Pagi-pagi sekali aku sudah dibuat pusing oleh permasalahan yang kuhadapi. Fadlan telah pergi membawa benci bersamanya dan menaruh luka di hati ini.Ketika bayangan wajahnya mengitari pikiran, jantungku nyeri tidak terkira.Sungguh, aku tak menduga akan sebesar ini dampak buruknya. Lebih dari apa yang aku bayangkan di mana dulu pernah berpikir bahwa Fadlan akan berbesar hati memaafkan dan menerima hubungan kami.Namun, semua berubah menjadi lebih menyeramkan karena aku yang tak jujur dari awal kepadanya. Padahal, kutahu dia begitu mencintai Vivi, bahkan sudah berniat untuk menyatakan cinta pada gadis itu.Lalu, dengan bodoh aku mematahkan rencananya. Menghancurkan setengah dari hidupnya. Membuat dia terluka dengan dalam.Aku bersandar lemas di sandaran kursi teras. Memijat dahi yang terasa pening dan berat. Tak lama setelahnya Vivi muncul terlihat di kejauhan sana, berjalan menuju ke sini.Ini bukan saatnya, kenapa dia harus ke mari?“Bang, Abang berantem sama bang Fadlan? Dia pergi, k
Kuraih jemarinya, berharap bisa sedikit menenangkan. Bukan apa, ini tempat umum. Jujur saja aku agak malu kalau menjadi pusat perhatian lagi, persis seperti tadi.“Abang enggak merasa kalau mencintai kamu itu salah. Cuma, yang salahnya karena dari awal udah janji ke dia mau jagain kamu. Ini justru malah dipacarin. Fadlan nggak marah gimana coba?”Vivi sudah terlihat bisa sedikit menenangkan diri. Dia mulai diam menatap. Sesekali bola matanya memutar ke kanan dan kiri seperti sedang memikirkan sesuatu.“Terus, apa karena bang Fadlan marah, apa abang berpikir buat ninggalin Vivi?” Setelah lama menunggu, yang ia tanyakan adalah soal itu. Meninggalkannya? Aku rasa itu tak mungkin.Kupejam mata, masih memegang tangannya.“Abang nggak pernah berpikir buat ninggalin kamu, Vi. Sekalipun Fadlan marah. Kecuali kamu yang mau. Abang bakal ikhlas.” Aku berkata gamblang.Benar, itu pendapatku. Sebab, sebanyak apa pun aku mencintai Vivi, jika dia ingin pergi dariku tak akan kucegah. Dengan catatan
Baru saja berencana, sudah kacau semua.Aku tak pernah menyangka jika di balik pagar ada nyak Marni. Alhasil, hal yang tak pernah kuharapkan terjadi lagi.Hubungan kami lagi-lagi terbongkar tanpa diduga.Wanita separuh baya yang hanya memakai daster itu menatap kami dengan mata melotot. Hidungnya kembang kempis seolah ia akan meledakkan amarah yang sudah memuncak.“Nyak?!” Aku langsung melepas genggaman tangan ini refleks.“Jawab Agam! Lu cinta—” Ucapannya berakhir menggantung di udara. Mungkin terlalu berat untuk sekadar mengulang kata yang sempat aku katakan pada anaknya.“Nyak, Nyak, enggak gitu,” sela Vivi setelah beberapa saat lalu terdiam. Dirinya segera menghampiri ibunya lebih dekat dan merangkul lengannya.Sementara aku hanya mematung bagai orang paling bodoh di dunia. Bukannya langsung memohon maaf atau berusaha membujuk. Ya, apa pun itu namanya, tapi aku tidak. Malah hanyut dalam keterkejutan sedari tadi.“Enggak gitu gimana?! Lu pikir gue budeg, Vi? Jelas banget gue denger
Aku telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku, dan mereka akhirnya satu-persatu memilih membenci diri ini, lalu pergi meninggalkan tanpa ragu.“Putusin anak gue, dan jangan harap elu bisa masuk ke kehidupan kami lagi. Pergi lu dari sini.”Deg!Aku terpaku ketika akhirnya kata yang amat paling kutakuti keluar juga dari mulut nyak Marni.Pagi ini aku sudah dibuat gila dengan kepergiannya orang-orang yang aku sayang.Apa ini? Mengapa jadi begini?Mengapa mencintai satu perempuan muda saja sampai menghancurkan setengah dari hidupku, juga hidup orang lain?Apakah ini hukuman dari Yang Maha Kuasa karena aku melanggar janji kepada Fadlan? Ataukah ini karma karena aku melanggar janji kepada nyak Marni untuk tidak memacari putrinya?Astagfirullah ... jika ini terjadi sebagai bentuk ujian dari-Mu, hamba ikhlas. Namun, hamba mohon, jangan sampai Fadlan atau nyak Marni terus menutup hatinya dan terus marah sepanjang waktu. Jika berpisah dengan Vivi adalah jalan satu-satunya agar hamba mend
Semesta telah menentang, apakah aku punya hak untuk menyalahkan semua kepada-Nya?Astagfirullah ....Dari sekian banyaknya hal yang membuatku marah, kecewa, sedih, juga menyesal, mengapa aku sampai berfikir untuk menyalahkan Sang Pencipta?Kuhela napas berat, menyesali hal yang baru saja kulakukan.“Bodoh, kamu bodoh, Gam,” gumamku seraya menggusur koper berisi pakaian juga dokumen penting lainnya.“Pergi aja, enggak usah lirik kiri, lirik kanan. Vivi dikurung sama enyak, jangan harap bisa melihatnya,” lanjutku murung.Saat ini diriku masih berdiri tegap di ujung jalan, memerhatikan pagar yang menutup sedih. Aku sedang menunggu angkot di sini.Namun, tak lama pagar terbuka. Aku tak menyangka Vivi keluar dengan membawa ... tas besar? Untuk apa itu semua?Dia berlari ke arahku.“Vivi?!” Refleks diri ini juga menyambut kedatangannya.“Abaang.” Ia merangkul lenganku dengan tangis kecil yang memenuhi telinga.Kutarik kedua bahunya dengan perasaan kaget luar biasa.“Kenapa kamu keluar? Nant
Kawin lari? Oh, tidak. Ini sama saja dengan kami memukul genderang perang, menantang. Dan aku sungguh tak menginginkan perang itu terjadi.“Apa?! Apa lu bilang? Ka-kawin?!”Sayangnya kemarahan nyak Marni telah meledak bahkan ketika aku belum menolak ajakan Vivi itu.Bugh! Bugh!“Aw, Nyak! Nyak sakit!” pekikku setelah gagang sapu yang dipegang nyak Marni mendarat beberapa kali di kepala.Karena gagangnya panjang, jadi dengan mudah memukulku. Akan tetapi, aku berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Berlari, mondar-mandir, bahkan berjongkok dan melompat demi melindungi kepala ini. Kepala yang sudah mau meledak karena mumet.“Aduh, Enyaak!” Vivi mencoba menghalangi, merentangkan kedua tangannya.Nyak Marni sempat berhenti sekejap. Namun aku tahu itu tak membuat kemarahannya reda. Malah yang ada lebih membara lagi.“Lu mau dipukul juga?! Hah!” Nyak Marni segera mengangkat sapu itu ke udara. Gegas aku mengangkat tangan, niatnya ingin menangkap gagang itu.Akh! Tak tahan rasanya! Aku ingin s
Malam semakin larut, jalanan sudah mulai macet. Lampu-lampu menguning sebagai penerangan jalan di dekatku mencetak dua buah bayangan di bawah kaki.Aku dan Vivi.Di antara kebisingan kota kini. Kami berdua hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam.Kubenarkan anak-anak rambutnya yang telah basah menempel di pipi. Dengan mati-matian diri ini menahan air mata yang sudah menumpuk di ujung mata. Merasakan kembali betapa pedihnya perpisahan.Dan baru aku tahu jika perpisahan karena terhalang restu ini lebih menyakitkan daripada berpisah karena dikhianati seperti yang dilakukan Gina dulu.“Bang, jangan tinggalin Vivi. Abang udah janji, plis,” rengeknya begitu erat merangkul tanganku.Berkali-kali kucoba lepas, ia kembali merangkulnya tak peduli nyak Marni sudah begitu murka. Vivi seakan tak melihat keberadaannya. Dia hanya fokus padaku. Mencegah agar diri ini tak pergi.Sementara aku hanya diam mematung. Tak kurespon ucapan juga rengekan itu. “Ayo pergi aja. Kita nikah. Abang janji, kan ma
Baru saja kulihat langit gelap gulita mengelilingi diriku, mengapa dalam sekejap mata mentari naik membakar kepala?Anehnya ini bukan di bus atau jalanan kota.Gunung! Aku berada di puncak gunung.Apakah ini mimpi? Tapi, terpaan angin menggelisir di atas kulit terasa nyata. Dingin.“Abang jahat.”Deg!Aku terperanjat mendengar suara Vivi yang terdengar begitu serak. Ketika mata ini memindai seluruh tempat yang terjangkau, tampak sosoknya di kejauhan sana, menatap dengan mata yang banjir air mata.“Vivi?” Aku berlari ke arahnya.“Abang jahat.” Lagi-lagi rutukkan itu yang terdengar.“Vivi! Tunggu!” Dia berbalik, pergi meninggalkanku di sini. Di tengah rimbunan pohon yang meninggi dengan sendirinya.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kaget dengan situasi aneh ini. Apa-apaan semua?! Aku mundur terlampau takut.“Mas, Mas,” seru suara laki-laki mengalihkan perhatian.Seketika pemandangan menyeramkan itu lenyap, berganti dengan pemandangan dalam bus yang penumpangnya sudah turun. Tak jauh dariku