"Ganteng banget!"
Arjuna yang mendengarnya hanya tersenyum kecil. Sejak lima menit yang lalu ia selalu mendengar orang-orang berbisik sambil mengamatinya. Tentu saja mereka mengagumi ketampanan wajah Arjuna, bahkan ibu guru yang sedang hamil berharap anaknya nanti ketika lahir wajahnya akan tampan seperti Arjuna dan ibu guru yang masih single berharap menemukan calon suami seperti ayahnya Nanda itu, atau mereka berharap menikah dengan Arjuna?
"Guru baru?"
"Bukan, tapi mas-mas ganteng itu katanya ayah dari murid baru yang mau bersekolah di sini. Itu lho, yang waktu itu diceritakan sama Bu Eni."
"Aduh! Gagal buat saya gebet, dong, Bu? Tadinya mas-mas ganteng itu mau saya bawa pulang terus dikenalkan ke kedua orang tua saya."
Dua ibu guru yang sedang bergosip itu tertawa kecil. Mata mereka masih belum lepas pandangannya dari sosok Arjuna.
"Saya mau ke kantin dulu, Bu." Ibu guru yang masih single dan masih muda berusia sekitar dua puluh empat tahun itu rasanya enggan untuk beranjak dari ruang guru.
***
"Nis! Nis! Kamu sudah tahu belum kalau ada murid baru yang mau bersekolah di TK kita?" tanya ibu guru single, Bu Andin.
"Oh iya waktu itu pernah dengar dari Bu Eni. Katanya mau sekolahnya antara hari Rabu atau Kamis."
"Ayah dari anak itu ganteng super ganteng ganteng ganteng banget, lho, Nis." Andin senyum-senyum tidak jelas. Ternyata ia masih tergila-gila dengan ketampanan Arjuna.
"Kamu jangan naksir sama orang yang sudah beristri, lho, Din. Gak boleh."
Andin berdecak pelan. "Aku itu bukan naksir, Nis, tapi kagum. Bu Wiwin aja sampai ngidam ayahnya murid baru itu."
Nismara hanya geleng-geleng kepala. Ketika itu hendak pergi dari kantin, ada sesuatu yang menarik-narik celana panjangnya. Nismara kemudian menunduk dan terkejut melihat seorang anak kecil yang wajahnya tampan dan nampak tidak asing di mata Nismara. Kalau Nismara tidak salah ingat, anak kecil ini kan..., "Abimanyu?"
"Bu Nismara!!!" Nanda berteriak girang ketika Nismara memanggil namanya. Nanda bahkan sampai memeluk kaki Nismara.
"Dia siapa, Nis? Kamu kenal? Anak rahasia kamu, ya?"
"Enak aja! Bukan, lah." Nismara berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badannya dengan Nanda.
"Bu Nismara masih ingat sama Nanda, ya?"
Nah! Nismara baru ingat kalau nama panggilan Nanda adalah Nanda, tapi ia malah memanggil nama Abimanyu.
"Iya, dong, Sayang, Ibu masih ingat. Kamu sedang apa di sini?" Tiga detik kemudian sel-sel otak Nismara tersambung semua. Jika Nanda ada di sini, kemungkinan kedua orang Nanda juga ada. Dan... apa jangan-jangan murid baru yang tadi sedang mereka bicarakan adalah Nanda?
Jangan bilang iya.
"Aku besok baru mau mulai sekolah di sini, Bu Nismara."
Mata Nismara membelalak.
Tuh, kan, benar.
"Jadi anak ini anak mas-mas ganteng tadi? Aduh... anak sama bapak gantengnya gak beda jauh." Andin terkejut, tetapi ia kemudian merasa senang mengetahui fakta tersebut.
"Din, kalau besok atau lusa aku nggak masuk sekolah itu berarti artinya aku udah re-sign, ya."
"Eh? Kenapa, Nis? Kok mendadak begitu?"
Nismara berdiri, ia mengembuskan napas pelan. "Nanda, Ibu mau pergi dulu, ya."
"Bu Nismara mau pergi ke mana? Jangan pergi lagi, Bu Nis! Jangan pergi! Kalau Bu Nismara mau pergi, Nanda ikut!" Nanda kembali memeluk kaki Nismara, kini dengan pelukan yang cukup erat seperti tidak mau ditinggalkan.
Nismara melirik ke arah Andin, meminta bantuan temannya itu untuk menjauhkan dirinya dari Nanda.
"Ibu Nismara nggak akan ke mana-mana, kok, Nanda. Nanda jangan takut, ya? Sini, sama Bu Andin."
"Tapi waktu itu Bu Nismara ninggalin aku, Bu."
"Sekarang nggak akan, kok. Iya, kan?" Andin menatap Nismara.
Nismara mengangguk pelan. "Iya, Ibu nggak akan ninggalin kamu."
"Bu Nis jangan tinggalin aku, ya? Janji?"
"Iya, Ibu janji."
"Kalau begitu Bu Nis mau temani aku cari Papa?"
"Emang Papa kamu ke mana?"
"Papa tadi sama Bu Eni. Aku main sama temen-temen, eh pas dicari Papa nggak ada."
Dasar laki-laki, nggak bisa ngurus anak. Hobinya ninggalin mulu.
"Dasar!" Nismara bergumam pelan, ia benar-benar kesal pada Arjuna.
"Ayo kita cari Papa kamu."
"Papa kamu tadi ada di ruang guru," ucap Andin. "Ayo kita ke sana sama-sama."
Nanda mengangguk senang. "Ayo, Bu Guru!"
"Aku nggak ikut, ah, Din."
Andin menghentikan langkahnya. "Kenapa?"
"Aku mau ke toilet dulu."
"Bu Nis, aku ikut!"
"Iya, kita berdua akan tunggu kamu."
Nismara menolak. "Nggak usah, Din. Sebentar lagi bel, kamu ada kelas lagi, kan? Kebetulan aku mau langsung pulang."
"Bu Nis! Jangan tinggalin aku!!! Bu Nis, kan, sudah janji!"
"Iya, deh." Nismara mengalah juga karena tidak tega melihat wajah Nanda yang sangat sedih itu, bahkan hampir menangis.
Tiga menit kemudian Nanda sudah selesai berurusan di toilet. Sepanjang perjalanan ke ruang guru, Nismara banyak berdecak dan mengembuskan napas. Ia benar-benar tidak siap untuk bertemu dengan Arjuna.
"Din, tadi kata kamu ayahnya Nanda ada di ruang guru? Bener?"
Andin mengangguk. "Iya, bener, tapi nggak tahu kalau sekarang."
"Semoga aja dia ada di ruangan Bu Eni," gumam Nismara.
Ketika mereka bertiga sampai di ruang guru, Nismara bernapas lega karena ia tidak menemukan sosok Arjuna.
"Papaku mana, Bu?" tanya Nanda.
Andin berjalan ke arah ruangan Bu Eni dan melihat ke dalam sana tetapi tidak menemukan siapa-siapa.
"Bu Mia, kira-kira Bu Eni sama mas-mas ganteng tadi ke mana, ya?" tanya Andin.
"Kalau gak salah tadi ke luar mau cari anaknya mas-mas ganteng."
"Nis, kamu aja ya yang bantu cari, aku mau ke kelas dulu."
"Iya, iya." Nismara menjawabnya dengan enggan.
"Bu Nis, cari Papa aku, yuk!"
"Mmmm... kita tunggu di sini aja, ya. Kamu lapar, gak? Sini, makan sama Ibu, ya?"
Nanda mengangguk senang.
Bu Mia tersenyum kecil. "Dia anaknya mas-mas ganteng itu ya, Nis? Kamu kenal sama mereka? Kok nggak bilang-bilang?"
"Saya baru saja kenal, Bu. Tapi sama anaknya doang, kalau sama ayahnya saya nggak mau kenal. Orangnya nyebelin banget soalnya."
"Oh ya? Masa, sih?"
"Iya, Bu. Ih orangnya itu lho, bikin darah tinggi deh."
"Berarti itu artinya kamu kenal sama dia, dong, Nis."
Nismara menggeleng cepat. "Nggak, Bu."
"Ya sudah, Ibu pulang dulu, ya. Dadah anak ganteng!"
Nanda hanya melambaikan tangannya saja karena dirinya sibuk memakan bekal milik Nismara.
Kini di ruang guru hanya tinggal Nismara, Nanda, satu orang guru dan cleaning servis yang membawakan semangkuk mi instan juga air teh yang masih mengepul pada guru tersebut.
Nismara beranjak dari duduknya untuk mengambil air di dispenser. Nismara tidak terlalu memperhatikan orang yang masuk ke dalam ruang guru, tetapi ia kemudian mengalihkan perhatiannya ketika Nanda berteriak memanggil seseorang.
"Papa!!!"
"Kamu ke mana saja, sih? Jangan tiba-tiba menghilang! Bikin Papa panik saja."
Nismara melebarkan matanya. Ia kembali menghadap ke dispenser, pura-pura tidak menyadari keberadaan mereka.
"Maaf, Pa, tadi aku keasyikan main sama teman-teman. Untung saja aku ketemu sama Bu Nis, jadi aku diajak ke sini dan dikasih makanan."
"Lain kali kamu jangan ngerepotin orang terus, dong, Nanda. Bu Eni ikut panik juga nyari kamu. Ayo cepat, minta maaf sama Bu Eni."
"Nanda minta maaf, Bu."
Bu Eni tersenyum dan mengelus kepala Nanda penuh kasih sayang. "Tidak apa-apa, kok, Abimanyu."
"Mana Bu Nis yang nolongin kamu? Kamu udah minta maaf dan bilang terima kasih sama beliau?"
Nanda menggeleng. "Belum, Pa. Tapi itu Bu Nis-nya lagi ngambil air minum."
Baik Nanda, Arjuna dan Bu Eni menatap ke arah Nismara yang sedari tadi berdiri menghadap ke dispenser.
"Nismara," panggil Bu Eni.
Nismara meringis. Ia membalikkan tubuhnya secara perlahan sambil memejamkan matanya, sesekali ia berdecak.
"Nismara?" gumam Arjuna. Rasanya ia tidak asing dengan nama tersebut.
Dan benar saja, ketika Nismara sudah sepenuhnya menghadap ke arah mereka, Arjuna langsung ingat lalu berteriak, "Penculik!"
"Penculik?" Bu Eni menatap ke arah yang ditunjuk oleh Arjuna. "Penculik yang kamu maksud siapa, Jun?""Itu, Bu. Itu penculiknya yang lagi di depan dispenser."Bu Eni sekarang mengerti, beliau kemudian tertawa. "Jadi orang yang kamu ceritakan sebagai penculik di kebun binatang itu Nismara, Jun? Hahaha... dan orang tua menyebalkan dan tidak bisa mengurus anak maksud kamu Arjuna, Nis? Kok bisa kebetulan seperti ini, ya?""Iya, Bu, dia penculiknya. Kenapa penculik seperti dia bisa berada di sini? Apalagi jadi seorang guru. Awas, Bu, hati-hati, siapa tahu ini hanya sebuah kedok saja supaya dia bisa leluasa untuk menculik anak-anak tanpa satu orang pun yang curiga."Bu Eni dan Bu Mia tertawa."Heh, Pak, jangan ngomong sembarangan, ya. Saya bukan penculik, benar-benar bukan seorang penculik.""Mana ada penculik ngaku. Bu, Ibu harus percaya sama saya, perempuan itu bukan perempuan baik-baik, dia orang jahat, buktinya dia mau culik Nanda, Bu." Arjuna mencoba meyakinka
Entah untuk yang keberapa kalinya Nanda bercermin, membetulkan posisi dasi dan baju seragamnya juga rambut yang sudah disisir rapi oleh ayahnya."Pa, aku sudah keren, belum?" tanya Nanda sambil memutar tubuhnya."Sudah, dong. Sudah rapi, wangi, ganteng lagi." Arjuna menjawabnya sambil merapikan dasi lalu memakai jas hitam."Berarti Bu Nis bakal makin suka sama aku, dong, Pa?"Arjuna mengerutkan kening. "Apa hubungannya sama Bu Nismara?""Kan Bu Nis itu suka sama aku, Pa. Papa gak tahu, ya?"Iya, suka nyulik, ucap Arjuna dalam hati.Setelah selesai sarapan, mereka berdua langsung berangkat ke TK Cempaka Kuning. Arjuna berpesan kalau nanti ketika Nanda pulang, ia akan menjemputnya walaupun agak sedikit terlambat.Arjuna juga mewanti-wanti untuk menunggu di dalam sekolah, jangan mengikuti siapa pun, apalagi mengikuti Nismara, pokoknya Arjuna tidak mau hal itu terjadi. Siapa tahu Nismara memang benar-benar seorang penculik, kan?Arjuna ini memang tipe orang yang tidak mudah percaya kepada
Nanda, Nismara dan Bu Darmaya menatap wajah Arjuna dengan lekat sebab sudah hampir dua menit Arjuna tidak bereaksi sama sekali."Kayaknya racun yang saya kasih sudah bereaksi, ya? Bapak jadi nggak cerewet seperti biasanya," ucap Nismara.Sial! Aku dikerjai, ucap Arjuna dalam hati.Bu Darmaya terkekeh pelan. "Maafkan kelakuan anak saya ya, Pak Arjuna. Nismara itu orangnya memang tidak bisa bercanda, jadi sekalinya bercanda nggak lucu kayak komedian di televisi.""Tidak apa-apa, Bu. Saya juga minta maaf karena sudah berpikiran yang buruk.""Seharusnya Bapak minta maaf pas pertama kali kita berdua bertemu di kebun binatang. Kenapa cuma minta maafnya ke ibu saya saja?" Nismara mulai menunjukkan kekesalannya tetapi Arjuna tidak menggubris sama sekali."Nanda, Sayang ayo kita pulang."Nanda menggeleng. "Nggak mau, Pa.""Lho? Kenapa? Kamu jangan gitu, dong. Malu dong sama Bu Darmaya. Kita pulang, ya? Jangan bikin repot orang-orang.""Nggak mau, Pa!" Seka
Arjuna menopang dagu sambil menatap layar laptop yang masih menyala. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari tetapi mata Arjuna masih enggan untuk terpejam walau sebentar. Pekerjaan kantor benar-benar menyita waktu istirahatnya.Air kopi di dalam gelas susah habis, tinggal ampasnya saja. Arjuna berjalan ke dapur untuk membuat kopi lagi, bukan kopi dengan gula melainkan kopi yang hanya kopi saja, alias kopi pahit. Entah sudah berapa tahun Arjuna menjadi kecanduan kopi pahit yang jarang disukai banyak orang.Di wastafel, piring dan gelas kotor belum dicuci saking sibuknya Arjuna dengan pekerjaan kantornya. Arjuna melirik sekilas rantang susun milik Nismara yang isinya sudah kosong karena tadi malam Arjuna dan Nanda menghangatkan kembali makanan pemberian dari bu guru tersebut. Arjuna akui kalau masakan Nismara memang sangat lezat, pantas saja ketika makan siang tadi Nanda terus menerus meminta untuk menambah. Sebenarnya Arjuna ingin menambah juga, tapi geng
Nismara menahan diri untuk tidak tergiur, apalagi tergoda dengan aroma harum dari rendang yang sedang dihangatkan oleh Bu Darmaya. Sedangkan sekotak martabak, sepotong pun Nismara tidak menyentuhnya, apalagi memakannya."Mbak, jangan dipelototi terus, dong. Kalau mau ambil aja, nanti keburu kita abisin, lho." Adik pertama Nismara, adik perempuannya yang bernama Novi menegur kakaknya itu yang sedari tadi seolah ingin menghabisi martabak tak bersalah tanpa ampun.Adik bungsu Nismara, Dayyan adik laki-laki yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas kejuruan yang sekarang masih belajar di kelas sebelas jurusan teknik mesin itu menyetujui ucapan Novi. "Bener, Mbak Nis, nanti kita berdua yang ngabisin, lho."Nismara masih meyakini kalau makanan pemberian dari Arjuna itu ada peletnya. Makanya Nismara tidak mau dan malah memberikan makanan tersebut untuk keluarganya sebagai bahan uji coba.Ampun deh, jahat banget.Mata Nismara masih tidak berhenti memperhatikan ked
Hari Jumat pagi Arjuna kerepotan karena Nanda tiba-tiba sakit demam. Arjuna sudah menelepon Bude Marni tetapi Bude Marni sedang pergi ke luar kota untuk tiga hari ke depan, jadi dengan terpaksa Arjuna harus mengurus Nanda seorang diri.Arjuna sudah berpakaian rapi, sebelum ke kantor Arjuna terlebih dahulu membawa Nanda ke klinik langganannya setelah itu ia pergi ke sekolah TK untuk memberi tahu pada Bu Eni kalau hari ini Nanda tidak bisa masuk."Terus Abimanyu di rumah sama siapa, Jun?" tanya Bu Eni. Beliau begitu khawatir dengan keadaan Nanda sekarang, soalnya bocah itu tidak ada yang mengurusi."Saya bawa ke kantor, Bu. Kalau saya tinggal di rumah malah saya tidak tega, beda kalau Nanda sudah remaja. Hari ini saya tidak bisa libur pergi ke kantor karena nanti ada rapat dengan perusahaan lain.""Apa nantinya Abimanyu tidak akan mengganggu kamu?"Arjuna menggeleng. "Tidak, Bu. Justru saya merasa senang. Nanti di sana dia akan ditemani oleh office boy.""Oh..." Bu Eni mengangguk paham.
Hampir satu setengah jam Nismara menunggu Arjuna di parkiran sekolah, karena tidak ada tanda-tanda mobil mewah lelaki itu akan datang, juga ia sedari tadi tidak melihat Nanda, Nismara berasumsi kalau Arjuna sudah menjemput pulang Nanda.Nismara kembali pergi ke ruang guru, ia menanyakan alamat rumah Arjuna pada Bu Eni, tetapi Bu Eni malah memberikan alamat kantor milik Arjuna. Bu Eni juga memberi tahu kalau hari ini Nanda tidak masuk sekolah karena sakit. Pantas saja sedari tadi Nismara menunggu Arjuna tidak datang juga. Jadi sia-sia Nismara menunggu dengan sabar, buang-buang waktu saja."Kamu ini perhatian sekali dengan Nanda ya, Nis?" Bu Eni tersenyum.Nismara menggeleng cepat. Bukan, bukan itu maksudnya. Nismara enggan memberi tahu kejadian yang sebenarnya kenapa dirinya mencari rumah Arjuna.Dengan tekad bulat, Nismara pergi ke kantor Arjuna dengan menaiki bus. Sebenarnya tadi Nismara pergi dengan motornya, tetapi karena ban belakang motornya pecah, jadi ia harus
Sebelum mengetuk pintu, Mona mengembuskan napas terlebih dahulu. Rasa keingintahuannya yang besar membuat dirinya menjadi gugup."Pak, saya Mona!" ucap Mona ketika sudah mengetuk pintu sebanyak tiga kali."Masuk!"Dengan perlahan, Mona membuka pintu. Ia begitu aneh ketika melihat Arjuna yang sedang duduk di kursi kerjanya sedangkan Nismara sedang menyuapi Nanda sebuah agar-agar rasa melon."Hasil rapat tadi sudah saya rangkum, Pak. Dan di map yang satu lagi adalah berkas laporan tiga hari yang lalu.""Baik, saya periksa dulu."Diam-diam Mona memperhatikan Arjuna dengan lekat. Jas yang tadi dipakai oleh Arjuna kini tersampir di belakang kursinya. Rambut masih klimis, lengan kemejanya juga digulung sampai ke siku, kancing baju paling atas dan dasi sudah dilonggarkan sedikit. Kemejanya masih rapi, tidak kusut sama sekali. Mona jadi merasa aneh. Lalu kemudian Mona mengamati Nismara, perempuan itu juga masih berpenampilan seperti biasa, tidak acak-acakan sama seka