“Papa, Mama, ada yang ingin aku katakan,” ujarku begitu masuk di dalam kamar.Berhubung Mama masih terlihat sibuk dengan ponselnya, Papa berdeham sambil melirik ke arah Mama.Dengan raut wajah kesal, Mama duduk di sebelah Papa, menungguku bicara.“Ada apa, Kee?” tanya Papa beralih menatapku.“Aku akan langsung bicara agar tidak terlalu lama,” jawabku sambil melirik ke arah Mama, “sebenarnya aku memiliki kekasih, namanya Lilian. Aku serius menjalin hubungan dengannya.”“Apa kalian sudah akan menikah dalam waktu dekat?” tanya Papa. Tentu saja Papa hanya pura-pura bertanya di depan Mama. Papa sudah tahu jawabanku. Namun, bukan itu inti aku bicara malam ini.“Sebelum membicarakan tentang pernikahan, aku membutuhkan restu dari Papa dan Mama,” jawabku penuh harap.“Aku sudah bertemu Lilian di Singapura. Anaknya cantik, manis, cerdas, dan sopan.” Papa menambahkan.“Jika ada kesempatan, aku pasti akan mengajaknya berkenalan dengan Mama juga,” sahutku antusias. Tak lupa aku juga menunjukkan f
Lilian POV“Kee, aku tidak bisa bernapas,” ujarku setelah sekian menit membiarkan Keenan memelukku erat.“Aku kangen kamu banget,” bisik Keenan.“Iya, tapi … ini sesak,” jawabku berusaha melepaskan diri.Aku mendorong Keenan pelan hingga dia melepaskan pelukannya.“Hei, ada apa?” tanyaku terkejut melihat Keenan berkaca-kaca.“Sudah kubilang … aku kangen kamu banget,” ujar Keenan sambil melangkah masuk dan duduk di sofa.Aku menutup dan mengunci pintu. Aku lantas menghampiri Keenan dan bertanya, “Mau minum apa?”“Mau peluk kamu lagi, boleh?” Bukannya menjawab, Keenan justru balik bertanya.“Tidak boleh,” ringisku, “belum halal … nanti takut ketagihan kan repot aku.”Keenan tertawa pelan.“Sudah bisa bercanda, nih,” sahut Keenan sambil menarik tanganku agar duduk di sebelahnya.“Memangnya kemarin-kemarin nggak bisa?” tanyaku balik.“Enggak … kamu bawaannya nangis dan sedih melulu,” jawab Keenan cepat.“Masa sih? Nih … senyumku.” Aku tersenyum selebar mungkin.“Kamu terlihat lebih bahagi
Keenan POVAku heran dan sekaligus takjub dengan pernyataan Lilian yang tidak keberatan menunggu Mama sampai mau merestui hubungan kami. Dia bahkan mengatakannya seolah-olah tidak ada beban apa pun.Aku sadar Lilian ini gadis yang polos. Akan tetapi, aku tidak menyangka kalau dia sepolos ini. Aku jadi merasa terlalu memanfaatkan dirinya. Apa itu tidak masalah?“Aku benar-benar mencintaimu, Li. Aku tidak pernah main-main dengan hubunganku,” ucapku lirih.“Iya, aku tahu,” sahut Lilian sambil tersenyum jenaka.“Li, apa kamu tahu … seorang gadis yang terlalu lama berkencan dengan seorang pria itu biasanya dianggap kurang baik lho. Orang bisa menganggapku sebagai pria yang tidak bertanggung jawab,” ujarku.“Mereka tidak tahu masalah yang sedang kita hadapi dan kita tidak mungkin membuat pengumuman untuk menjelaskan mengenai hal itu. Pertanyaannya, apa mereka bisa membantu kita? Enggak, ‘kan? Bodo amatlah mereka mau bilang apa,” kata Lilian sambil mengibaskan tangannya.Seketika aku hanya m
Lilian POVAstaga! Ini sangat memalukan. Bagaimana bisa Keenan memelukku seperti itu tadi? Aarrgghh! Aku pasti diledekin Cheryl.Cukup lama aku membiarkan Keenan mengetuk pintu kamar hingga akhirnya tidak terdengar suara ketukan lagi. Apa yang dilakukan Keenan sekarang?Aku perlahan membuka pintu untuk mengintip dan ternyata Keenan sedang sibuk menyuci di dapur.Laki-laki tampan yang menjadi kekasihku ini sebenarnya sangat baik hati. Namun, kalau seperti tadi itu sikapnya sangat menjengkelkan.Eh, tapi … dia itu kekasihku. Seharusnya tidak ada masalah kalau dia ingin memelukku. Aarrgghh! Sudahlah! Aku jadi bingung dan kesal sendiri kalau begini.Sekarang aku harus bagaimana? Hm, baiklah … aku akan bersiap saja dan bersikap sebiasa mungkin.Sekitar lima belas menit kemudian …Aku keluar dari kamar dalam keadaan sudah rapi dan berjalan menghampiri Keenan yang sedang melongo sambil melihat ke arahku.“Kamu mau ke mana?” tanya Keenan.“Kencan,” jawabku singkat.“Kamu tidak marah denganku?
Aku terus memandangi Keenan yang masih setia berlutut sambil memegangi kotak beludru berukuran kecil yang berisi cincin berlian dengan satu mata. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengangguk.“Iya, aku akan setia berada di sisimu, Kee,” jawabku sambil mengusap air mata yang sudah mengalir di pipi.Pun terlihat Keenan ikut berkaca-kaca dan menghela napas. Dia perlahan mengeluarkan cincin dari dalam kotak dan menyematkan pada jari manis tangan kiriku.Setelah itu tanpa sungkan, Keenan memeluk dan membelai rambutku.“Aku mencintaimu, Lilian. Aku sangat mencintaimu,” ucap Keenan, “mari kita menjalani kehidupan ini bersama-sama.”“Iya,” sahutku yang sudah tidak bisa berkata-kata lagi.“Selamat, Li! Selamat, Kee!” Itu suara Om Danendra.Aku dan Keenan melepaskan pelukan. Kami lalu menoleh sambil mengusap air mata dan menyambut pelukan Om Danendra dan Tante Iva.“Selamat, Li! Tante senang sekali,” ucap Tante Iva yang ternyata ikut menangis terharu.“Terima kasih, Om, Tante,” sahut Keenan.
“Aku masuk kamar dulu ya,” ujarku tanpa suara sambil memberi tanda pada Keenan.Keenan mengangguk dengan menampilkan jempolnya.Cukup lama aku menunggu Keenan menelepon papanya hingga aku memutuskan untuk kembali ke kamar terlebih dahulu.Hari ini kami semua, termasuk Cheryl dan Dokter Raffa akan kembali ke tempat tinggal kami masing-masing. Jadi, aku akan menggunakan waktu untuk berkemas.Baru saja aku selesai memeriksa tempat tidur, lemari, dan kamar mandi untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal, bel kamar berbunyi.Aku bergegas melangkah menuju ke arah pintu dan membukanya.“Hai! Sudah selesai?” tanyaku pada Keenan sambil membuka pintu lebih lebar agar dia bisa masuk ke dalam kamar.“Sudah. Maaf ya, lama,” ucap Keenan.“Tidak apa-apa,” jawabku.“Papa sudah tahu kalau kemarin aku melamarmu.” Keenan berkata sambil duduk di sofa.Pun aku ikut duduk di sampingnya.“Bagaimana Om Mario tahu? Apa kamu cerita padanya?” tanyaku tidak terkejut.Namanya orang tua memang sudah selaya
Aku tidak percaya Mama dan Mama Keenan sampai bersedia merendahkan hatinya agar kami bisa segera melaksanakan pernikahan. Ah, ini rasanya masih seperti mimpi.Keenan sebenarnya dalam beberapa hari ke depan sudah bisa kembali ke Singapura. Namun, dia menunda kepulangannya karena sekalian ingin mengurus acara pernikahan kami.Jadi, kami memutuskan untuk menyerahkan semua urusannya pada tim event organizer untuk memudahkan dan acaranya akan dilaksanakan di Pulau Bali.Sesudah bicara dengan Keenan, aku bergegas bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi. Aku berencana untuk mengunjungi Cheryl.Sekitar tiga puluh menit kemudian …Aku sudah sarapan dan sudah rapi. Namun, sebelum melangkah menuju ke unit apartment Cheryl, aku kembali duduk di sofa untuk mengirimkan pesan terlebih dahulu. Jangan sampai aku datang dan Cheryl sedang pergi!“Ryl, apa kamu ada di unit apartment? Aku mau ke sana.” Tanpa ragu, aku mengirimkan pesan pada Cheryl.Tak menunggu waktu lama, sahabatku itu langsung membalas p
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera