Mas Bayu menutup pintu. Pakde Umar lalu kebelakang mungkin kedapur. Sebuah motor memasuki halaman rumah Pakde Umar. Kelihatannya motor Dimas. Kuintip dari jendela. Pakde Umar memapak Eis dan Dimas. "Mas, nanti kesana sama siapa?" Kutatap suamiku yang kini duduk di sofa. "Aku sama Pakde Umar saja. Biar Dimas jaga dirumah, kasihan dia seharian belum istirahat." Mas Bayu menatapku penuh arti. "Jadi, beneran aku ditinggal disini?" tanyaku memastikan berharap Mas Bayu mengijinkan aku ikut. Mas Bayu menarik nafas berat. "Nurut kata orangtua itu lebih baik. Jangan ngeyel!" tegas Mas Bayu. Pupus sudah harapan ini. Ekspresi Mas Bayu enggan dibantah. "Mas buatin susu dulu, nanti habis minum susu tidur. Mas nggak mau kamu begadang, kamu itu harus istirahat cukup, nggak boleh capek, nggak boleh banyak pikiran." Ih, mulai deh, ngomel. Mas Bayu bangkit meraih plastik perbekalan susu ibu hamil. Mas Bayu tuh semenjak aku hamil, suka ngomel melulu. Perhatian sih, tapi 'kan nggak enak juga kalau
BEBERAPA MINGGU KEMUDIAN Aku dapat kejutan spesial beberapa hari yang lalu, Papa dan Mama mertua serta Bang Riza datang kemari, dua hari mereka disini, pagi ini mereka pulang. "Jaga kandunganmu baik-baik, ya, Sayang! Nggak usah pergi jauh-jauh dulu, kamu disini aja sampai nanti cucuku keluar," ucap wanita berpenampilan modis sederhana nan anggun ini, beliau memelukku berurai air mata. "Mama juga hati-hati, ya! Rini pasti rindu sama Mama," lirihku, air mata ini luruh juga. "Jangan capek-capek, ya, Nak. Papa selalu do'akan semoga menantu beserta calon cucu Papa sehat selalu." Papa mertua mengecup lembut keningku. "Rini, jagain calon keponakan Abang, ya!" Aku salim sama Bang Riza. Keluarga Mas Bayu berpamitan pagi ini, kesibukan pekerjaan kantor membuat mereka tak bisa berlama-lama disini, tiga hari yang lalu mereka datang, hari ini pulang. Mas Bayu diberi wejangan banyak oleh Papa dan Mamanya. Range Rover hitam meninggalkan halamanku. Mas Bayu merangkul pinggang ini, kami masuk
"Ya sudah Is. Kamu mau ikut ke rumah sakit atau pulang?" "Aku pulang aja, Rin. Yu Santi nyuruh Mas Hadi buat siap-siap nyusul ke rumah sakit. Aku tutup dulu telponnya." Sambungan telepon terputus. Aku gelisah bukan main. "Bude, Pakde. Yu Yati mau dibawa ke rumah sakit sekarang. Eis nggak ikut. Dia pulang," ucapku lirih. "Yu Yati harus dioperasi kepalanya," imbuhku. "Astaghfirullah halazim! Kasihan sekali, Yati," ucap Bude. Mas Bayu masih saja santai mendengar berita ini. "Sudahlah, Yang. Nggak usah terlalu dipikirkan, toh sekarang sudah ada Yu Santi 'kan? Aku yakin, Yu Santi bisa mengatasi semua ini." Mas Bayu berucap mantap. "Baiknya sekarang kita fokus sama acara malam ini, nanti setelah selamatan selesai, kalau mau jenguk Yati ku antar," ucap Mas Bayu. "Aku mau kekolam dulu, tadi Panjul nelpon ada yang bikin rusuh disana." Mas Bayu berlalu pergi. Ya Allah, ada saja kejadian yang menimpa di keluarga ini. Aku memilih masuk rumah, istirahat saja. Malam harinya, acara berjalan
Hatiku cemas tak karuan saat dibawa menuju mobil. Ayu ikut bersama kami. "Rin, jangan banyak pikiran negatif. Positif thinking, ya! Semoga semuanya baik-baik saja," ucap Ayu saat kami dalam perjalanan. Perut ini sakit seperti kram, letak sakitnya di perut bagian bawah. Hanya do'a yang bisa kulakukan saat ini. Aku berbaring di jok mobil ini, sedang Ayu duduk di dekat kepalaku. "Sakit, perutku," lirihku. Pikiran tak menentu melintas dibenak. Ketakutan akan keguguran mulai menjalari pikiran ini. "Bay, bisa lebih cepat enggak? Kasian Rini. Aku telpon klinik dulu, biar mereka siap-siap." Ayu berbicara pada suamiku Mataku terpejam, aku berusaha tenang. Mobil melaju terus. "Yang, sabar, ya! Kita keklinik, Yang," Mas Bayu bersuara. Aku masih optimis kandunganku tidak apa-apa. Kau harus selamat, kau harus kuat, anakku! "Hallo, Sari, siapkan ruangan UGD, tolong hubungi dokter Hasan, ada pasien ibu hamil dalam keadaan darurat." Kudengar Ayu bicara via telepon. "Apa? Dokter Hasan libu
Mata ini tak lepas menatap suamiku di pinggir pintu UGD. Suara teriakan korban kebakaran menggema di ruangan ini. Ayu datang menghampiriku. "Cek DJJ lagi, ya!" Ayu terseyum manis. Ayu melakukan tugasnya mengecek denyut jantung janinku. "Seratus tuju puluh, masih lumayan tinggi. Masih sakit enggak perutnya?" "Enggak, udah lebih baik. Kok. Tinggal lemes aja," jawabku terseyum."Pindah ruangan yuk, biar bisa istirahat," ajak Ayu kepadaku. "Kuat duduk enggak? Kalo nggak kuat brankarnya dibawa aja," imbuh Ayu. Aku mencoba duduk dibantu Ayu. Perlahan tapi pasti, aku bisa duduk. Mata ini sesekali menatap suamiku yang masih bicara dengan karyawan kolam pemancingan. Hem sepertinya serius. "Bayu kemana, Rin?" Ayu menolehku yang kini duduk. "Tuh, disana," kuangkat wajahku memberi isyarat kepada Ayu. "Oh, ya udah. Turun yuk, pelan. Bisa enggak? Kalo nggak bisa tak panggilin Bayu, biar dibantu," ucap Ayu. Kepalaku lumayan pusing. Kalau berdiri pasti limbung. "Panggil aja deh, suamiku,"
Setalah Pakde Umar dan Bude Siti datang Mas Bayu pamit keluar. Bude menemaniku disini. "Bude, kira-kira Diki muncul punya niat jahat enggak, ya? Kok perasaanku nggak enak." Ku tatap lekat wanita bertubuh tambun ini. "Bude sendiri nggak tau, Rin. Tapi, sepertinya Diki kesini itu diam-diam. Soalnya mereka hanya sebentar dirumah Santi, setelah itu pergi," ucap Bude kini Bude duduk di kursi yang tersedia. Pakde kelihatan nyaman tidur di sofa panjang. "Pakde kecapekan, ya? Tidurnya pules gitu," ucapku saat melihat Pakde Umar lelap. "Semalam dia begadang, nunggu jenazah Yati. Tadi saat dimandikan, jenazah si Yati keluar darah terus dari kepalanya. Kasihan dia, akhir hidupnya begitu miris." Wajah Bude Siti bersedih. Aku ingin sekali bisa ikut melayat, tapi, dilarang. Hingga akhirnya akublebih memilih dirumah saja. Eh, dirumah malah dapat kejutan teror kaca pecah. "Bude, siapa yang bantuin masak di tempat Yu Santi?" "Ya Nilam, dan para tetangga sebelah. Tadi, Herman dan istrinya juga
Sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggil namaku. "Bu Rini, Bu Rini!" Suara itu memanggil namaku. Aku berusaha membuka mata ini. Kurasakan perutku sakit sekali. Allahuakbar ada apa denganku? "Bu Rini, Bu Rini!" Lagi suara itu memanggilku. Perlahan mata ini terbuka, ruangan putih dengan sorot lampu nan terang menyapaku. Bola mataku mengerling melihat Mas Bayu dan beberapa orang yang tak kukenal. Dimana aku? Ku rasakan hidung ini seperti ada selang oksigen. Perut bawah ini sakit sekali. Perih, panas dan sakit seperti luka. Ku coba meraba perlahan perut ini. Kempes! Dimana anakku? Aku hampir saja histeris. "Bu, Rini, bagaimana keadaannya?" Seorang seperti dokter datang menghampiriku, lalu memeriksaku. "Alhamdulillah! Bu Rini berhasil melewati masa kritisnya," ucap dokter cantik ini. Apa? Aku kritis? Jadi ini di rumah sakit. "Dok, kandunganku, gimana? Kenapa perutku sakit sekali?" lirihku. Dokter itu tersenyum kearahku, lalu mengusap lembut tanganku. "Tenang, Bu. Semuanya
"Bunda, besok liburan Nadia pengen ke rumah Eyang Kung di Sidoarjo. Nadia mau main di sawah, mau gembala bebek, mainan sama kak Denis, kak Iqbal, ketemu sama Tante Eis maian sama Mas kecil, boleh ya, Bunda!" Putri kecilku mengutarakan keinginannya. Sementara aku masih menahan rasa sakit di ulu hati, hingga membuat dadaku sesak. Keringatku mengucur. "Bunda, bunda kenapa?" Nadia menghampiriku. Wajahnya nampak cemas. "Bunda haus, Sayang," lirihku, duduk kembali dikursi ini. "Oh, bunda haus! Nadia ambillin minum ya, bunda!" Nadia berlari keluar kamar ini. Sementara dada ini semakin sesak, sekuat tenaga aku berusaha untuk bernafas? Ada apa denganku? Sepertinya aku harus cek up ke Dokter. "Sayang! Ini minumnya." Mas Bayu datang bersama Nadia membawa segelas air. "Kok pucet? Are you oke?" Mas Bayu mengulurkan segelas air minum. Perlahan tangan ini hendak meraih gelas itu. Rasanya seperti nggak kuat, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Mataku berusaha terbuka saat kudengar tangisan Nad