Share

Bukan Penculik?

"Penculik?" Bu Eni menatap ke arah yang ditunjuk oleh Arjuna. "Penculik yang kamu maksud siapa, Jun?"

"Itu, Bu. Itu penculiknya yang lagi di depan dispenser."

Bu Eni sekarang mengerti, beliau kemudian tertawa. "Jadi orang yang kamu ceritakan sebagai penculik di kebun binatang itu Nismara, Jun? Hahaha... dan orang tua menyebalkan dan tidak bisa mengurus anak maksud kamu Arjuna, Nis? Kok bisa kebetulan seperti ini, ya?"

"Iya, Bu, dia penculiknya. Kenapa penculik seperti dia bisa berada di sini? Apalagi jadi seorang guru. Awas, Bu, hati-hati, siapa tahu ini hanya sebuah kedok saja supaya dia bisa leluasa untuk menculik anak-anak tanpa satu orang pun yang curiga."

Bu Eni dan Bu Mia tertawa.

"Heh, Pak, jangan ngomong sembarangan, ya. Saya bukan penculik, benar-benar bukan seorang penculik."

"Mana ada penculik ngaku. Bu, Ibu harus percaya sama saya, perempuan itu bukan perempuan baik-baik, dia orang jahat, buktinya dia mau culik Nanda, Bu." Arjuna mencoba meyakinkan Bu Eni.

"Kamu tenang, Jun, jangan nuduh Nismara seperti itu."

"Maksud Ibu apa? Ibu gak percaya sama saya?"

"Iya, Ibu nggak percaya sama kamu, Ibu lebih percaya sama Nismara karena dia yang Ibu bawa ke sini buat jadi pengganti guru yang lain yang sudah keluar."

"Bu, saya mohon, Ibu harus percaya sama saya."

"Nggak, Jun. Nismara ini orangnya baik dan dia bukan seorang penculik."

"Ibu tahu dari mana, Bu?"

Bu Mia menjawab, "Nismara ini tetangganya Bu Eni."

Arjuna menatap ketiga orang itu tidak percaya. Nismara yang sedari tadi diam kemudian tersenyum mengejek ke arah Arjuna yang sedari tadi terus menuduh Nismara sebagai seorang penculik.

"Dia orang baru, kan? Siapa tahu itu hanya kedok semata."

"Sudah lah, Jun, kamu jangan parno kayak gitu. Nismara itu sudah menjadi tetangga Ibu sejak dia masih ada di dalam kandungan, malahan Nismara waktu masih kecil sekolah TK-nya di sini, lho, Jun," ucap Bu Eni.

Nanda yang tidak tahu apa-apa hanya diam. Ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. "Bu, aku haus," ucapnya.

Nismara yang memang mengambil air di dispenser itu untuk Nanda langsung berjalan menuju meja kerjanya dan memberikan Nanda segelas air. Tetapi tangan Arjuna malah mencengkeram tangan Nismara.

"Air ini nggak ada racunnya, lho, Pak."

"Saya gak percaya." Arjuna mengambil gelas itu lalu meminumnya. "Kamu makan bekal punya siapa, Nanda?"

"Punyanya Bu Nis, Pa."

Mata Arjuna langsung membelalak. Ia mengambil kotak bekal itu yang sudah kosong. "Nanda, kamu pusing gak? Mual gak? Atau ada yang nggak enak di badan kamu?"

"Makanan punya saya juga nggak ada racunnya, Pak."

Nanda menggeleng. "Nanda cuma haus, Pa. Airnya, kan, malah diminum sama Papa. Gimana, sih? Kalau Papa haus ambil sendiri, dong, jangan ngambil punya aku. Bu Nis ngambil air itu buat aku."

"Kamu itu, Jun, terlalu overprotektif sama Abimanyu," ucap Bu Eni.

"Maklum saja, Bu, hanya Nanda satu-satunya orang yang paling saya sayangi di dunia ini. Saya gak mau ditinggalkan lagi oleh orang yang berharga bagi saya."

Apa ayahnya Nanda seorang duda? Tapi tidak mungkin, pikir Nismara setelah mendengar ucapan Arjuna barusan.

"Nanda, ayo kita pulang."

"Iya, Pa." Nanda mencium tangan Bu Mia, Bu Eni juga Nismara. "Bu Nis, terima kasih buat bekalnya, makanannya enak banget. Bu Nis yang masak?"

"Iya, sama-sama, Nanda. Iya, dong, Ibu yang masak. Wah... Ibu senang kalau kamu suka masakan Ibu."

"Hem, hem," ucap Nanda sambil mengangguk.

"Dadah!" Nanda melambaikan tangan pada ketiga guru tersebut.

"Nis, kayaknya Nanda suka banget sama kamu sampai nempel-nempel gitu," ucap Bu Mia ketika Arjuna juga Nanda sudah keluar dari ruang guru.

"Mungkin Nanda senang karena waktu dia ketakutan, dia lihat saya yang ditolong, makanya sampai sekarang ia merasa aman kalau lihat saya."

"Siapa tahu kamu jodoh sama Arjuna, lho, Nis," ucap Bu Eni.

"Ah Ibu ada-ada saja, saya tidak mungkin berjodoh dengan orang yang sudah menikah, sudah mempunyai istri. Nanti saya malah di cap sebagai perebut suami orang, saya gak mau, Bu."

Bu Eni hanya tersenyum. Bu Eni enggan membicarakan hal-hal tentang Arjuna, Bu Eni lebih memilih untuk Nismara supaya mengetahuinya sendiri langsung dari orangnya.

***

Arjuna tidak langsung pulang ke rumah, ia langsung pergi ke kantor untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda, Nanda juga ikut dibawa bersamanya, tidak dititipkan ke Bude Marni seperti biasa.

Di ruang kerjanya, Arjuna merenung. Ia masih belum mempercayai ucapan Bu Eni tentang Nismara yang katanya adalah tetangganya.

Nanda di sofa tengah tertidur. Lima belas menit lagi jam makan siang. Arjuna mengambil kunci mobilnya lalu berjalan keluar.

"Mona, saya akan keluar sebentar, kalau ada yang cari saya, tolong kamu handel dulu, ya?"

"Baik, Pak!" Mona, sekretaris Arjuna itu mengangguk sigap.

Mona tahu hari ini Arjuna sibuk mengurusi urusan untuk Nanda bersekolah, jadi dirinya dan pegawai yang lain memaklumi jika di hari Senin yang sibuk ini Arjuna tidak bisa selalu berada di kantor.

Arjuna melajukan mobilnya ke daerah Teratai Putih, di sana adalah daerah tempat rumah Bu Eni. Ternyata jalanan di kompleks perumahan Bu Eni sudah sedikit berubah. Jalan yang dulu sedikit agak sempit dan banyak lubang, sekarang sudah diaspal juga banyak rumah-rumah baru yang berjajar rapi di pinggiran jalan.

Mobil Arjuna berhenti di dekat pertigaan, dari sini rumah Bu Eni terlihat sangat jelas. Arjuna mengamati setiap rumah yang dekat dengan rumah Bu Eni, ia menerka-nerka yang mana rumah Nismara.

Tujuh menit menunggu orang yang dicari Arjuna akhirnya terlihat. Ternyata rumah Nismara tepat berada di pinggir rumah yang sekarang menjadi tempat posisi mobil Arjuna terparkir. Dari rumah Bu Eni hanya berbeda empat rumah saja yang berada di seberang.

Untung saja kaca mobil Arjuna berwarna gelap dari depan tetapi terang dari dalam. Jadi Nismara tidak akan tahu kalau yang berada di dalam mobil tersebut adalah ayahnya Nanda yang selalu menuduh Nismara sebagai seorang penculik.

"Ternyata Bu Eni gak bohong," gumam Arjuna.

Arjuna tidak langsung tancap gas. Ia lebih memilih mengamati setiap gerak-gerik Nismara yang sedang membalikkan jemuran pakaian.

"Dilihat dari wajahnya dia emang gak kelihatan wajah-wajah kriminal." Arjuna membuka bungkus roti yang tadi dibelinya di mini market. Perutnya sudah benar-benar perih meminta diisi, ya karena ini sudah lewat dari jam makan siang.

Ponsel Arjuna berbunyi, ternyata panggilan tersebut adalah telepon dari kantor. Mona memberitahu kalau Nanda sudah bangun dan mencari dirinya. Segera saja Arjuna tancap gas, melajukan mobilnya cukup cepat ketika melewati rumah Nismara dan Bu Eni karena di jalanan tersebut sangat sulit untuk parkir mobil, jika saja ada lapangan atau garasi yang kosong tanpa pagar, mungkin Arjuna akan memilih memutar balikkan mobilnya.

"Iya, Sayang, Papa lagi di jalan mau ke kantor, nih. Kamu mau apa? Sekalian nanti Papa beliin."

Sambungan telepon masih belum terputus karena Nanda masih merengek gara-gara Arjuna tidak ada di kantor.

"Kamu mau es krim rasa apa? Rasa cokelat? Oh yang tiga rasa cokelat, stroberi dan vanila? Oke, deh! Papa langsung beliin."

Arjuna menyimpan kembali ponselnya di dashboard mobil, kalau ketahuan polisi dirinya menyetir sambil mengangkat telepon tanpa menggunakan headset, bisa-bisa dirinya ditilang. Tadi Arjuna tidak menggunakan headset karena ia lupa membawanya, maklum saja ia sama sekali tidak terpikirkan untuk membawa headset karena pikirannya hanya tertuju pada Nismara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status