tempat, tanpa menoleh ataupun melanjutkan langkah. "Silahkan duduk, akan kuambilkan minum dulu." Suara Kak Zao terdengar di tengah kebisuan. Saat Kak Zao pergi ke dapur, aku berjalan mengendap mulai menaiki anak tangga. Baru saja dua langkah, suara pria itu kembali memanggil namaku. "Duduk di sini, temani aku," pintanya. "Direktur Yi, maaf. Saya harus bersiap dulu," balasku bernada sopan. "Tidak perlu bersiap, aku harus terbiasa melihatmu dalam keadaan seperti ini," ucapnya, sukses membuatku bertanya dalam hati. Aku tak menggubris permintaannya tadi, segera melanjutkan langkah melewati semua anak tangga yang masih tersisa banyak. Namun, panggilan Kak Zao terpaksa membuatku duduk di samping pria itu beberapa menit kemudian. Wa
Ekspresi bingung tergambar di wajah Yi Feilan. Dia tidak mengerti akan ucapanku tadi."Jadi, maksudnya? Kamu suka atau ... ""Suka," jawabku langsung dan singkat."Aku ... "Suara Kak Zao menghentikan percakapan kami. Entah apa yang tadi ingin Yi Feilan katakan. Dia langsung diam setelah Kak Zao berada di sana."Kak Zao," sapaku."Kak Zaoyan," ucap Yi Feilan, juga menyapa Kak Zao."Bagaimana? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Kak Zao, duduk di sebelah Yi Feilan."Tidak ada, hanya bicara hal biasa," jawab Yi Feilan. Kulihat wajahnya memerah saat menjawab pertanyaan Kak Zao. Apa yang dia pikirkan saat mengatakan hal itu?"Baiklah. Aku sudah menelfon Nyonya Chen, dia minta agar pernikahan kalian dipercepat," terang Kak Zao."Dipercepat? Maksudnya?" tanyaku. Tidak percaya nenek melakukan hal tersebut. Mengambil keputusan untuk mempercepat pernikahan cucunya sendiri.Oke, orang bilang rasa suka dan sayang itu bi
Hari pernikahan tinggal beberapa jam lagi. Pengambilan cincin nikah, mencoba gaun pengantin juga foto pre-wedding sudah selesai dilakukan.Feilan mengantarku pulang ke rumah seperti biasa. Tidak ada yang terjadi, aku pun tidak merasa ada yang salah.Malam itu Feilan pulang setelah meminum teh di rumah. Pukul 8 malam tepatnya. Hari masih belum terlalu malam untuknya main sebentar. Namun, kami sudah lelah seharian kesana-kemari dengan berbagai acara.Dengan terpaksa, aku pun memintanya untuk pulang agar bisa beristirahat lebih awal."Aku pulang dulu ya," pamit Feilan."Iya, hati-hati di jalan. Telfon aku kalau sudah sampai rumah," balasku, mengulum senyum."Jangan tidur terlalu malam. Kalau ke taman belakang, jangan tiduran di kursi ayunan ya. Aku pulang, nanti kutelfon," ucap Feilan."Iya, iya. Dah," balasku, melambaikan tangan pada laki-laki yang esok hari akan resmi menjadi suamiku.Aku masih tidak menyangka, perjodohan yang a