Share

Xiaoyi Xiaoyan
Xiaoyi Xiaoyan
Author: rannty

Part 1

Semburat cahaya menerangi indera. Rona kegelapan tersingkir segera. Menapaki jalan kasar guna membangkitkan keberanian yang besar.

Cantik, pintar, memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Calon penerus Grup Annhua, perusahaan terbesar di Negara C. Itulah aku, Liu Fannyi.

Tidak ada pria yang tidak tergila-gila dan tidak kagum padaku. Hampir semua pria menyukaiku, tapi tidak ada satupun dari mereka yang berani mendekat.

Status keluarga membuat mereka enggan untuk bersahabat. Meski terpikat dengan pesonaku, semuanya mundur sebelum mencoba.

"Xiaoyi." Laki-laki gagah, berbadan kekar nan rupawan itu menghampiriku di taman belakang rumah.

Aku selalu menikmati indahnya senja di tempat itu, setiap sore meluangkan waktu meski hanya sesaat. Menghirup harum bunga yang selalu menunjukkan eksotismenya. Harum, indah berwarna-warni.

"Hm," jawabku singkat.

Sore ini aku berbaring di sebuah kursi ayunan, hal yang selalu kulakukan sejak kecil bersama ayah. Beliau adalah sosok yang penyayang, lemah lembut dan perhatian pada putri tunggalnya.

Meski begitu, di luar sana ayahku terkenal dengan ketegasan, wibawa yang besar juga kegigihannya di setiap hal.

"Nyonya Chen mengirimkan beberapa laki-laki, mereka semua ada di ruang utama." Pria tampan yang selalu berdiri di samping, menemani dan melindungiku selama 14 tahun ini, memiliki nama Zhang Zaoyan.

"Wanita tua itu melakukan hal yang kuno. Aku tidak mau, usir saja semuanya," pintaku pada Kak Zao, panggilan yang kubuat untuknya.

Zhang Zaoyan datang ke rumah saat usiaku 9 tahun, dia yang berumur 14 tahun terlihat sangat imut, tampan dan sangat manis saat sedang tersenyum.

Ayah tidak pernah bercerita tentang siapa Zhang Zaoyan itu, siapa keluarganya dan dari kalangan mana dia berasal. Hanya satu yang pasti, dia selalu ada di sampingku sejak datangan ke rumah.

Memang dia yang perhatian atau karena tugasnya untuk selalu ada untukku. Namun, sejak kecil aku selalu mengaguminya. Rasa kagum itu perlahan berubah menjadi sayang, seperti yang kurasakan saat ini.

"Xiaoyi, semua laki-laki itu didatangkan langsung dari Negara X. Dengan kamu mengusir mereka, hanya akan membuat Nyonya Chen semakin marah," tuturnya.

"Biarkan saja, aku tidak peduli. Lebih baik Kak Zao segera bersiap, karena malam ini kita akan pergi ke suatu tempat," kataku pada Kak Zao.

"Mau ke mana?" tanyanya.

"Pokoknya ada, Kak Zao hanya perlu bersiap," tegasku.

Matahari senja masih menampakkan keindahan, hangat sinarnya membuatku enggan untuk beranjak.

"Xiaoyi, Xiaoyi," panggil Kak Zao beberapa kali sambil mengguncang tubuhku.

Setelah Kak Zao pergi, ternyata aku ketiduran di taman belakang. Senja telah berganti gelap-gulita, hangat sinar mentari berganti dinginnya udara malam.

Tidak ada yang berani membangunkanku. Semua pelayan merasa segan, karena sebelumnya aku sudah berpesan untuk tidak menggangguku selama berbaring di atas hangatnya busa tipis kursi ayunan.

Selain Kak Zao, tidak ada lagi yang berani berbicara langsung kepadaku setelah kepergian ayah.

Dulu, ayah yang selalu mengomel jika aku ketiduran di sana. Beliau yang pertama mengajak justru sering melarangku untuk duduk, apalagi sampai berbaring di kursi ayunan. Hanya satu alasannya, ayah tidak mau aku ketiduran sedangkan tidak ada yang berani membangunkan.

Ayah selalu bilang cuaca malam tidak baik untuk seorang gadis. Namun, aku selalu mematahkan prinsipnya dengan jawaban yang dibuat asal-asalan. Meski begitu, terkadang ayah tersenyum bahkan mengiyakan jawaban asalku itu.

"Mmmhh, Kak Zao, ada apa?" gumamku mencoba membuka netra, tapi terasa berat sekali.

"Ini sudah malam, jangan tidur di sini," terangnya.

"Iya, nanti aku pindah. Astaga, jam berapa sekarang?" tanyaku tersentak, mengingat hal yang kukatakan pada Kak Zao tadi sore.

"Hampir jam 9 malam," jawabnya.

"Kak Zao, kenapa tidak membangunkanku?" protesku karena seharusnya Kak Zao melakukannya sejak tadi.

"Maaf, tadi sedang ada urusan di luar. Kenapa tidak bangun sendiri? Sebagai seorang gadis kamu harusnya bisa bangun tanpa bantuan orang lain, termasuk aku." Terdengar ada beban disetiap kata yang dia ucapkan.

Mungkinkah aku menjadi beban baginya? Tapi, ayah sendiri yang memintanya untuk menjagaku, orang yang membawanya menuju posisi sekarang. Kak Zao juga menyetujuinya saat itu.

"Sudahlah, acaranya juga tidak begitu penting. Tidak perlu diributkan," kataku, berlalu meninggalkan taman menuju kamar.

"Astaga." Aku tersentak kaget dengan orang yang ada di ruang tengah. Kehadirannya di rumah ini dapat dipastikan bukan hal yang baik. Aku tau sifatnya, beliau hanya akan datang jika ada hal penting saja.

"Kak Zao, sengaja tidak membangunkanku karena wanita tua ini akan datang ke rumah? Awas saja, aku tidak akan mengampuninya," gerutuku dalam hati.

"Nyonya Chen" seru Kak Zao. Tampaknya dia juga tidak mengetahui kedatangan nenek ke rumah.

Wanita tua yang kumaksud adalah nenekku. Ibu dari ayah, beliau orang yang baik, hanya saja terkadang suka seenaknya sendiri dalam memutuskan segala hal.

"Kenapa tidak menghubungi lebih dulu? Saya pasti akan menjemput Nyonya Chen," ucap Kak Zao.

"Tidak apa-apa, saya bisa datang bersama supir," jawab Nenek.

Kegiatan yang ingin kulanjutkan dengan pindah ke kamar, harus terhenti karena kedatangan Nenek. Dengan terpaksa aku duduk di sofa sebelahnya.

Dulu saat aku masih kecil, selain ayah, nenek adalah orang yang juga berperan dalam membimbing dan menjagaku. Beliau selalu datang ke rumah saat pagi, lalu pulang setelah makan malam.

Heran juga, nenek tidak pernah mau menginap di rumah barang semalam. Padahal di rumah utama, beliau juga tinggal seorang diri. Hanya ditemani Bibi Zhou dan dua penjaga rumah.

Aku tidak pernah membujuknya untuk tinggal, karena sejak kecil entah kenapa aku sangat tidak menyukainya. Sifatnya yang galak, banyak larangan, dan masih ada sifat lainnya yang aku tidak sukai. Meski begitu, beliau selalu datang ke rumah setiap hari. Hingga tiba pada hari di mana Kak Zao datang, nenek sudah jarang sekali datang ke rumah.

Setelah 2 tahun ayah meninggal, bisa dihitung berapa kali nenek mengunjungiku. Namun, aku sama sekali tidak khawatir ataupun kecewa. Justru senang jika nenek tidak ke rumah, karena aku tidak harus mendengar ocehannya yang membuat telinga gatal.

"Xiaoyan, kamu juga duduk," pinta nenek pada Kak Zao.

Nenek membuat panggilan sendiri, sama seperti yang kulakukan pada Kak Zao. Kami bahkan sempat berdebat hanya karena nama panggilan orang lain.

"Sudah. Xiaoyi, kamu bisa panggil Zaoyan dengan Kak Zao. Ibu juga bisa memanggil Zaoyan dengan Xiaoyan, semua terserah kalian." Ayah melerai dan membuat keputusan untuk kami berdua saat itu.

Kak Zao yang saat itu baru memasuki rumah keluarga Liu, hanya diam saja melihat tingkahku dan nenek.

"Baik," jawab Kak Zao mengikuti perintah nenek. Dia pun duduk di sofa yang berhadapan langsung denganku.

Nenek terlihat serius, entah apa yang akan dia katakan malam ini. Sudah pasti, itu bukan sesuatu yang baik.

bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status