Eis meletakkan plastik di atas meja makan. "Nih, martabak telor spesial. Aku gajian Bu, biasa makan-makan dulu lah sama Dimas," terang Eis. Ku lihat Dimas senyum-senyum berdiri di dekat pintu. "Dim, sini! Jangan mau kalo diajak makan sama Eis, gendut nanti kamu," godaku pada Dimas. Mata Dimas aneh, kaya ada sesuatu saat menatap Eis sekilas. Aduh, Dimas, naksir kah sama Eis? Dimas duduk dekat Mas Bayu. "Ah, Eis cuma ngajak makan bakso aja, Bu. Nggak mungkin gemuk. Bakso nggak bikin kenyang," ucap Dimas mengundang gelak tawa. "Iyalah, orang aku doang yang makan bakso, dia nggak mau. Dah sekarang makan tuh, sekarang ada nasi di rumah," ucap Eis pada Dimas. Eis berlalu kekamar kami lanjutkan makan malam ini. "Kalau kalian mau pindahan, sebaiknya besok siang masak, Bu. Malamnya biar Bayu dan Rini pindahan, nanti biar bapak suruh orang untuk mengundang warga datang ke acara selamatan di rumah Bayu dan Rini," ungkap Pakde Umar. "Wah kalau gitu, besok Ibu belanja, terus masak-masak di
"Ih, mau apa lagi sih? Ganti rugi, apa yang harus diganti rugi?" Ku kibaskan tangan Yu Yati yang memegang tanganku. Mata Yu Yati mendelik hampir keluar dari tempatnya. "Kamu b*go, atau b*doh, hah?! Jelas-jelas Yanti kamu tampar, masih ngelak. Cepat ganti rugi sekarang juga!" bentak Yu Yati kepadaku tangannya menengadah. Ku benahi tasku di pundak, lantas ku tatap tajam Yu Yati sambil bersedekap dada. "Itu pantas untuk anak tak tau adab. Masih mending di tampar. Dan ingat, nggak ada se sen uang untuk membayar ganti rugi seperti yang kamu mau itu. Kenapa sih kalian itu ngusik hidupku terus?" Mataku menyipit mengejek ke arah ibu anak dengan dandanan super menor ini. "Ha ha ha. Sebelum kamu mati menyusul ayahmu yang bodoh itu keneraka, aku tak 'kan berhenti mengusikmu!" hardik Yu Yati. Darahku mendidih seketika saat Yu Yati menghina almarhum ayah. Plak Tanganku spontan melayang dan mendarat dipipi Yu Yati. Nafasku memburu, ingin rasanya ku hancurkan mulut busuk itu. "Kamu! Beraninya
"Oh, iya. Sudah siap kok, sebentar saya selsaikan ini dulu, ya." Ku lanjutkan menyemprot air ke bunga anggrek ini. "Kamu kenapa? Kok kusut begitu, bajunya rapi, lho, cuma mukanya kok ditekuk," ucapku pada Bejo. Bejo duduk di kursi teras. "Biasalah Bu, habis perang dunia ke sepuluh," seloroh Bejo wajahnya nampak kesal. Aku terkekeh geli, "Walah, pagi-pagi kok wes perang, enak ngopi, Jo. Sudah ngopi belum? Tak buatin mau?" Ku letakkan alat semprot ini. "Nggak usah Bu, saya mau buru-buru ke kolam. Nanti bapak nungguin." Bejo menatapku sebentar lalu mengalihkan pandangannya. "Kalo semua wanita didunia bisa kaya Bu Rini, nggak akan ada laki-laki ambyar, Bu," celoteh Bejo. Aku tertawa mendengar ocehan lucu Bejo pagi ini. "Kok gitu, Jo. Emang kenapa dengan saya?" Aku berdiri di ambang pintu menanggapi Bejo. "Ya, habis Bu Rini itu baik, perhatian, nggak ngamukan kaya yang dirumah." Bejo pagi-pagi curhat membuatku semakin geli. Prok prok prok "Hebat! Hebat! Istri ngomel dirumah ditingga
Hari berganti Minggu, lalu Minggu berganti bulan. Tak terasa, 3 bulan lebih aku tinggal di rumah baru. Beberapa bulan belakangan ini, jarang sekali main kerumah Bude Siti beliau selalu datang kesini, hampir setiap hari. Kabar Yu Santi juga entah. Kompleks rumah kami yang berjauhan membuat kami jarang bertemu. Hanya saat Nilam mulai membangun rumah Minggu lalu aku bertemu mereka. Keadaan mereka baik. Cuma aku tak melihat sosok Yu Yati kemarin. Kemana dia? "Bu Rini, kok ngelamun? Itu iwel-iwelnya ketawa lho," goda Mbak Yuni padaku. Dia tetangga baru di kompleks ini. Aku tersadar saat Mbak Yuni mengajakku bicara. Aku hampir lupa kalau sekarang lagi bantu-bantu acara syukuran bayi baru lahir, anak Mbak Nia. "Ah, enggak papa, Mbak Yuni. Saya lagi agak lelah aja." Kuulas senyuman khas Rini Wibawa. "Bu Rini, kok keliatan agak pucet, sih," Minah teryata dari tadi memperhatikan ku. "Iya, pucet loh, Bu. Sampean sakit?" tanya Bu Henny juga. Aku meneruskan membungkus kue iwel-iwel ini. "K
"Wah, maagnya kambuh itu 'kan nggak boleh makan kol, Yang. Yuk kerumah Ayu aja, minta obat maag," ajak Mas Bayu. Aku nurut perkataan suamiku kami berangkat ke rumah Ayu naik sepeda motor. "Eh, Rini, Bayu. Tumben sore-sore main. Lho pucet amat Rin, sakit? Ayo masuk," ucap Ayu ramah saat tau kami datang, dia sedang menyirami bunga koleksinya di depan bangunan praktek bidan miliknya.Aku dibimbing Mas Bayu berjalan masuk ke tempat praktek Ayu. "Rini ngeluh mual, tadi siang abis makan kol katanya," terang Mas Bayu. "Punya maag, ya? Coba tiduran disana, ku periksa," titah Ayu. Aku beranjak masuk ke sebuah kamar yang ada brankar pasien, berbaring menunggu di periksa, Mas Bayu menemaniku"Tensi dulu, ya. Pucet amat. Nanti hamil," goda Ayu tersenyum. "Amin, kalo hamil. Itu yang ditunggu-tunggu," Mas Bayu semangat. Ayu melakukan tugasnya, memasang alat tensi sambil ngobrol ramah. "Ah, mana ada hamil, aku lagi haid, ko," Kupupus harapan dari Ayu. "Delapan puluh, rendah ya, tensinya. Ng
"Kenapa Bude nggak cerita sama Rini? Selama ini Bude setiap kerumah, nggak pernah ngomongin kondisi Yu Yati. Tadi Rini sempat liat video Yu Yati kaya orang stres," lirihku pada Bude. "Pakde yang melarang semua itu. Pakde nggak mau kamu kepikiran sama mereka. Pakde tau hatimu itu welas asih." Pakde Umar menjelaskan semuanya. Aku jadi menyesal sudah berucap demikian pada Bude. "Bude, maafkan Rini, sudah salah sangka sama Bude." Ku peluk erat wanita tambun di dekatku ini. Dibalasnya dengan hangat nan mesra. "Kalian mau nginep disini, atau pulang?" tanya Bude mengurai pelukan. "Kami pulang aja, Bude. Lain kali nginapnya. Nggak papa 'kan?" Mas Bayu menatap Bude sambil tersenyum. Bude menarik nafas pelan. "Ya nggak papa." Sebuah senyuman muncul bak mentari diwajah itu. Mas Bayu menghabiskan minumannya, aku juga, lalu kami pamit pulang. _________ Hari-hari berlalu terasa semakin indah, meskipun mual muntah, aku bahagia. "Mas, kok aku pingin makan bubur Isma, ya, Mas," ucapku saat ba
Aku dan Eis berpandangan. Eis mengangkat plastik berisi bubur tepat di depan wajahku. "Pengen bubur 'kan? Nih, buat kamu aja. Hari ini, aku ngalah deh, buburnya buat kamu sama ini," ucap Eis mengelus perutku. Ia tersenyum. Aku lega akhirnya bisa makan bubur Isma. Usai sarapan bubur, Aku mandi dan bersiap hendak kerumah Yu Santi. Dimas ikut serta kerumah Yu Santi. Sampai disana, sudah ramai orang gotong royong menyelesaikan pembuatan rumah Nilam. Mas Bayu dan Dimas bergabung dengan bapak-bapak. Aku menuju dapur, bergabung dengan ibu-ibu. Wajah Bude dan Nilam senang melihatku, sambutan ramah kudapatkan dari para ibu yang membantu masak disini. "Tante Rini, selamat, ya! Akhirnya aku mau dapat ponakan baru," Nilam memelukku. "Rini hamil?" tanya seorang tetangga Yu Santi. "Iya, Tante Rini hamil!" Nilam antusias. "Berarti ocehan si Yati salah itu. Dasar mulut rongsok!" umpat ibu-ibu lainnya. Aku tersenyum kecut menanggapi ocehan mereka, lalu ikut membantu di dapur. Saat makan siang
"Kau lupa, kemarin-kemarin kau hina aku dengan umpatan-umpatan kasar, sekarang lihatlah dirimu, menangis memohon, menghiba seperti ini." Aku tau dia sedang susah, bahkan tak pantas kuperlakukan begini. Yu Santi dan Nilam terdiam, entahlah jika mereka jadi aku, apakah mau menolong orang seperti Yu Yati. "Maafkan aku, Rini. Maafkan segala kesalahanku dimasalalu, dulu aku jahat padamu. Tolong maafkan aku!" Lagi Yu Yati memohon bak adegan sinetron. "Tolong Yanti, Rini, tolong dia, cuma kamu yang bisa," tangis Yu Yati di bawah kakiku. Rasa kemanusiaan di hati ini tergugah. Jujur hati ini juga sedih melihat kondisi Yanti, sedang keadaanku mampu untuk membantunya. "Ada apa ini?" Mas Bayu muncul diambang pintu. Ku toleh, Mas Bayu mengernyitkan kening mungkin dia bingung melihat Yu Yati bersimpuh di bawah kakiku sambil menangis. "Berdiri Yu, jangan berulah yang bisa membuatku malu." Yu Yati berdiri rapuh, baru kali ini kulihat dia serapuh itu. Sumpah serapah yang sering meluncur bagai l