Raungan sirine ambulan memecah suasana sepertiga malam yang dingin. Aku terbangun, loncat dari tempat tidur langsung melesat keluar. Diluar masih ramai. "Lho, ada apa Bu Rini?" tanya salah seorang anak buah Bejo saat melihatku di ruang tamu. "Itu, ambulan bunyi!" jawabku singkat. "Tadi Pak Bayu telpon, memang jenazah Johan di bawa pulang sekarang, Bu," terang anak buah Bejo lagi. Raungan ambulan terhenti, taklama kemudian mobil Mas Bayu memasuki halaman rumah. Kutunggu didalam sampai suamiku masuk. "Tutup pintu dan tidur dulu disini," ucap Mas Bayu pada anak buah Bejo. Mas Bayu, Dimas, masuk. "Mas!" Aku yang menunggu diruang tengah bangkit segera saat melihat suamiku. Dimas rebahan di hamparan karpet permadani. "Pak saya istirahat dulu, deh," ucapnya. "Sayang, kok belum tidur?" Mas Bayu memelukku. "Suara sirine tadi membuatku bangun. Mas, jasad Johan dimana?" Ku tatap lekat wajah lelah suamiku. "Disemayamkan di rumah Yu Santi. Mas mau ke kamar mandi sebentar, tunggulah dikam
"Mbak Rini, jangan dengarkan ocehan Yati. Tenang, ya, jangan dimasukan hati omongan yang tadi. Kita percaya Mbak Rini nggak melakukan apa yang diucapkan Yati." Seorang Ibu paruh baya menasihati ku. Kuurai pelukan Mas Bayu. "Mbak Rini, yang sabar, ya! Yati memang begitu orangnya. Mulutnya suka ngawur kalo ngomong," sahut ibu-ibu yang lain. "Biarin Johan kena azab, mati ditembak polisi. Kelakuannya itu meresahkan sekali," imbuh ibu-ibu lainnya. Ternyata kejahatan Johan melegenda di kampung ini, sampai ibu-ibu ini berceloteh begitu. Aku tersenyum menanggapi para ibu-ibu yang turut takziah kemari. Selesai dimandikan, jenazah Johan dibawa masuk hendak dikafani. Suara jerit tangis Yati terdengar menyayat kalbu. "Mas Johan, jangan pergi, Mas. Jangan tinggalin aku, Mas. Lihatlah anak pembawa sial itu kesini, Mas. Dia mau merebut apa yang kita punya, Mas. Bangun Mas, beri pelajaran anak pembawa sial itu!" Jantungku hampir berhenti mendengar tangis ratapan Yu Yati yang menyebutku anak pemb
3 HARI KEMUDIAN "Mas, besok kita pulang aja kekota, sudah lama kita disini." Ku lipat mukena usai sholat Isya'. Mas Bayu masih duduk bersila di atas sajadahnya. "Kenapa pulang? Kangennya udah sembuh?" "Kerjaan numpuk, Mas. Banyak kostumer di cake shop yang nanyain aku, Mas." Kuletakkan mukenaku diatas meja rias. Aku duduk merenung di ranjang. Mas Bayu bangkit lalu mendekatiku. "Kenapa, kok mendadak pengen pulang, bukanya cake shop udah ada yang handle?" Ku tarik nafas berat, hati ini masih ingin disini. Apalagi setelah Mas Bayu memberiku kejutan rumah untukku. Tapi, apakah aku mampu jika hidup disini? "Yang, sebenarnya Mas udah putuskan untuk tinggal disini selama beberapa bulan kedepan. Mas ingin menikmati waktu bersamamu," ungkap Mas Bayu. Aku spontan menoleh suamiku, kutatap lekat mata teduhnya. Ku cari kebohongan di mata itu. Sia-sia tak ada. "Maksudnya, Mas?" lirihku. "Yang, Bang Riza cerai. Istrinya selingkuh." Mas Bayu tertunduk lesu. Aku kaget bukan main. Bang Riza d
Eis meletakkan plastik di atas meja makan. "Nih, martabak telor spesial. Aku gajian Bu, biasa makan-makan dulu lah sama Dimas," terang Eis. Ku lihat Dimas senyum-senyum berdiri di dekat pintu. "Dim, sini! Jangan mau kalo diajak makan sama Eis, gendut nanti kamu," godaku pada Dimas. Mata Dimas aneh, kaya ada sesuatu saat menatap Eis sekilas. Aduh, Dimas, naksir kah sama Eis? Dimas duduk dekat Mas Bayu. "Ah, Eis cuma ngajak makan bakso aja, Bu. Nggak mungkin gemuk. Bakso nggak bikin kenyang," ucap Dimas mengundang gelak tawa. "Iyalah, orang aku doang yang makan bakso, dia nggak mau. Dah sekarang makan tuh, sekarang ada nasi di rumah," ucap Eis pada Dimas. Eis berlalu kekamar kami lanjutkan makan malam ini. "Kalau kalian mau pindahan, sebaiknya besok siang masak, Bu. Malamnya biar Bayu dan Rini pindahan, nanti biar bapak suruh orang untuk mengundang warga datang ke acara selamatan di rumah Bayu dan Rini," ungkap Pakde Umar. "Wah kalau gitu, besok Ibu belanja, terus masak-masak di
"Ih, mau apa lagi sih? Ganti rugi, apa yang harus diganti rugi?" Ku kibaskan tangan Yu Yati yang memegang tanganku. Mata Yu Yati mendelik hampir keluar dari tempatnya. "Kamu b*go, atau b*doh, hah?! Jelas-jelas Yanti kamu tampar, masih ngelak. Cepat ganti rugi sekarang juga!" bentak Yu Yati kepadaku tangannya menengadah. Ku benahi tasku di pundak, lantas ku tatap tajam Yu Yati sambil bersedekap dada. "Itu pantas untuk anak tak tau adab. Masih mending di tampar. Dan ingat, nggak ada se sen uang untuk membayar ganti rugi seperti yang kamu mau itu. Kenapa sih kalian itu ngusik hidupku terus?" Mataku menyipit mengejek ke arah ibu anak dengan dandanan super menor ini. "Ha ha ha. Sebelum kamu mati menyusul ayahmu yang bodoh itu keneraka, aku tak 'kan berhenti mengusikmu!" hardik Yu Yati. Darahku mendidih seketika saat Yu Yati menghina almarhum ayah. Plak Tanganku spontan melayang dan mendarat dipipi Yu Yati. Nafasku memburu, ingin rasanya ku hancurkan mulut busuk itu. "Kamu! Beraninya
"Oh, iya. Sudah siap kok, sebentar saya selsaikan ini dulu, ya." Ku lanjutkan menyemprot air ke bunga anggrek ini. "Kamu kenapa? Kok kusut begitu, bajunya rapi, lho, cuma mukanya kok ditekuk," ucapku pada Bejo. Bejo duduk di kursi teras. "Biasalah Bu, habis perang dunia ke sepuluh," seloroh Bejo wajahnya nampak kesal. Aku terkekeh geli, "Walah, pagi-pagi kok wes perang, enak ngopi, Jo. Sudah ngopi belum? Tak buatin mau?" Ku letakkan alat semprot ini. "Nggak usah Bu, saya mau buru-buru ke kolam. Nanti bapak nungguin." Bejo menatapku sebentar lalu mengalihkan pandangannya. "Kalo semua wanita didunia bisa kaya Bu Rini, nggak akan ada laki-laki ambyar, Bu," celoteh Bejo. Aku tertawa mendengar ocehan lucu Bejo pagi ini. "Kok gitu, Jo. Emang kenapa dengan saya?" Aku berdiri di ambang pintu menanggapi Bejo. "Ya, habis Bu Rini itu baik, perhatian, nggak ngamukan kaya yang dirumah." Bejo pagi-pagi curhat membuatku semakin geli. Prok prok prok "Hebat! Hebat! Istri ngomel dirumah ditingga
Hari berganti Minggu, lalu Minggu berganti bulan. Tak terasa, 3 bulan lebih aku tinggal di rumah baru. Beberapa bulan belakangan ini, jarang sekali main kerumah Bude Siti beliau selalu datang kesini, hampir setiap hari. Kabar Yu Santi juga entah. Kompleks rumah kami yang berjauhan membuat kami jarang bertemu. Hanya saat Nilam mulai membangun rumah Minggu lalu aku bertemu mereka. Keadaan mereka baik. Cuma aku tak melihat sosok Yu Yati kemarin. Kemana dia? "Bu Rini, kok ngelamun? Itu iwel-iwelnya ketawa lho," goda Mbak Yuni padaku. Dia tetangga baru di kompleks ini. Aku tersadar saat Mbak Yuni mengajakku bicara. Aku hampir lupa kalau sekarang lagi bantu-bantu acara syukuran bayi baru lahir, anak Mbak Nia. "Ah, enggak papa, Mbak Yuni. Saya lagi agak lelah aja." Kuulas senyuman khas Rini Wibawa. "Bu Rini, kok keliatan agak pucet, sih," Minah teryata dari tadi memperhatikan ku. "Iya, pucet loh, Bu. Sampean sakit?" tanya Bu Henny juga. Aku meneruskan membungkus kue iwel-iwel ini. "K
"Wah, maagnya kambuh itu 'kan nggak boleh makan kol, Yang. Yuk kerumah Ayu aja, minta obat maag," ajak Mas Bayu. Aku nurut perkataan suamiku kami berangkat ke rumah Ayu naik sepeda motor. "Eh, Rini, Bayu. Tumben sore-sore main. Lho pucet amat Rin, sakit? Ayo masuk," ucap Ayu ramah saat tau kami datang, dia sedang menyirami bunga koleksinya di depan bangunan praktek bidan miliknya.Aku dibimbing Mas Bayu berjalan masuk ke tempat praktek Ayu. "Rini ngeluh mual, tadi siang abis makan kol katanya," terang Mas Bayu. "Punya maag, ya? Coba tiduran disana, ku periksa," titah Ayu. Aku beranjak masuk ke sebuah kamar yang ada brankar pasien, berbaring menunggu di periksa, Mas Bayu menemaniku"Tensi dulu, ya. Pucet amat. Nanti hamil," goda Ayu tersenyum. "Amin, kalo hamil. Itu yang ditunggu-tunggu," Mas Bayu semangat. Ayu melakukan tugasnya, memasang alat tensi sambil ngobrol ramah. "Ah, mana ada hamil, aku lagi haid, ko," Kupupus harapan dari Ayu. "Delapan puluh, rendah ya, tensinya. Ng