Hey! Mengapa Rose hadir dan merecoki hidupnya? Menciptakan segala kejadian yang membuat Bara terasa amat tersiksa. Apakah mulai detik ini gadis itu akan menetap dan menciptakan hal-hal yang lebih mengejutkan dari ini? Mungkinkah?
Mantra keparat! Mulut yang tidak bisa dijaga! Seenaknya mengucapkan sesuatu yang tidak berfaedah hingga merumitkan hidupnya sendiri. Sebenarnya mantra apa yang diucapkan Bara?
Ayolah otak yang berkapasitas minimum, bekerjalah barang sedikit, sungguh Bara amat tersiksa.
Setidaknya, jika ia menemukan mantra yang membuat gadis di hadapannya ini dapat keluar dari cermin, mungkin saja ada mantra lain yang bisa membuat gadis imut itu kembali ke sarangnya, agar dirinya terlepas dari neraka kehidupan bersamanya.
Bara sepertinya akan gila bila bayangan tentang Rose hadir memenuhi hari-harinya. Sebab, jika tidak tahu cara mengembalikan gadis ini ke habitat aslinya, sudah pasti Rose akan menetap.
Gila, bukan?! Belum juga lewat satu hari, gadis ini sudah berhasil menyiksanya.
Sial! Bahkan Bara sudah tidak berselera melancarkan rencananya, untuk kembali mengintegrasikan Rose.
"Ya! Ini sihir, sihir yang dapat memusnahkan apa saja," jawab Rose, membuat sekujur tubuh Bara meremang. "Aku tidak menyukai kekasaran, Pangeran. Apalagi terhadap sesuatu yang kucintai," terangnya.
Untuk kesekian Bara hanya bisa meneguk salivanya. Kini seluruh tubuhnya gemetar sebab bertambah takut, begitu pun bibirnya. Gadis lembut itu kini seakan berubah menjadi monster yang menakutkan dengan sikapnya.
"Akh! Pa-panas!" pekik Bara. Tiba-tiba hantaran sihir itu berubah menjadi panas yang lebih menyengat.
Apa Rose serius dengan ucapannya tentang sihir yang bisa memusnahkan apa saja? Dan Bara akan menjadi salah satunya?
"To-tolong lepasin gue ...." Bara memohon. Air matanya menetes tanpa ia sadari, rasa panas sangat menyiksanya, nafasnya sudah semakin tak beraturan, ingin berontak tapi seluruh tubuhnya berubah kaku. Bara kehabisan tenaga, harus pasrahkah ia jika mati di tangan gadis berambut cantik tersebut?
Cit! Cit! Cit!
Paman tikus yang sedari tadi bersembunyi dan mengintip di balik lemari, keluar dan memeluk kaki mulus Rose yang dipercantik stoking hitam jarang-jarang berhiaskan bunga dengan alas sepatu pantofel berwarna hitam pula.
Cit! Cit! Cit!
Paman tikus bersuara lagi. Kepala Rose perlahan menunduk untuk melihatnya, tapi tangannya masih mempertahankan sihir yang mengunci Bara.
Dari mata si paman tikus, Rose melihat pancaran kesedihan. Semakin dalam menatap, semakin sadar ia akan perbuatannya.
Rose terkesiap dan tersadar, ia kembali dikuasai oleh kekuatan sihir jahat yang melekat pada dirinya.
Dengan cepat ia menarik tangan kanannya membuat jerat pada tubuh Bara terlepas, lantas tubuh kurus itu terhempas memantul ke bawah.
Rose yang semula sangat bertenaga, kini luruh di atas lantai tanpa tenaga. Ia kembali menyesal dan menyalahkan dirinya sendiri.
Sedangkan Bara terkulai lemah di atas pembaringan, setelah menahan getaran dan hantaran rasa panas yang begitu dahsyat.
Bulir-bulir bening mulai mencuat dan membasahi pipi tirus milik Rose. Ia merasa tersiksa dengan dirinya sendiri. Paman tikus di dekatnya merasa iba, lebih merapatkan diri pada Rose dan menepuk-nepuk tangan kecilnya di atas lutut Rose, berniat menenangkan teman barunya itu.
Paman tikus seakan tahu, bukan kemauan Rose melakukan hal jahat beberapa detik lalu. Ia seakan paham tentang penyesalan Rose yang terlihat jelas melalui mata bulatnya yang basah dengan air mata.
Puluhan menit berlalu, Rose masih menunduk dan menangis terisak. Di pembaringan, Bara mulai membaik, rasa panasnya mulai hilang dan nafasnya pun mulai kembali teratur.
Dengan lemah ia bangkit untuk duduk. Bukan tidak mendengar tangisan Rose, hanya saja Bara tidak kuat untuk sekadar bertanya.
Meski tertatih dan entah dorongan dari mana, bukannya takut Bara justru menghampiri Rose. Paman tikus terlihat mundur menjauh dan bersembunyi di belakang lemari. Bukan, bukan karena takut, ia hanya ingin memberi kesempatan pada Bara.
Bara bersila di hadapan Rose yang bersimpuh. Melihat air mata penyesalan Rose, yang tadinya ia berpikir bahwa Rose adalah gadis jahat bersampul wajah polos, kini tersingkirkan.
Sepertinya gadis itu memang benar-benar polos dan berhati lembut, ia hanya ingin melindungi seseorang yang dicintainya dan mungkin saja terikat oleh sebuah sihir yang membuat ia sedemikian.
Ah, akhirnya otak minimum Bara berhasil berjalan. Masuk akal, bukan? Tentu!
Perlahan, Bara mengangkat tangan kanannya, menyentuh pundak Rose dan menepuk-nepuknya halus. Perlakuan itu bukan membuat Rose menenang, tapi semakin merasa bersalah dan terisak kuat.
"Ma-maafkan aku," cicitnya di tengah dirinya menahan sesak.
Bara tersenyum tipis dan mengangguk, terus melanjutkan tepukannya pada bahu Rose, menunggu Rose mampu menenangkan dirinya sendiri.
Persepsi Bara yang lalu, sepertinya salah. Bara menunduk dan mencoba mendewasakan diri serta bersikap bijak untuk mengahadapi permasalahan ini.
"Dikurung dalam cermin sebagai kutukan?" "Hmm." "Kekuatan sihir jahat itu juga termasuk?" "Hmm." "Lalu bunga mawar hitam itu, sebagai apa?" Bara melirik bunga mawar berwarna hitam yang tidak pernah Rose lepas dari tangannya, seakan memiliki arti yang begitu besar. Sejenak Rose ikut melirik bunga mawar itu, kemudian membawanya lebih dekat ke hadapan wajah untuk ditatapnya lebih lekat. Senyum getir terukir di bibir tipisnya, namun pancaran nertranya terlihat sendu. Helaan nafas pun terdengar amat berat. Kini rupanya Bara memiliki kesempatan untuk lanjut menginterogasi gadis itu kembal. Sekuat tenaga ia hilangkan rasa takutnya, mengajak Rose bercengkrama setelah gadis itu usai menangis sebab terhimpit sesal yang begitu besar. "Papa yang memberikan, sebagai hadiah ulang tahunku sebab diriku teramat menyukainya." Ingatan Rose menerawang pada titik saat detik di mana papanya memberikan satu tangkai bunga mawar berwarna hi
TV LED 32 inch menyala, menampilkan film kartun Malaysia dengan tokoh utama kembar yang tak berambut. Volume suaranya dibiarkan meninggi. Manusia berbobot kurang lebih 100 kg enggan mengecilkan suaranya, saking asiknya ia sesekali tertawa meski mulutnya tersumpal tahu bulat yang kata penjualnya digoreng dadakan. Seperti tidak bertulang, Rico malas bergeser sedikitpun dari tempatnya, masih bersender di penyangga sofa berwarna kuning. Mumpung di rumah sendiri, karena anggota keluarganya tengah sibuk melakukan aktivitas masing-masing, jadi ia bebas untuk saat ini, tidak ada yang merecoki ataupun mengomeli. Merasa haus, tangan Rico menyusuri meja yang sangat berantakan dengan berbagai sampah plastik snack hingga berceceran di atas lantai. Entah mengapa kepalanya juga merasa malas hanya sekedar menoleh untuk melihat di mana gelas minum itu terletak. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Rico langsung meneguk air tersebut hingga tanda
Si Bohay sempat tertawa mendengar cerita Bara pada poin Rose memiliki sihir yang menjadikan ia sebagai korban, bukan hanya pada poin tersebut, tapi juga ia dibuat terbahak setelah mendengar bahwa Bara loncat ke atas kasur dan mengabaikan luka di jempolnya hanya karena takut dengan seekor tikus. Perlu diketahui! Sebelumnya pun, Rico sulit percaya dengan semua penjelasan yang Bara susun, tapi setelah mendapati gadis pemakai kostum unik, pemilik rambut yang berwarna dark grey, pahatan wajah seperti boneka, dan naungan tatapan polos itu membuktikan segalanya dengan cara menjungkirbalikkan tubuh kelebihan lemak miliknya menggunakan perantara sihir yang sama, hingga menimbulkan gempa kecil di dalam rumah Bara, barulah Rico dapat mempercayai penjelasan Bara seratus persen. Di tambah cermin antik dan bunga mawar hitam yang memiliki umur kurang lebih sebelas tahun, namun masih tetap hidup walaupun tanpa air, yang sengaja Bara tunjukkan sebagai bukti tambahan. 
"Hanya berbicara melalui cermin." Bara memejam sejenak, mencari energi lebih banyak. Terlihat jelas melalui raut wajahnya yang berubah drastis, ia menjadi sangat ambisius setelah mendengar Rose mengenal kakeknya. "Apa aja yang udah lo bicarain sama Kakek?" "Banyak hal." "Salah satunya?" Bara mencondongkan tubuhnya dengan kening berkerut, menunggu bibir Rose bergerak untuk memberikan jawaban. "Suatu cara untuk membebaskan kutukan." Sontak Rico menoleh ke arah Bara dengan mata yang melebar, sedangkan Bara saking tidak mampu mengekspresikan rasa terkejutnya hanya dapat menampilkan raut datar sambil menganga lebar. "Se-seriusan?" "Sangat serius," balas Rose dengan yakin. "Bagaimana caranya?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Bara, seakan ia ingin membebaskan Rose dari kutukan. "Aku tidak bisa memberi tahu, cara itu rahasia. Hanya seseorang berhati tulus yan
"Hanya seseorang berhati tulus yang dapat menghancurkannya meski dia tidak mengetahui." "Arghh!" Bara menarik rambutnya tanpa ampun, tidak memedulikan lagi rasa panas dan sakit yang akan ia dapatkan setelahnya, tubuhnya meringkuk di atas kasur layaknya anak kucing yang tengah menahan dinginnya alam. Tak lama dari itu kakinya menendang selimut putih yang sebelumnya berjasa menghangatkan tubuh kurusnya dengan brutal, disusul geraman berat yang terdengar memilukan. Kalimat Rose tersebut terus terngiang di telinganya, seakan tertanam erat di dalam memori otaknya, lantas seperti ada yang sengaja mendorongnya untuk terus mengingat kata yang terangkai misteri tersebut. Su
Bara menggelengkan kepala, ia mencoba mendewasakan diri, menyingkirkan masalah perasaan terhadap wanita untuk saat ini dan mencoba fokus untuk menghadapi permasalahan yang tengah menimpanya kali ini. Kepalanya kembali terangkat, menuntun pandangan untuk kembali fokus melihat sosok mungil yang masih tertidur lelap. Tak lama, secara perlahan kaki yang sudah tidak terselimuti lagi turun satu-persatu lalu berdiri dan berjalan meninggalkan pembaringan. Bara memutuskan duduk lesehan tepat di samping window seat, jari-jarinya bertaut kuat dengan netra yang memancarkan kesenduan masih sama seperti detik yang lalu. Tidak puas memandang dari jarak yang lumayan jauh, Bara berinisiatif memangkas jarak di antara dirinya dengan Rose, ia melipat tangannya di bibir seat dan menaruh dagu tepat di atasnya sangat hati-hati. "Dari kenyataan bahwa gue terpaksa bantu lo, apa gue masih bisa jadi malaikat penolong lo?" tanya Bara walau ia tahu jelas Rose tidak akan
"Duh, Pangeran Ganteng rupanya sudah selesai berbulan madu dan kembali menuntut ilmu di kampus hits ini, bagaimana kesan bulan madunya? Menyenangkan?" Rupanya si Bohay pelakunya. Tidak terima, Bara langsung menghadiahinya cubitan keras tepat di pinggang berlemaknya itu. "Aduuuuh! Ampuni hamba, Pangeran." Ringisan dramatis yang terlontar dari bibir si Bohay, menjadikan pendengaran Bara bermasalah. Ia bergidik jijik, lantas dengan kasar Bara melepaskan tangannya dari pinggang Rico dan berganti menunjukkan tatapan tajam bersama raut wajah tak bersahabatnya. "Pangeran ini terlalu sensitif, baru begitu saja langsung merujak, eh salah maksudnya merajuk. Apa karena tidak puas dengan malam bulan madunya?" Sepertinya lelaki gempal itu sengaja meledek Bara, mengingat bagaimana kemarin dengan suara lembutnya Rose memanggil Bara dengan sebutan 'pangeran', sangat lucu menggelikan dan kurang pantas menurutnya. "Sekali lagi lo ngomo
Keduanya kompak melepaskan diri lantas melirik seorang gadis berpenampilan modis berambut pirang yang baru saja lewat dan melontarkan beberapa makian kasar yang tidak pantas untuk didengar. Seperti ... "Cewek ganjen!" "Murahan!" "Nenek lampir!" "Lonte kampus!" Dan sebagainya, makian itu terus berlanjut dan terdengar jelas sampai gadis itu benar-benar menjauh dari posisi mereka. Merasa penasaran dengan ekspresi orang-orang yang ada di sana, Bara memperhatikan sekitarnya. Ternyata mereka juga sama terkejutnya, bahkan ada beberapa di antara mereka membisikkan kelakuan gadis tersebut. Bara tidak asing dengan gadis yang baru saja meneriaki makian itu. Dia adalah Calia, kekasih dari lelaki yang disebut most wanted di kampusnya. Sebenarnya Bara tidak menyukai gadis itu, sebab menurutnya gadis itu terlalu tebar pesona ke seluruh lelaki di kampusnya, seperti tidak cukup memiliki satu kekasih.