"Kau lupa, kemarin-kemarin kau hina aku dengan umpatan-umpatan kasar, sekarang lihatlah dirimu, menangis memohon, menghiba seperti ini." Aku tau dia sedang susah, bahkan tak pantas kuperlakukan begini. Yu Santi dan Nilam terdiam, entahlah jika mereka jadi aku, apakah mau menolong orang seperti Yu Yati. "Maafkan aku, Rini. Maafkan segala kesalahanku dimasalalu, dulu aku jahat padamu. Tolong maafkan aku!" Lagi Yu Yati memohon bak adegan sinetron. "Tolong Yanti, Rini, tolong dia, cuma kamu yang bisa," tangis Yu Yati di bawah kakiku. Rasa kemanusiaan di hati ini tergugah. Jujur hati ini juga sedih melihat kondisi Yanti, sedang keadaanku mampu untuk membantunya. "Ada apa ini?" Mas Bayu muncul diambang pintu. Ku toleh, Mas Bayu mengernyitkan kening mungkin dia bingung melihat Yu Yati bersimpuh di bawah kakiku sambil menangis. "Berdiri Yu, jangan berulah yang bisa membuatku malu." Yu Yati berdiri rapuh, baru kali ini kulihat dia serapuh itu. Sumpah serapah yang sering meluncur bagai l
Ku hela nafas pelan, "Mas, niatku sedekah kok, nggak ada yang lain. Mas juga jangan su'udhon gitu. Biarin lah mau drama, pura-pura, ataupun gimana, itu urusan dia. Tujuanku sedekah aja, Mas lupa, sedekah bisa manjangin umur, membuka pintu rejeki juga. Masalah Yati mau berubah atau enggak bukan urusanku, bodo amat," jelasku pada Mas Bayu. Mas Bayu wajahnya berubah ada senyuman diwajahnya. "Kamu itu memang dasarnya baik, dijahatin juga masih baik," ucap Mas Bayu mencubit hidung ini. "Mas, setiap kejahatan, nggak harus dibalas kejahatan juga 'kan? Kalau aku balas Yu Yati dan Yanti jahat juga, apa bedanya aku sama dia?" lirihku pada Mas Bayu. "Nanti, tolong suruh Dimas ngaterin uang ke rumah sakit. Ini atas permintaan Yu Santi, kata dia di WA tadi, biar Yu Yati melek, kalau dibantu sama kita, gitu." Aku merebahkan diri di pembaringan kakiku lumayan pegel aku sedikit meringis. "Kenapa, Yang?" Mas Bayu nada bicaranya cemas. "Kakinya pegel, Mas. Badanku juga capek banget, aku istirahat
"Yang, Mas kedepan, ya! Nongkrong sama bapak-bapak di pos depan," ucap suamiku. Mas Bayu berdiri memakai kaos oblong dan celana pendek, kelihatan tampan bikin gemes. "Hem," sahutku fokus membaca buku KIA yang kudapat dari Ayu usai periksa kehamilan kemarin. Rumah sepi. Dimas pergi dari tadi sore, sekarang Mas Bayu pergi juga. "Sayang, kamu sama bunda, ya dirumah! Sehat selalu didalam sana, bunda nggak sabar pengen ketemu kamu," kuelus perutku ini. Berbalut baju piyama tidur motif keropi aku bersandar di ruang TV. Ponselku berdering, segera kulihat. Rupanya Eis, tumben nelpon malam-malam. "Hallo assalamualaikum," sapaku seperti biasa. Suara bising, jerit tangis seorang wanita terdengar riuh dari sambungan telepon. Ada apa sebenarnya? "Eis, hallo! Eis!" "Hallo, Rin! Hallo!" Perlahan suara Eis jelas, sedang suara jerit dan tangisan itu mulai hilang. "Kamu dimana si? Itu tadi suara siapa? Kok histeris banget." Deretan pertanyaan ku lontarkan pada Eis keningku berkerut. "Aku dir
Mas Bayu menutup pintu. Pakde Umar lalu kebelakang mungkin kedapur. Sebuah motor memasuki halaman rumah Pakde Umar. Kelihatannya motor Dimas. Kuintip dari jendela. Pakde Umar memapak Eis dan Dimas. "Mas, nanti kesana sama siapa?" Kutatap suamiku yang kini duduk di sofa. "Aku sama Pakde Umar saja. Biar Dimas jaga dirumah, kasihan dia seharian belum istirahat." Mas Bayu menatapku penuh arti. "Jadi, beneran aku ditinggal disini?" tanyaku memastikan berharap Mas Bayu mengijinkan aku ikut. Mas Bayu menarik nafas berat. "Nurut kata orangtua itu lebih baik. Jangan ngeyel!" tegas Mas Bayu. Pupus sudah harapan ini. Ekspresi Mas Bayu enggan dibantah. "Mas buatin susu dulu, nanti habis minum susu tidur. Mas nggak mau kamu begadang, kamu itu harus istirahat cukup, nggak boleh capek, nggak boleh banyak pikiran." Ih, mulai deh, ngomel. Mas Bayu bangkit meraih plastik perbekalan susu ibu hamil. Mas Bayu tuh semenjak aku hamil, suka ngomel melulu. Perhatian sih, tapi 'kan nggak enak juga kalau
BEBERAPA MINGGU KEMUDIAN Aku dapat kejutan spesial beberapa hari yang lalu, Papa dan Mama mertua serta Bang Riza datang kemari, dua hari mereka disini, pagi ini mereka pulang. "Jaga kandunganmu baik-baik, ya, Sayang! Nggak usah pergi jauh-jauh dulu, kamu disini aja sampai nanti cucuku keluar," ucap wanita berpenampilan modis sederhana nan anggun ini, beliau memelukku berurai air mata. "Mama juga hati-hati, ya! Rini pasti rindu sama Mama," lirihku, air mata ini luruh juga. "Jangan capek-capek, ya, Nak. Papa selalu do'akan semoga menantu beserta calon cucu Papa sehat selalu." Papa mertua mengecup lembut keningku. "Rini, jagain calon keponakan Abang, ya!" Aku salim sama Bang Riza. Keluarga Mas Bayu berpamitan pagi ini, kesibukan pekerjaan kantor membuat mereka tak bisa berlama-lama disini, tiga hari yang lalu mereka datang, hari ini pulang. Mas Bayu diberi wejangan banyak oleh Papa dan Mamanya. Range Rover hitam meninggalkan halamanku. Mas Bayu merangkul pinggang ini, kami masuk
"Ya sudah Is. Kamu mau ikut ke rumah sakit atau pulang?" "Aku pulang aja, Rin. Yu Santi nyuruh Mas Hadi buat siap-siap nyusul ke rumah sakit. Aku tutup dulu telponnya." Sambungan telepon terputus. Aku gelisah bukan main. "Bude, Pakde. Yu Yati mau dibawa ke rumah sakit sekarang. Eis nggak ikut. Dia pulang," ucapku lirih. "Yu Yati harus dioperasi kepalanya," imbuhku. "Astaghfirullah halazim! Kasihan sekali, Yati," ucap Bude. Mas Bayu masih saja santai mendengar berita ini. "Sudahlah, Yang. Nggak usah terlalu dipikirkan, toh sekarang sudah ada Yu Santi 'kan? Aku yakin, Yu Santi bisa mengatasi semua ini." Mas Bayu berucap mantap. "Baiknya sekarang kita fokus sama acara malam ini, nanti setelah selamatan selesai, kalau mau jenguk Yati ku antar," ucap Mas Bayu. "Aku mau kekolam dulu, tadi Panjul nelpon ada yang bikin rusuh disana." Mas Bayu berlalu pergi. Ya Allah, ada saja kejadian yang menimpa di keluarga ini. Aku memilih masuk rumah, istirahat saja. Malam harinya, acara berjalan
Hatiku cemas tak karuan saat dibawa menuju mobil. Ayu ikut bersama kami. "Rin, jangan banyak pikiran negatif. Positif thinking, ya! Semoga semuanya baik-baik saja," ucap Ayu saat kami dalam perjalanan. Perut ini sakit seperti kram, letak sakitnya di perut bagian bawah. Hanya do'a yang bisa kulakukan saat ini. Aku berbaring di jok mobil ini, sedang Ayu duduk di dekat kepalaku. "Sakit, perutku," lirihku. Pikiran tak menentu melintas dibenak. Ketakutan akan keguguran mulai menjalari pikiran ini. "Bay, bisa lebih cepat enggak? Kasian Rini. Aku telpon klinik dulu, biar mereka siap-siap." Ayu berbicara pada suamiku Mataku terpejam, aku berusaha tenang. Mobil melaju terus. "Yang, sabar, ya! Kita keklinik, Yang," Mas Bayu bersuara. Aku masih optimis kandunganku tidak apa-apa. Kau harus selamat, kau harus kuat, anakku! "Hallo, Sari, siapkan ruangan UGD, tolong hubungi dokter Hasan, ada pasien ibu hamil dalam keadaan darurat." Kudengar Ayu bicara via telepon. "Apa? Dokter Hasan libu
Mata ini tak lepas menatap suamiku di pinggir pintu UGD. Suara teriakan korban kebakaran menggema di ruangan ini. Ayu datang menghampiriku. "Cek DJJ lagi, ya!" Ayu terseyum manis. Ayu melakukan tugasnya mengecek denyut jantung janinku. "Seratus tuju puluh, masih lumayan tinggi. Masih sakit enggak perutnya?" "Enggak, udah lebih baik. Kok. Tinggal lemes aja," jawabku terseyum."Pindah ruangan yuk, biar bisa istirahat," ajak Ayu kepadaku. "Kuat duduk enggak? Kalo nggak kuat brankarnya dibawa aja," imbuh Ayu. Aku mencoba duduk dibantu Ayu. Perlahan tapi pasti, aku bisa duduk. Mata ini sesekali menatap suamiku yang masih bicara dengan karyawan kolam pemancingan. Hem sepertinya serius. "Bayu kemana, Rin?" Ayu menolehku yang kini duduk. "Tuh, disana," kuangkat wajahku memberi isyarat kepada Ayu. "Oh, ya udah. Turun yuk, pelan. Bisa enggak? Kalo nggak bisa tak panggilin Bayu, biar dibantu," ucap Ayu. Kepalaku lumayan pusing. Kalau berdiri pasti limbung. "Panggil aja deh, suamiku,"